Loading...
OPINI
Penulis: Amos Simanungkalit 00:00 WIB | Kamis, 26 November 2015

Tentara Haus Perang?

SATUHARAPAN.COM - Beberapa waktu yang lalu seorang prajurit berpangkat sersan dua berinisial YH melakukan pembunuhan terhadap seorang tukang ojek bernama Marsin Sarmani yang ditemukan tewas pada Selasa, 31 Oktober 2015 di Bogor, Jawa Barat. Korban ditembak di bagian kepala karena dituding menyerempet mobil serdadu dua berinisial YH tersebut. Peristiwa tersebut menunjukkan bagaimana betapa arogannya tindakan aparat militer dalam setiap berhadapan dengan rakyat. Belum lagi ditambah dengan pembunuhan yang saban hari terjadi di Papua.

Dalam buku Soe Hok Gie, Orang-orang Di Persimpangan Kiri Jalan (2006), ada catatan penting yang terselip. Catatan yang berisi perihal perdebatan konsep Angkatan Perang di awal Republik Indonesia berdiri. Ulasan yang singkat dalam buku tersebut mengulas perihal dua kubu yang bertarung, yakni golongan kiri versus tentara. Menteri Pertahanan ketika itu, Amir Sjarifuddin mendorong agar konsep Tentara Rakyat (Volks Lager) segera dilaksanakan agar sejalan dengan garis revolusi kala itu.

Saat itu, disebutkan dalam buku tersebut, konon di awal kemerdekaan terdapat dua kubu di tubuh tentara. Kubu pertama berasal dari sisa KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang diisi oleh Kolonel Nasution, Simatupang, dan Suryadharma yang dicap kurang kesadaran nasional dan lebih mementingkan jiwa "Korsa" atau Komando Satu Rasa. Grup kedua diisi oleh serdadu bekas didikan Jepang, yakni PETA dan HEIHO, yang dianggap memiliki jiwa fasistik Jepang yang salah satu tokohnya adalah Jenderal Soedirman.

Kedua grup tersebut menyisakan mental penjajah yakni, Belanda dan Jepang. Untuk itu Amir, kata Hok Gie, melakukan propaganda bahwa pada 17 Agustus 1945 bukan hanya tentara yang berjuang, namun seluruh Rakyat Indonesia yang telah membentuk Laskar Rakyat. Bagi Amir, kekuatan pertahanan kita harus dibangun di atas kekuatan rakyat, tidak boleh elitis, karena apabila terpisah dari rakyat mereka tidak berdaya apa-apa.

Untuk mewujudkannya pertama, dengan mendorong pendidikan politik pada tentara untuk menanamkan ide kerakatan dengan membuang pahan korporatisme, patronase, faksionalisme, dan vertikalisme. Kedua, mensinergikan laskar-laskar rakyat dan badan perjuangan yang dibentuk partai politik ketika itu. Sayang, konsep tentara rakyat Amir ini tidak bertahan lama. Begitu kabinetnya jatuh, yang kemudian digantikan oleh Bung Hatta, konsep Tentara Rakyat turut disingkirkan. Kabinet Hatta justru melakukan sebaliknya rasionalisasi.

Saat itu kebutuhan untuk menghadapi berbagai serangan dari sisa asing dan pemberontak di berbagai daerah saat-saat awal repubik ini berdiri memang sangat dibutuhkan. Setelah orde lama berlalu, orde baru praktis hanya menggunakan tentara sebagai alat untuk melanggamkan kekuasaannya. Ada banyak cerita yang menyampaikan bagaimana tentara mengintimidasi setiap kali pemilihan umum berlangsung, ada juga cerita tentara ikut serta melakukan penculikan aktivis yang dinilai terlampau kritis di publik. Tentara digunakan untuk melaksanakan UU Subversif yang akhirnya dicabut pasca reformasi terjadi pada 1998.

 

Wajah Tentara Kini

Saat ini wajah tentara memang mulai banyak berubah setelah dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dwifungsi dihapuskan. Praktis tentara akhirnya hanya mengurusi ancaman dari negara asing yang akhirnya membuat tentara banyak menganggur. Tentara hanya terlihat ketika bencana alam terjadi hingga fokus pada kompetisi tentara di dunia internasional.

Bahkan, mantan Panglima TNI Moeldoko bercerita, pada Mei 2015 lalu saat berkunjung ke Makassar, salah seorang prajurit di sana mengaku bahwa dia haus berperang dan rindu untuk ditugaskan untuk melaksanakan sebuah misi. Prajurit tersebut mengatakan sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah diberi tugas. Kondisi hari ini memang berubah dengan beberapa dasawarsa lalu.

Kini, perang dengan mengedepankan kontak fisik memang semakin minim terjadi khususnya di Indonesia. Perang hanya melanda di kawasan Timur Tengah dunia yang hanya mengirimkan sedikit tentara perdamaian saja. Gangguan dari dalam seperti Gerakan Aceh Merdeka, Perang di Timor Timur kini Timor Leste, dan Organisasi Papua Merdeka  beberapa waktu lalu juga tidak membutuhkan kekuatan tentara penuh untuk menghadapinya.

Apalagi jalur diplomasi lebih di kedepankan ketimbang perang senjata. Hal ini semakin diperkuat oleh pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso yang mengatakan beberapa kali konflik yang melibatkan tentara ditenggarai oleh kecemburuan karena perbedaan tugas yang diemban antara kepolisian dan tentara pasca dwifungsi ABRI dihapus. Peran polisi dianggap lebih dominan ketimbang tentara di dalam republik. Konsekuensinya, penugasan dia (polisi) sangat padat, sementara di sana (tentara) kan banyak yang nganggur.

Padahal, sejauh ini ada sejumlah tantangan besar yang dihadapi TNI saat ini. Pertama, meningkatnya tensi konflik politik dan keamanan di berbagai kawasan, termasuk Laut China Selatan. Kedua, kejahatan lintas negara non-tradisional yang semakin merebak, seperti terorisme dan separatisme internasional. Ketiga, tentara juga menghadapi pertarungan kepentingan ekonomi, dan yang terakhir adalah membesarnya potensi bencana alam akibat dampak persoalan lingkungan.

Ironisnya tentara kita merepotkan diri dengan wacana "Perang Cyber" yang sering dikampanyekan di media-media termasuk membangun ketakutan semu terhadap ideologi yang sempat populer pada masa Orde Lama. Tentara kita seolah semakin gelisah karena tak kunjung menemukan medan laga untuk mengimplementaikan hasil latihannya.

Namun meskipun perang tak kunjung datang, Presiden Joko Widodo tetap menambah anggaran pembelian dan pemeliharaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebesar Rp 120 triliun untuk 2016. Pemerintah memutuskan untuk tidak lagi menerima hibah alutsista dan memilih membeli alutsista baru. Dalam APBNP 2014, Kementerian Pertahanan dan TNI mendapatkan dana Rp. 83,3 triliun. Sedangkan berdasarkan APBN 2105, Kementerian Pertahanan dan TNI dapat anggaran Rp 96,9 triliun. Anggaran itu digunakan untuk belanja pegawai dan pembelian sejumlah alat utama sistem persenjataan baru sesuai dengan program modernisasi terhadap TNI.

TNI sebenarnya mendapat tempat di hati masyarakat saat ini terlepas dengan berbagai segala macam peristiwa negatif yang menciderai TNI. Hal tersebut ditunjukkan menurut suvei beberapa waktu lalu, lembaga TNI menempati posisi kedua setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kepercayaan sebesar 81 persen mengalahkan lembaga Kepresidenan. Citra ini seharusnya benar-benar dijaga oleh seluruh elemen TNI jika ingin terus melakukan reformasi di tubuhnya dengan menimbulkan rasa aman seluruh rakyat Indonesia.

Sudah waktunya negara mulai memikirkan untuk menempatkan tentara  dalam kerja-kerja intervensi militer dalam urusan negara lain dengan menggunakan kekuatan militer. Cara ini sering digunakan untuk menyelesaikan ketegangan yang tidak kunjung reda walaupun sudah dilakukan upaya negosiasi dalam bentuk perundingan-perundingan antara dua pihak yang berkonflik. Intervensi militer diperlukan sebagai tempat implementasi hasil pelatihannya selama ini. Sebagai contoh intervensi militer yang dilakukan sejumlah tentara dalam memerangi Negara Islam Irak Suriah di Timur Tengah. Agar senjata tentara tidak lagi membunuh rakyat. Karena kalau tidak, maka tentara akan kehilangan rohnya sendiri dan mati. Merdeka!!!

 

Penulis adalah Peneliti Centre for People Studies and Advocation (CePSA) dan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP-GMKI)

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home