Loading...
OPINI
Penulis: Rahmatul Ummah Assaury 00:00 WIB | Senin, 14 Desember 2015

Tercabiknya Demokrasi Kita

SATUHARAPAN.COM - Berbagai kasus kekerasan agama dan sosial di Indonesia menjadi cerminan buruk demokrasi yang dibangun di atas suara mayoritas, demokrasi konsensus, sehingga demokrasi dirasakan gagal untuk merangkul hak-hak setiap warga negara untuk memperoleh kebebasan atas apa yang diyakininya.

Hingga kini demokrasi baru bergerak dalam batasan formal elektoral-prosedural, tetapi tak menyurutkan kepercayaan banyak orang untuk terus berharap hak-hak mereka dijaga dan dihargai dalam demokrasi. Kepercayaan yang begitu besar terhadap demokrasi, bahwa didalamnya ada jalan menuju kesejahteraan berupa penghargaan terhadap kehidupan yang berbeda dan saling menghargai.

Demokrasi dinarasikan sebagai hal yang ideal untuk memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan, berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan, yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, tentu saja bukanlah ancaman terhadap identitas nasional dan kemandirian politik bangsa. Demokrasi sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggerus nilai dan identitas lokal.

Demokrasi yang dipraktikkan hari ini adalah demokrasi yang didasarkan pada idealisasi kontrak sosial, sebagaimana yang dikenalkan John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu. Pemenuhan hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama.

Maka, perjanjian sosial dibuat, yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama; batas-batas hak individual; dan siapa yang bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan tersebut, dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land), yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum, baik legislatif maupun eksekutif.

Nyatanya demokrasi yang telah lama muncul dalam risalah Yunani Kuno dan dipuja pada era modern di Eropa belum bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda. Silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok seringkali berujung pada pengeliminasian kelompok yang dianggap minoritas. Keputusan bersama dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan mereka yang punya massa  dan kuasa lebih besar, menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni.

Hampir duapuluh tahun perjalanan reformasi atau setidaknya empat kali perjalanan demokrasi liberal seolah tidak berimplikasi signifikan terhadap kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Apakah ini menjadi penanda kebenaran pernyataan Soekarno ketika berusaha menyatukan Nasionalis, Agama dan Komunis (Nasakom) untuk melawan imprealisme Barat, bahwa demokrasi Barat hanya menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik, dan tidak berlaku di bidang ekonomi?

 

Disensus Demokrasi

Tidak adanya perubahan mendasar terhadap kesejahteraan rakyat oleh pemimpin yang dihasilkan oleh sistem demokrasi liberal, menjadikan banyak kelompok ideologi bersitegang. Bahkan ada yang secara ekstrim menolak demokrasi liberal sebagai sistem yang tepat untuk diterapkan di Indonesia, karena dianggap mengancam identitas nasional, kedaulatan, dan kemandirian politik bangsa. Kelompok-kelompok tersebut akhirnya menawarkan alternatif-alternatif ideologi, baik yang berbasis agama seperti khilafah, maupun berbasis ideologi lain seperti sosialisme dan komunisme.

Pertarungan ideologi-ideologi tersebut, sebenarnya memang bukan hal yang baru, bahkan telah dimulai jauh sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Tarik-menarik agama-negara, telah mengabadi dalam perdebatan yang tak kunjung usai hingga kini, meski para pendiri bangsa telah bersepakat bahwa identitas kebangsaan kita adalah  identitas Bhinneka Tunggal Ika yang dikonstruksi dari identitas dan etnisitas keragaman suku, agama, budaya, dan bahasa.

Keragaman yang disatukan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut merupakan realitas empiris yang tidak bisa dipungkiri. Keragaman itulah yang sejak dulu dikenal sebagai potensi berbangsa dan bernegara. Sehingga, founding fathers menetapkan Indonesia sebagai negara, yang bukan negara agama atau negara sekuler. Pilihannya berada tepat di tengah-tengah antara keduanya.

Persoalannya kemudian adalah, siapa yang memperkenalkan, dan selanjutnya memaknai, sehingga kenyataan keragaman menjelma dalam bentuk yang ruwet, memendam dendam kesumat yang tidak ada hentinya? Setiap kelompok merasa paling berhak dan absah menafsirkan identitas kebangsaan. Perdebatan-perdebatan panjang yang tidak produktif hanya mengesankan pengulangan dari perdebatan panjang menjelang awal kemerdekaan, mempertentangkan agama dan negara.

Setiap rezim menjalankan konsepsi bernegara berdasarkan watak rezimnya, dari praktik demokrasi terpimpin-nya Soekarno pada rezim Orde Lama yang memaksa hengkangnya Hatta dari Wakil Presiden, demokrasi Pancasila yang abstrak di era Orde Baru, hingga demokrasi liberal di era Reformasi hari ini.

Demokrasi kita yang gagal menunjukkan kesejatiannya, sebagai kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rkyat, akan menjadi ancaman serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menguatnya pertarungan identitas dan simbol yang bermuatan ideologi, akibat ketidakpuasan terhadap praktik demokrasi inilah yang justeru akhirnya ditakutkan melahirkan apa yang disebut oleh J.F Lyotard sebagai disensus.

Disensus adalah istilah yang digunakan oleh J.F Lyotard (1979) untuk menjelaskan ketidakmungkinan dicapainya konsensus diantara berbagai pihak yang berbeda, perbedaan lebih penting daripada kesatuan, dan disensus –ketidaksepakatan- lebih mendapatkan prioritas dari konsensus yang seringkali hanya menutupi fakta ketidakadilan di belakangnya.

Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan aturan main, paradigma dan cara pandang. Jika semua daerah dan semua golongan menonjolkan identitas masing-masing, seperti maraknya kampanye tentang perda syari’ah di beberapa daerah, kemudian berbalas dengan lahirnya Kota Injil, dan bisa jadi disusul lahir Provinsi Hindu di Bali, maka membawa Indonesia pada tahap disensus yang akan bermuara pada ancaman disintegrasi nasional.

Disensus ini ditentang oleh Jurgen Habermas (1994). Baginya politik disensus tidak akan menyelesaikan masalah-masalah masyarakat, ia lebih menawarkan konsensus yang adil. Dalam konteks ini, Habermas memberi catatan-catatan sangat penting untuk mendapat perhatian, sebagai syarat mencapai konsensus yang adil, yakni jujur, benar, dan komprehensif, tujuan akhirnya adalah konsensus rasional yang bebas dominasi.

Pada dasarnya, tidak ada yang harus dipertentangkan dari disensus Lyotard dan konsensus Habermas, selama tujuan utamanya adalah keadilan. Keberagaman identitas di Indonesia bisa menyimpul pada common sense dan common platform Pancasila sebagai rumah bersama semua identitas, sebagaimana prinsip utama yang dibangun Soekarno sebagai filsafat dan dasar negara, Pancasila adalah perikemanusiaan, nasionalisme yang berperikemanusiaan, dan demokrasi.

Melalui tulisan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang dimuat di majalah Indonesia Muda tahun 1926, Soekarno menegaskan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme untuk bersatu. Semangat yang dibangun Soekarno hendak menjelaskan, identitas-identitas yang beragam itu penting untuk bekerjasama dalam satu barisan, dalam menentang demokrasi Barat.

Demokrasi yang umum dipahami sejak dari masa modern hingga sekarang adalah demokrasi yang memenangkan mayoritas. Mayoritas dalam kerangka filsafat politik adalah rakyat. Sehingga demokrasi adalah gagasan mengenai kuasa dari rakyat. Kuasa rakyat ini terepresentasikan dengan wakil-wakil rakyat yang dipercaya membawa suara rakyat dalam tata kelola suatu negara. Pengambilan keputusan dalam suatu perkara yang menyangkut rakyat diambil lewat jalan kesepakatan atau konsensus.

Mengutip Budiarto Danujaya dalam Demokrasi Disensus; Politik Dalam Paradoks, manusia di era ini ditakdirkan bukan untuk mengatasi melainkan untuk hidup bersama dengan perbedaan dan keragaman; jadi, menerima situasi polisemi serta ambivalensi yang diakibatkan apa adanya, termasuk dalam ranah etik maupun politik. Jelas sudah bahwa dalam telaahnya, Budiarto Danujaya ingin menegaskan kembali arti demokrasi sebagai penghargaan terhadap hak-hak individu masyarakat. Demokrasi Disensus yang ditulisnya mencoba menawarkan kembali demokrasi sebagai etikopolitik, suatu sikap hidup bersama dengan mereka yang berbeda.

So, identitas demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila, demokrasi yang memberi penghargaan setara atas keberagaman identitas di dalamnya. Demokrasi yang jiwanya adalah Pancasila, yang bukan hanya menjadi simbol tak bernyawa. Nyawa dari Pancasila adalah setiap individu Indonesia yang kokoh menanamkan nilai-nilai pancasila dalam kepribadiannya, membangun relasi sosial antar individu secara setara, individu yang saling menghargai perbedaan dan memberi rasa aman, setia pada semangat kebersamaan dan gotong-royong.

 

Penulis adalah Pegiat Diskusi CangKir Kamisan Metro

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home