Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 19:47 WIB | Kamis, 31 Maret 2016

Teroris dan Anti Imigran di Eropa

Duka cita dan kemarahan warga Brussels, Belgia, setelah serangan teror bom bunuh diri oleh militan Negara Islam pada Selasa (22/3) yang menewaskan 32 orang dan melukai ratusan lainnya. (Foto: dari Brussels Times)

SATUHARAPAN.COM –  Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kecewa dengan hasil pertemuan dengan pejabat senior 90 negara di Jenewa hari Rabu (30/3) untuk mencari solusi bagi krisis pengungsi yang mencapai 60 juta di seluruh dunia. Bahkan hasilnya tidak sepadan untuk menyelesaikan masalah bagi  4,8 juta pengungsi Suriah, atau misalnya untuk 50.000 pengungsi yang sekarang terdampar di Yunani.

Hanya Brasil, Argentina dan beberapa negara lain yang menawarkan untuk menerima mereka. Namun itu bukan negara yang diharapkan oleh para pengungsi yang sebagian besar datang dari Suriah, Irak, Afganistan, Pakistan, dan negara-negara Afrika.

Polandia menyatakan menerima 7.000 pengungsi, namun dengan syarat mereka diperiksa secara ketat untuk menjamin keamanan. Sementara Austria yang telah menerima 90.000 aplikasi suaka, hanya akan menerima 37.500 untuk tahun ini.

Negara-negara Uni Eropa menjadi tujuan utama para pengungsi yang datang dari negara-negara yang dilanda perang, dan umumnya berlatar belakang konflik sektarian, bahkan mayoritas dari mereka adalah Muslim dan dari negara dengan penduduk mayoritas Muslim.

Gerakan Anti Islamis

Masalah pengungsi dalam beberapa tahun ini makin pelik, karena konflik-konflik sektarian terus meningkat di berbagai wilayah dan negara asal para pengungsi. Bersamaan dengan itu muncul penolakan terhadap imigran dan pengungsi yang mengeras di Eropa menyusul beberapa serangan teroris yang dilakukan oleh kelompok Negara Islam (Islamic State).

Prancis mengalami dua serangan mematikan pada Januari dan November, dan pekan lalu, negara tetangganya, Belgia, diserang oleh kelompok yang masih terkait dengan serangan di Prancis. Sejak dua tahun lalu kelompok anti Islamis muncul di Jerman  dengan nama Pegida. Gerakan ini terus meluas di kota-kota Eropa hingga sekarang.

Pegida turun di jalan-jalan di kota Praha, Calais di Prancis, Dresden di Jerman, bahkan di Irlandia. Kantor berita AFP melaporkan bahwa pada 23 Januari kelompok ini berbaris di 14 kota Eropa.

Yang terbaru muncul di Brussels, Belgia, oleh kelompok sayap kanan yang menamakan diri Generation Identity. Mereka berencana menggelar aksi penolakan pada imigran dengan banner: ‘’Mari Kita Usir Islamis!’’ Sasarannya adalah distrik Molenbeek, pemukinan para imigran yang sebagian besar adalah Muslim, dan dari sanalah para pelaku serangan teror di Paris dan Brussels berasal.

Beruntung bahwa Walikota Molenbeek memutuskan melarang aksi pada hari Sabtu (2/4) mendatang. Dan itu berlaku pada 19 distrik di Brussels. Namun sebelumnya aksi mereka itu telah menunjukkan sikapnya. Seperti yang dilaporkan televisi Jepang, NHK, yang menampilkan sikap demonstran yang menolak imigran dan berteriak: ‘’Belgia untuk orang Belgia.’’

Para Pembela Yang Terpojok

Pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa sekarang berada pada tekanan berat oleh rakyat mereka yang menolak para imigran. Hal ini terlihat nyata dari sikap pasif dalam pertemuan pejabat senior 90 negara dengan PBB di Jenewa. Sejumlah negara di kawasan Balkan, tampak tetap menolak para imigran, menutup dan menjaga ketat perbatasan mereka. Kanselir jerman, Angela Merkel dikritik dengan sinis karena sikapnya yang mau menerima para pengungsi, bahkan sejumlah spanduk dari demonstran menyerukan agar dia mundur.

Namun demikian, ada pihak-pihak di Uni Eropa yang menentang garis keras ini. Mereka dengan dasar pertimbangan kemanusiaan dan hak asasi, membela para pengungsi dan imigran. Ini misalnya muncul dalam kelompok Anti Pegida. Di Belgia juga mencul kelompok yang menentang cara-cara kelompok sayap kanan, dan dalam respons di Brussel mereka menyerukan: ‘’Kita Tidak Membutuhkan Kebencian.’’  

Menodai Agama

Masalah ini memang pelik. Di satu sisi aksi teror yang menyakitkan Eropa dilakukan oleh kelompok yang menggunakan ‘’bendera’’ Islam, sekalipun umumnya penganut Islam menolak hal itu. Para pelaku yang terbukti juga merupakan imigran di sana, sehingga masalah imigran dan identitas keagamaan terus dikaitkan. Hal ini menjadi label atau mungkin stigma bagi para jutaan pengungsi yang terkatung-katung.

Di tengah situasi seperti itu, di Belgia beredar pesan melalui media sosial yang dilakukan oleh orang yang diduga perekrut Negara Islam atau kelompok teroris. Situs Brussels Times menyebutkan pada hari Senin (28/3) beredar pesan ke masyarakat yang berbunyi: ‘’Saudara-saudaraku, mengapa tidak bergabung dengan kami melawan Barat? Buatlah pilihan yang tepat untuk hidup Anda.’’

Sikap berseberangan, penolakan dan bahkan anti satu sama lain ini menimbulkan ketegangan yang mengancam banyak pihak, bahkan akibatnya bisa melampaui wilayah Eropa. Situasi ini harus menjadi keprihatinan dunia untuk mencari solusi yang efektif.

Masalah ini telah dikaitkan dengan Islam, dan tampaknya menolak atas pengaitan itu hanya berdampak menghindari masalah dan bukan solusi. Justru diperlukan keterlibatan yang lebih dari  tokoh-tokoh Islam dunia dalam menghadapi masalah ini, terutama untuk mendudukkan persoalan dan mengoreksi kesalah-pahaman. Apalagi, banyak Muslim yang melihat bahwa aksi teror itu telah menodai Islam.

HAM dan Demokrasi

Arus pengungsi yang begitu deras, harus ditelusuri sampai situasi di negara asal mereka. Mereka meninggalkan Tanah Airnya, karena di sana nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi dihancurkan, tenggelam oleh ambisi kekuasaan dan glorifikasi kekerasan. Sementara para pengungsi melihat ‘’harapan ’’ bagi hidup mereka ada di Eropa, namun apakah ada kesadaran bahwa negara tujuan itu dibangun dengan landasan penghormatan pada hak asasi dan demokrasi, dan kesadaran untuk menjadi bagian dari prinsip ini?

Tangan yang terbuka menyambut pengungsi dan pencari suaka oleh sebagian masyarakat Eropa, dan tampaknya terjadi di negara manapun, adalah karena didasarkan pada penghormatan pada hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi dalam bernegara.

Terorisme adalah sikap anti hak asasi dan mengabaikan demokrasi. Terorisme, meskipun dilakukan oleh sekelompok kecil di antara imigran, adalah fakta yang dengan mudah dijadikan argumentasi untuk menolak imigran. Maka perjalanan ke Eropa bisa menjadi jalan panjang bagi pengungsi, bahkan sudah ribuan orang tak mampu mencapainya karena tewas di perjalanan. Ini adalah awal tragedi besar abad ke-21 yang akan mempersalahkan ‘’mimpi suci’’ para teroris.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home