Loading...
EKONOMI
Penulis: Prasasta Widiadi 00:29 WIB | Senin, 22 Desember 2014

The Economist: Ekonomi Rusia Lebih Buruk dari Malaysia 1998

Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina. (Foto: rt.com).

MOSKOW, SATUHARAPAN.COM – Krisis nilai tukar yang dialami Rusia dewasa ini dipicu oleh ketergantungan keuangan negara itu kepada ekspor minyak dan gas. Pemerintah selama ini mengandalkan BUMN-nya sebagai sumber pendapatan dan devis, termasuk dua BUMN Rusia penghasil migas, Rosneft dan Gazprom. Namun, kini kedua BUMN itu mulai dililit masalah dan ini dapat memperparah ekonomi negara ini..

Sebagaimana dilansir oleh The Economist, Rosneft memiliki utang luar negeri yang besar. Pada 12 Desember lalu, perusahaan itu menerbitkan obligasi senilai 11 miliar dolar AS dengan imbal hasil yang lebih rendah daripada obligasi pemerintah. Bank Sentral Rusia ketika itu mengatakan dapat menerimanya sebagai agunan pinjaman.

Namun, sejumlah kalangan mencemaskan langkah ini. Penerbitan surat utang BUMN itu dan komentar Gubernur Bank Sentral dianggap pencampur-adukan utang pemerintah dan swasta. Padahal, akhir tahun depan diperkirakan utang pemerintah ada 115 miliar dolar AS dalam denominasi dolar yang akan jatuh tempo.

Kepanikan pun menyebar di kalangan investor. Seluruh BUMN Rusia memiliki utang 11 miliar dolar dalam mata uang rubel dan 60 miliar dalam mata uang dolar AS. Suku bunganya sudah naik menjadi  15 persen dan  8 persen, lebih tinggi daripada Yunani.

Lembaga rating kredit termasuk Standar and Poor's dan Fitch, sangat pesimistis atas ekonomi Rusia. Dengan perkiraan bahwa pertumbuhan ekonomi Rusia akan merosot 4,5% tahun depan, sudah dapat dipastikan rating negara ini pun akan merosot. Dan apabila utang negara ini digolongkan kategori sampah, basis investor Rusia akan menyusut. Volume utangnya pasti melonjak.

Kaburnya batas antara negara dan BUMN di Rusia membuat utang luar negeri negara ini diperkirakan bisa mencapai 614 miliar secara total, termasuk utang bank dan BUMN lainnya. Tidak mengherankan jika kepercayaan terhadap Rusia yang didasarkan pada cadangan devisa negara ini yang saat ini berjumlah 370 miliar dolar AS, makin tergerus.

Memburuknya kepercayaan asing membuat Bank Sentral Rusia menaikkan suku bunga. Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina mengeluarkan keputusan pada Selasa (16/12) tentang kenaikan suku bunga acuan sebesar 650 basis poin. Di satu sisi ini dianggap sebagai salah satu langkah taktis untuk menghentikan merosotnya nilai tukar,  pasar modal Rusia melihatnya sebagai sinyal keputusasaan bank sentral ini. Spekulasi bahwa Rusia akan melakukan kontrol devisa pun muncul.

Awalnya anjloknya nilai tukar rubel dipicu oleh  turunnya harga minyak dunia dan sanksi Barat terkait tudingan keterlibatan Rusia dalam konflik di Ukraina. Namun, belakangan ini kehancuran kurs di Rusia lebih  merupakan cerminan atas merosotnya kepercayaan terhadap bank sentral Rusia.

The Economist menilai Presiden Rusia, Vladimir Putin mungkin terinspirasi oleh Malaysia, yang pada September 1998 memperbaiki nilai tukar dan menaikkan suku bunga, di bawah komando PM Mahathir Mohamad. Tetapi  masalah yang dihadapi Rusia dan Malaysia  berbeda. Karena jumlah penduduk dan persebaran warga negara yang tidak terlalu banyak, langkah Malaysia  tidak memicu kesulitan untuk menarik ringgit di luar negeri, dan Malaysia berhasil memberi saran kepada warga asing untuk memegang hasil dari penjualan aset ringgit di dalam negeri. Sedangkan ekonomi Rusia berada dalam keadaan yang lebih buruk daripada Malaysia karena berada dalam sistem keuangan yang kacau.

Apabila krisis tidak tertangani pemerintah Rusia, The Economist memprediksi pada 2015 inflasi Rusia meningkat melebihi 9,1 persen dan gaji buruh Rusia akan dipotong secara besar-besaran secara riil.

Bagaimana dengan Indonesia ?

Terkait dengan tingginya policy rate dari Bank Sentral Rusia, BI tidak latah dan ikut-ikutan menaikkan suku bunga.  Menurut salah satu Deputi Gubernur Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, pada Selasa (16/12)  investor dalam negeri tidak perlu khawatir dengan perekonomian Rusia yang berbeda situasinya dengan Indonesia.

“Perekonomian Rusia itu tertekan cukup dalam, makanya mereka menaikkan suku bunga. Secara spesifik masalah Rusia dengan Indonesia jauh berbeda,” kata Mirza saat memberi keterangan kepada para pewarta pada Selasa (16/12) di Graha Sawala, Kompleks Kementerian Koordinator Perekonomian, Jl. Dr.Wahidin, Lapangan Banteng, Jakarta. (the economist.com/wikipedia.org/rt.com).   

Editor : Eben Ezer Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home