Loading...
HAM
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:08 WIB | Selasa, 28 Juni 2016

Tokoh Dayak Penerima "Equator Prize" Dapat Ancaman

Petrus Asuy, tokoh masyarakat adat Dayak Benuaq Kampung Muara Tae, Kalimantan Timur melakukan ritual adat Belian untuk memulihkan keseimbangan semesta, sebagai satu cara menjaga tanah air mereka yang terancam ekspansi perkebunan berskala besar. Petrus Asuy adalah menerima penghargaan Equator Prize dari PBB di Paris tahun 2015. (Foto: peduliadat.org)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Tokoh Dayak Benuaq peraih "Equator Prize" dari Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) Petrus Asuy, mendapat ancaman atas upaya perlindungan wilayah adatnya dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.

"Ancamannya dilakukan tidak secara terbuka, pada Sabtu (25/6) dini hari, setelah Jumat (24/6) saya tidak datang menghadiri undangan mediasi dari Polsek. Saya dengar banyak suara langkah kaki di dekat pintu dapur," kata Asuy saat dihubungi Antara dari Jakarta, Senin (27/6).

Hingga saat ini, ia mengatakan tidak tahu identitas orang-orang yang mencoba memasuki rumahnya tersebut. "Tapi saya sempat melihat satu orang membawa kayu berlari setelah anjing saya menggonggong dan saya berteriak".

Sejak kejadian tersebut, ia mengaku tidak tenang dan merasa terancam. "Ada sekitar enam petugas dari Polres datang Minggu sore (26/6). Mereka menanyakan soal ancaman, sama sekali tidak bertanya soal lahan."

Asuy menyatakan rasa herannya dengan undangan mediasi terkait persoalan lahan adat yang justru datang dari Polsek, bukan dari Kecamatan.

Karena itu, untuk menghormati proses Inkuiri Komnas HAM, terkait dengan persoalan wilayah adat Muara Tae, dia memutuskan tidak menghadiri undangan mediasi tersebut.

Persoalan lahan di wilayah adat masyarakat Dayak Benuaq di Desa Muara Tae, Kutai Barat, menurut dia, memicu kekerasan. Persoalan tersebut muncul setelah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan tambang hadir di sana.

Sebelum kejadian ini bergulir, atas nama Masyarakat Adat Muara Tae, Asuy mengatakan telah mengadukan Pemerintah Kampung Muara Tae ke Menteri Desa, yang salah satu isinya adalah penggelapan lahan masyarakat yang terjadi pada 11 November 2015, saat Kepala Kampung Muara Tae membuat berita acara verifikasi atas Pengelolaan Lahan Tanah Nomor 140/BAV/KPMT_KJ/11/2015.

"Kami sudah serahkan ribuan hektare lahan adat kami, apa salah kami pertahankan 4.000 hektare yang tersisa. Dengan yang tersisa ini saja sudah sulit berkebun, sudah saling ribut untuk berkebun," kata dia.

Hal yang paling ditakutkan Asuy jika persoalan lahan adat di Muara Tae tidak juga selesai adalah tindakan main hakim di luar jalur hukum.

Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Abdon Nababan mengatakan, Komnas HAM sudah menyampaikan laporan dengan rekomendasi Inkuiri Nasional kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Tapi tampaknya prosesnya macet. Dari 40 kasus yang diserahkan, termasuk dari Muara Tae, belum ada satu kasus pun yang selesai," kata Abdon. (Ant)

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home