Loading...
HAM
Penulis: Eben E. Siadari 08:36 WIB | Rabu, 18 Mei 2016

Tokoh Pembebasan Papua Ajukan Negosiasi Damai kepada Jokowi

Forkorus Yaboisembut (Presiden NRFPB) dan Edison Waromi (Perdana Menteri NRFPB). (Foto : Suluh Papua)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sebuah salinan dokumen berupa surat yang diterima satuharapan.com mengungkapkan bahwa seorang tokoh Papua yang selama ini memperjuangkan pemisahan dari dari NKRI menawarkan perundingan damai kepada Presiden Joko Widodo. Salah satu hal menarik dari terungkapnya surat ini ialah skema perundingan damai yang ditawarkan, berbeda dengan skema Dialog Nasional yang selama ini banyak didiskusikan, yang dirumuskan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Terungkapnya surat ini juga dapat dikatakan  sebuah perkembangan baru di tengah anggapan bahwa selama ini tidak ada kemauan berunding pada kedua belah pihak, baik Jakarta mau pun kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri di Papua. Lebih jauh terungkap pula bahwa tawaran dialog sudah ditawarkan tiga kali, dua kali kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika masih menjabat lalu kepada Presiden Joko Widodo.

Surat tersebut dibuat oleh Forkorus Yaboisembut S.Pd, yang  mengklaim diri sebagai Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB),  ‘negara’ yang dideklarasikan pada Kongres Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 di Lapangan St Zakeus, Padang Bulan, Jayapura. Pada kongres yang akhirnya dibubarkan oleh aparat, Forkorus dipilih sebagai presiden dan  Edison Waromi sebagai perdana menteri. Forkorus dan sejumlah tokoh NFRPB pernah ditangkap, diadili dan kemudian dipenjara dengan tuduhan makar.

Dalam surat bertanggal 20 November 2014 tersebut, dicantumkan kop NFRPB yang beralamat di Distrik Sentani Barat, Kampung Sabron Yaru, Jayapura dengan nomor 06/P-03/NFRPB/XI/2014. Dalam pengantarnya, Forkorus menyinggung bahwa ia sudah pernah mengirimkan surat dengan tawaran yang sama pada Agustus 2012 menjelang peringatan New York Agreement, dan pada 19 Oktober 20112 menjelang peringatan satu tahun deklarasi Bangsa Papua di Negeri Papua Barat dan ketiga pada 8 Juni 2014. Semuanya ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Ada pun salinan surat yang diperoleh satuharapan.com ditujukan kepada Presiden Joko Widodo.

Dalam tawaran dialog yang ia sebut dengan istilah negosiasi damai, Forkorus menjelaskan posisinya  apabila terjadi perundingan. Menurut dia, NFRPB  tidak ada sangkut-paut langsung dengan New York Agreement atau Act of Free Choice, atau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebaliknya, ia mengatakan NFRPB akan mengacu pada  Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Bab VI, Pacific Settlement of Dispute, artikel 33, Paragraf 1, dan akan terus menempuh prosedur internasional.

Menurut dia, New York Agreement atau Act of Free Choice didasarkan pada hukum perjanjian internasional yang bersifat bilateral antara Pemerintah Belanda dengan Pemerintah Indonesia. Dengan demikian perjanjian itu bukan dengan bangsa Papua atau negara Papua yang ia klaim sebagai ‘pemilik’ Tanah Papua. Ia menganggap tidak ada sangkut-pautnya.

“Bangsa Papua dan wilayah Negeri Papua Barat yang adalah warisan nenek moyang suku-suku bangsa Papua hanyalah objek dari New York Agreement sebagai hukum perjanjian internasional, sehingga hak-hak azasi bangsa Papua telah dikorbankan oleh kekerasan militer dan polisi Indonesia sampai sekarang dalam berbagai bentuk,” tulis dia dalam surat tersebut.

Lebih jauh, Forkorus mengatakan New York Agreement atau Act of Free Choice  bukan keinginan bangsa Papua dan Bangsa Papua tidak ikut secara langsung dalam perencanaan, proses pembahasan, penetapan dan penandatanganan New York Agreement 15 Agustus 1962 dan Act of Free Choice atau PEPERA 1969.

Pada pihak lain, kata dia, deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat, 19 Oktober 2011 merupakan sumber hukum lahirnya NFRPB. Dengan itu, ia mengklaim,  New York Agreement dinyatakan gugur dan hasil Pepera tidak berlaku di seluruh negeri Papua Barat.

Ia juga mengutip Undang-Undang Negara Republik Indonesia No.24 Tahun  2000 tentang perjanjian Internasional, Bab VI (PENGAKHIRAN PERJANJIAN INTERNASIONAL) ,Pasal 18 huruf  g (Perjanjian Internasional berakhir) bila objek perjanjian hilang. Ia mengklaim NFRPB  melalui Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Bangsa Papua di Negeri Papua Barat pada 19 Oktober 2011 secara sepihak telah mendapat predikat status hukum sebagai subjek hukum internasional. Oleh karena itu, ia katakan dalam suratnya, NFRPB bukan lagi sebagai objek perjanjinan Internasional antara Indonesia dan Belanda.

“Dengan demikian maka  New York Agreement 15 Agustus 1962 dan hasil-hasil dalam pelaksanaan yang lalu  dalam tahun 1969 menjadi hilang dan berakhir berdasarkan Internasional Custom Law atau General International Law serta UU RI No. 24 Tahun 2000 Bab VI Pasal 18 Huruf g,” tulis Forkorus. Ia juga mengutip sumber hukum lain, seperti Vienna Conventions on Law of Treaties 1969, Pasal 64 yang berbunyi: If a new peremtory norm  of general International law emerges, any exiting treaty which is a conflict with the norm becomes void and terminates.

Forkorus mengatakan NFRPB selanjutnya akan fokus pada gugatan sengketa hukum atas apa yang ia tuduh sebagai aneksasi terhadap Tanah Papua lewat prosedur internasional sesuai dengan Piagam PBB. Namun sebelum gugatan itu dijalankan, menurut Forkuros, ia menawarkan inisiatif “penyelesaian secara damai melalui negosiasi dan perundingan.

“Kami menunggu jawaban setelah surat ini diterima,” kata Forkorus.

Selain ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, surat ini juga ditembuskan kepada 50 pihak, mulai dari Ketua MPR RI, Ketua DPR RI di Jakarta, Ketua DPD RI di Jakarta; Duta Besar Amerika Serikat  untuk Indonesia di Jakarta, Sekertaris  Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Direktur Umum ASEAN  di Jakarta Indonesia, Direkur Umum MSG di Vanuatu, Sekertaris Umum PIF di Suva, Fiji, kepada sejumlah duta besar kedutaan besar di Jakarta serta kepada sejumlah sinode gereja di Papua.

Satuharapan.com masih berusaha memperoleh tanggapan dari pemerintah RI tentang surat ini. Desakan untuk terciptanya dialog antara Jakarta dengan tokoh-tokoh Papua telah lama diserukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Tawaran tersebut mendapat sambutan di sementara kalangan tokoh Papua yang kritis terhadap Jakarta, dengan catatan dilaksanakan dengan mediasi oleh pihak ketiga.. Pendeta Socratez Yoman, yang baru-baru ini mengunjungi Selandia Baru untuk bertemu dengan anggota parlemen negara itu, mengatakan dialog dengan Jakarta harus dilaksanakan dengan perantaraan pihak ketiga. Socratez menjadikan perundingan antara Jakarta-GAM sebagai contoh. Ketika itu, dialog tersebut dimediasi oleh Martti Ahtisaari, mantan presiden Finlandia lewat lembaga resolusi konflik yang didirikannya, Crisis Management Initiative.

Hal yang sama dikatakan oleh  tokoh gereja lainnya, Pendeta Benny Giay, baru-baru ini menulis di theconversation.com. Ia menyerukan perlunya penyelesaian yang bermartabat bagi konflik Papua. Ia menilai dialog antara Jakarta-Papua perlu dilakukan dengan mediasi komunitas internasional.

"Sebuah resolusi sejati bagi rakyat Papua hanya bisa muncul dari kesediaan Indonesia mendengar dan menghentikan tekanan terhadap rakyat Papua. Indonesia harus menyambut dukungan dunia internasional, seperti MSG dan PBB, sebagai mediator untuk menemukan resolusi konflik Papua," tulis dia.

Hanya saja, pemerintah Indonesia tampaknya masih berhati-hati terhadap tawaran dialog. Menurut Peneliti LIPI, Adriana Elisabeth, pemerintah RI belum sepenuhnya memahami kerangka dialog inklusif dan menyeluruh yang ditawarkan oleh LIPI. Pemerintah Indonesia juga belum mengakui ULMWP sebagai wakil masyarakat Papua. Padahal menurut Adriana, eksistensi ULMWP tidak mungkin diabaikan lagi karena mereka sudah diakui oleh MSG sebagai peninjau.

ULMWP sendiri, yang dewasa ini dinilai sebagai wadah paling representatif mewakili aspirasi rakyat Papua  yang menyuarakan penentuan nasib sendiri (self determination),  secara resmi belum menyatakan kesediaan dialog dengan Jakarta. Menurut Anggota Tim Kerja ULMWP di dalam negeri, Markus Haluk, bila pun ada negosiasi, agenda pembicaraan yang diinginkan oleh ULMWP adalah hak untuk menentukan nasib sendiri. “Untuk itu sudah ditunjuk anggota ULMWP, Leoni Tanggama sebagai utusan khusus untuk urusan negosiasi,” kata Markus Haluk kepada satuharapan.com, belum lama ini.

Sedangkan bila ada agenda dialog nasional dengan tema lain, menurut Markus Haluk sampai sejauh ini ULMWP belum pernah membicarakan. “Soal itu perlu ada keputusan Eksekutif Komite dan Dewan Komite (ULMWP). Jadi saat ini belum ada,” kata Markus Haluk.

Sebelumnya, Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, juga menegaskan satu-satunya dialog yang diinginkan oleh ULMWP adalah dialog dengan tujuan akhir memberikan kemerdekaan kepada Papua. Dalam sebuah artikelnya di huffingtonpost.com,  ia justru menyerukan agar pemerintah RI mencari solusi bagi kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua.

Suara lain yang lebih keras, dikemukakan tokoh ULMWP , Buchtar Tabuni. Menurut dia, ULMWP tidak memiliki agenda untuk melakukan dialog dengan Jakarta. Agenda ULMWP, menurut dia sebagaimana dikutip oleh suarapapua.com, hanya dua, yakni kampanye hak penentuan nasib sendiri dan mendorong ULMWP untuk menjadi anggota penuh di MSG.

NFPRB sendiri, organisasi yang dipimpin oleh Forkorus, turut menjadi deklarator berdirinya ULMWP, melalui Perdana Menteri, Edison Waromi. “NFRPB adalah salah satu deklarator ULMWP di Vanuatu pada Desember 2014. Ada tiga organisasi besar yang mendeklarasikan ULMWP, yaitu West Papua National Coalition for Liberalisation dan Parlemen National West Papua (PNWP),” kata Markus Haluk.

Namun, Forkorus sendiri tidak mendukung ULMWP, walaupun sejumlah tokoh NFRPB turut bergabung ke dalamnya, seperti Edison Waromi (Perdana Menteri), Jacob Rumbiak (Menteri Luar Negeri) dan Markus Haluk (Sekretaris).

Editor : Eben E. Siadari

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home