Loading...
HAM
Penulis: Sabar Subekti 13:19 WIB | Kamis, 30 Juni 2016

Turki Perdebatkan Mufti Lokal Sahkan Perkawinan

pembicara dalam debat tentang wewenang mufti lokal dan kepala desa mengesahkan pernikahan di Turki. (Foto: dari Hurriyet)

ANKARA, SATUHARAPAN.COM – Turki tengah memperdebatkan tentang peraturan baru yang memberi wewenang bidang keagamaan di provinsi dan distrik dalam melakukan pernikahan.

Aturan baru itu memicu berbagai perdebatan seputar sekularisme di Turki. Perdebatan terjadi di Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), partainya Presiden Recep Tayyip Erdogan yang berkuasa.

Pada pertemuan kelompok parlemen pada Selasa (28/6), Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim mengatakan bahwa mufti setempat dan muhtars (kepala desa) dengan status lingkungan mereka akan diberikan kewenangan untuk melakukan pernikahan, menurut laporan media Turki, Hurriyet.

Ahli hukum dan akademisi, menurut laopran itu, menyebutkan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan prinsip Turki yang berdasarkan konstitusi sekularisme. Ketua Asosiasi Pengacara Turki (Turki Bar Association /TBB), Metin Feyzioğlu, mengklaim bahwa peraturan tersebut adalah "langkah pertama (Turki) beralih dari sekuler menjadi (berdasar) hukum syariah."

"Peraturan ini akan menghapus hak perempuan untuk menikah atas dasar keinginan mereka sendiri. Ini adalah perkembangan berbahaya yang menghilangkan keamanan," kata Feyzioğlu, seperti dilaporkan Hurriyet. Dia menambahkan bahwa "Keunggulan dari Turki sebagai Republik yang modern "akan dicabut dari perempuan dengan peraturan tersebut.

"Saat ini, dalam pernikahan yang dilakukan di kota, hanya pendaftaran pernikahan yang dilakukan dan mereka tidak berwenang untuk bertindak atas isu-isu lainnya. Mufti, imam, dan muhtars, bagaimanapun, adalah berbeda. Mereka akan dapat memberikan tekanan pada orang-orang muda untuk menikah. Ini akan menjadikan perempuan menghadapi bahaya terbesar dari tekanan ini," tambahnya.

Dr. Devrim Güngör dari Fakultas Hukum Universitas Ankara, menurut Hurriyet, juga mengatakan peraturan itu "bertentangan dengan prinsip konstitusi tentang sekularisme dan negara hukum."

"Dalam negara sekuler dan negara hukum, imam atau mufti tidak dapat diberikan wewenang yurisdiksi untuk melakukan pernikahan. Pernikahan adalah lembaga hukum yang disahkan oleh Hukum Perdata," kata Güngör. Menurut dia, para pihak dapat memilih untuk menyelenggarakan upacara keagamaan hanya setelah persyaratan sipil terpenuhi.

"Misalnya, di Italia, yang menjadi pusat Gereja Katolik, pernikahan gereja tidak diterima sebagai legal dan hanya memiliki makna simbolis. Hanya pejabat kota dapat melakukan pengesahan perkawinan," kata Güngör.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home