Loading...
INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan 23:20 WIB | Sabtu, 31 Januari 2015

Uang dan Demokrasi dalam Undang-undang Desa

Dari kiri ke kanan, Budiman Sudjatmiko, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Ari Sudjito dalam Sarasehan "UU Desa dalam Kerangka Keistimewaan Yogyakarta" pada Sabtu (31/1). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kerangka keistimewaan Yogyakarta kini mendapat “suplai energi” baru dengan terbitnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Ada dua hal yang menjadi inti dari UU No. 6 Tahun 2014, yaitu adanya alokasi anggaran ke desa dan demokratisasi an sich desentralisasi pengelolaan wilayah desa.

Intisari dari implementasi UU No. 6 Tahun 2014 ini, setidaknya, menjadi pemicu dalam sarasehan bertajuk “UU Desa Dalam Kerangka Keistimewaan”. Sarasehan yang digelar di Bangsal Kepatihan pada Sabtu (31/1) ini menghadirkan dua narasumber, yaitu Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan anggota DPR RI sekaligus Ketua Pansus UU Desa , Budiman Sudjatmiko. Sedangkan moderator dalam sarasehan ini Sosiolog dari UGM, Ari Sudjito.

Sri Sultan HB X membuka sarasehan dengan sebuah pernyataan bahwa melalui UU No. 6 Tahun 2014 ini, desa tak lagi sebatas menjadi obyek pembangunan, namun bisa bersulih menjadi subyek untuk membangun kesejahteraan. Namun, untuk pembangunan yang menyeluruh, Sri Sultan memiliki pemikiran untuk mengawinkan tiga UU agar memiliki implementasi yang maksimal.

“Dalam wacana pembangunan desa, kita tidak hanya berbicara soal yang fisik saja. Oleh karena itu, kita harus mengawinkan tiga Undang-undang, yaitu UU. No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Otonomi Daerah, dan UU Keistimewaan No. 13 Tahun 2012,” ungkap Sri Sultan.

Sri Sultan berdalih bahwa perkawinan ketiga UU tersebut membuat cakupan wilayah menjadi lebih luas. Hal tersebut nantinya membuat dana yang digelontorkan tak hanya mencakup sebuah desa semata, namun lebih luas dari itu, yaitu hingga mencakup satu kecamatan.

“Hal yang dikembangkan tidak hanya obyeknya saja tetapi juga kecamatannya. Oleh karena itu, namanya pengembangan kawasan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Hasilnya adalah menjadi desa mandiri,” jelas Sri Sultan.

Pernyataan pengembangan kawasan tersebut sebenarnya merupakan salah satu solusi yang dikemukakan oleh Sri Sultan untuk menyingkapi kurang terintegrasinya rencana pembangunan antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten atau kota, yang kemudian berimbas hingga ke pemerintah desa atau kelurahan. Pasalnya, tak jarang dalam rencana pembangunan, terjadi tabrakan perencanaan pembangunan antara pemerintah provinsi dengan pemerintahan di bawahnya.

“Pembangunan harus terintegrasi, antara provinsi dengan kabupaten atau kota. Provinsi punya tema, kabupaten atau kota punya sub tema,” ujar Sri Sultan.

Di sisi lain, anggota DPR RI yang sekaligus Ketua Pansus UU Desa, Budiman Sudjatmiko lebih cenderung untuk berbicara secara teknis terkait dengan UU No. 6 Tahun 2014. Menurut Budiman, UU Tentang Desa tersebut jika diperas hanya memiliki dua inti, yaitu adanya aliran dana ke desa dan demokrasi di tingkat desa.

“UU Tentang Desa ini intinya ada dua, yaitu pertama, ada transfer uang ke desa (akar rumput, yaitu masyarakat dan pemerintah desa), kedua, membuka ruang demokrasi, membuka ruang bagi orang desa untuk berembug secara mandiri dalam menggunakan uang itu,” jelas Budiman Sudjatmiko.

Lebih lanjut, Budiman menyebutkan bahwa UU Tentang Desa ini memuat sisi materiil dan spirituil bagi masyarakat desa. Sisi materiil ditunjukan melalui gelontoran dana ke desa, sedangkan sisi materiil diwujudkan dengan adu ide, argumen, dan gagasan untuk menggunakan uang tersebut.

Menurut Budiman, ide UU Tentang Desa ini lahir karena terdapat ketimpangan penggunaan anggaran antara desa dengan wilayah lain. Padahal, 50,01 persen penduduk Indonesia tinggal di desa. Di sisi lain, pada 2013 silam, anggaran untuk pembangunan desa lewat APBN hanya 42 Trilyun (2,6 persen) dari 1.600 Trilyun.

“Jadi wajar jika urbanisasi ke kota. Wajar jika kota menjadi macet. Wajar jika tingkat kriminalisasi di kota tinggi. Ini karena anggaran yang hanya 42 Trilyun tersebut tidak cukup untuk membangun desa-desa di Indonesia yang jumlahnya mencapai 72.944 desa,” ujar Budiman.

Budiman berharap bahwa dengan adanya UU Tentang Desa ini, masyarakat desa dapat mandiri menentukan nasib dan kebutuhan desanya masing-masing. Dana yang digelontorkan akan dijadikan stimulan untuk membuka peluang usaha dan beragam akses lainnya. Masyarakat desa juga bisa mengidentifikasi masalah sehingga mampu menghasilkan keputusan yang sesuai dengan kebutuhan.

“Di desa ada rembugan uang itu untuk apa, misal ada koperasi petani, pelatihan kerja yang dibuat oleh karang taruna, pendataan kependudukan dengan masuknya IT, mengupayakan air bersih, desa mandiri energi, bahkan penduduk di desa bisa diajarkan mengoperasikan drone untuk memetakan wilayah desa seperti yang sudah dilakukan di masyarakat Dayak ketika memetakan areal lahan perkebunan dan tanah adat,” jelas Budiman.

UU No. 6 Tahun 2014 memang membuat akses kemandirian bagi desa menjadi lebih terbuka. Harapannya, kemandirian tersebut akan bermuara pada kesejahteraan penduduk desa sehingga mampu menekan angka urbanisasi. Namun, permasalahan yang muncul adalah kegagapan aparat desa ketika menerima dana yang berjumlah besar. Tantangan bagi pemerintah ke depan adalah mengupayakan untuk melakukan pendampingan sehingga kelembagaan di tingkat desa menjadi siap untuk mengatur dana yang besar. Alhasil, desa yang selama ini hanya sebagai obyek pembangunan, dapat bersulih rupa menjadi pihak yang menjadi subyek pembangunan.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home