Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 19:35 WIB | Selasa, 17 Januari 2017

Ucapan Duka Mengalir Untuk Lapo Senayan Dkk

Lapo Ni Tondongta Senayan, salah satu rumah makan di kawasan Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, yang diberitakan harus angkat kaki karena lahan tersebut akan dibangun sarana pendukung olah raga penyelenggaraan Asian Games (Foto: Kompas)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sejak beberapa hari terakhir sebuah 'berita duka' yang tak biasa beredar lewat medsos. Isinya mengabarkan bakal ditutupnya Lapo Senayan, rumah makan khas Batak di kawasan Senayan Jakarta. Ia akan ditutup bersama rumah makan lainnya di kawasan yang sama.

Berita duka—BREAKING NEWS. Akan berpulang ke rumahnya masing-masing, Lapo, Chinese Food, Iga Babi, Mie Siantar, Mie Medan, Masakan Manado, Makassar yang berlokasi di bilangan Senayan (sebelah SMA 24 dan di belakang gedung MPR/DPR),” demikian isi pesan duka itu.

Walau di kawasan Lapangan Tembak Senayan itu bertebaran rumah makan dengan hidangan khas dari berbagai pelosok Nusantara, tak ayal yang paling banyak mendapat sorotan adalah Lapo Senayan. Ini adalah penyebutan untuk beberapa rumah makan yang menghidangkan makanan khas Batak di sana. Salah satu yang tertua adalah Lapo ni Tondongta Senayan, yang telah berdiri sejak 24 tahun lalu.

Rupanya rumah makan ini sangat membekas di kalangan pelanggannya. Bukan hanya dari kalangan orang Batak, tetapi juga mereka yang berlatarbelakang etnis lain. Mereka acap menikmati makan siang di tempat itu.

"Lapo Senayan yang pasti legendaris. Turun-temurun dan dari mulut ke mulut dikenal. Suasana enak. Jika harus digusur, tentu saja ada rasa kehilangan. Semoga bisa mencari alternatif tempat yang dekat sehingga kita tidak kehilangan," kata Pakar Perpajakan, Yustinus Prastowo, mengemukakan kesannya tentang lepau itu kepada satuharapan.com.

Menurut informasi, kontrak sewa lahan yang dipakai Lapo Senayan dan kawan-kawan (Dkk)  berakhir per 15 Desember tahun lalu. Kontrak tersebut tidak diperpanjang karena di sana akan dibangun fasilitas penunjang Asian Games.
 
Informasi itu sudah disampaikan sejak November dan para pedagang harus mengosongkannya per 16 Desember. Setelah sempat terjadi penolakan, surat kedua pada 28 Desember datang dari pihak pengelola Gelora Bung Karno (GBK) yang memberi waktu bagi para pedagang hingga 15 Januari.

Para pedagang merasa batas waktu itu juga belum cukup. Lagipula mereka ingin ada dialog dengan pengelola GBK. Terakhir, menurut informasi, mereka diberi batas waktu hingga 28 Februari 2017.

Di kawasan ini ada 22 unit usaha yang mempekerjakan lebih kurang 200 orang. Lapo Senayan mungkin yang akan paling sulit untuk mendapat lokasi baru, karena belum tentu pemilik lahan memberi izin dipergunakan untuk makanan seperti yang dihidangkan oleh rumah makan Batak umumnya.

Di media sosial, ucapan bernada dukacita 'melepas' kemungkinan perginya Lapo Senayan sudah berhamburan dalam dua hari ini.

"RIP Lapo Senayan," tulis Josep Sudiro lewat akun Twitternya, @josephsudiro.

"Lapo Senayan mau digusur. agak sedih," tulis akun Twitter @nobitaro.

"NOOOO....." tulis Ica, lewat akun Twitternya, @NIKKONIKKA.

Eka Namara Ginting, seorang entrepreneur, adalah salah satu yang menganggap perlunya Lapo Senayan 'diselamatkan.' Ia mengaku saksi hidup keberadaannya di Jakarta sejak tahun 1970.

"Mungkin terlalu bombastis bila dikatakan: sekeping kebatakan Jakarta akan hilang dengannya," kata pendiri PT Rimba Raya Conservation dan Indo.com ini, seraya mengusulkan kampanye lewat medsos #savelaposenayan untuk menyelamatkan 'sekeping kebatakan' itu.

Menurut dia, peran Lapo Senayan untuk menjalin jejaring (networking) sangat penting. "Kalau mau cari teman/pejabat Batak (DPR, Bos BUMN, alumni), beberapa hari Jumat datang ke lapo, pasti ketemu," kata dia alumni Carnegie Mellon University, AS, ini.

Karena itu ia berharap, bila masalahnya adalah soal kontrak, perlu dicarikan solusi agar kontrak dapat diperpanjang. "Kalau harus renovasi, dibikin bagus, mestinya ada investor yang berminat," tutur dia.

Andreas Harsono, aktivis HAM dari Human Rights Watch (HRW) Indonesia mengatakan banyak kenangan dengan tempat makan yang dibicarakan ini. Ia memakai istilah Pujasera Senayan, karena yang ada di sana bukan hanya Lapo Senayan. Dan semua mengalami nasib yang sama, terancam digusur.

"Pujasera ini milik Jakarta. Ia bukan sekadar tanah yang dipakai para pedagang tersebut. Ia adalah social network. Ia adalah kekayaan Jakarta. Seharusnya pemerintah Jakarta turun tangan," kata Andreas.

Ia juga meminta kandidat gubernur DKI Jakarta  ditanya tentang hal ini. "Bagaimana mereka membantu para pedagang Senayan," tutur dia.

"Saya tentu sedih dengan ditutupnya pujasera tersebut. Saya sering makan di sana, dari mie ayam sampai masakan Medan," tutur Andreas, yang mengatakan sudah berhenti makan 'daging merah' sekitar lima tahun lalu dan membatasi diri hanya sarapan bubur ayam Nyonya Cirebon di tempat itu.

Tokoh Batak di Jakarta yang juga direktur Institut Darma Mahardika, Jansen Sinamo, akan mengenang Lapo Senayan sebagai tempat wisata kuliner untuk memuaskan rasa rindu kepada masakan kampung halaman.

"Sejak jadi warga Jakarta di akhir 1983, ke tempat ini merupakan rutinitas seusai gajian setiap bulan," kata motivator yang dikenal dengan predikat Guru Etos Indonesia ini.

Namun, kata dia, belakangan munculnya berbagai rumah makan Batak yang lebih baik, yang menjadi 'pusat kebatakan' (dengan p kecil). Rumah makan tak lagi sekadar tempat makan siang dengan menu spesial. Acara ulang tahun, rapat bisnis, khususnya rapat untuk membangun kampung halaman dan gereja, diadakan di tempat-tempat itu.

Oleh karena itu, menurut Jansen Sinamo, dengan munculnya rumah makan Batak yang kelasnya lebih baik, (misalnya, ia menyebut Toba Tabo), peran Lapo Senayan bisa tergantikan. "Buat saya kehilangan Lapo Senayan tidak terlalu berarti, sebab cuma pusat kuliner saja dia," tutur Jansen.

Bagi Wartawan Kompas, Salomo Simanungkalit, kawasan itu sangat menolongnya untuk sarapan dalam perjalanan ke kantor. "Tentu bukan sangsang (makanan khas Batak terbuat dari daging babi), tetapi bubur ayam dan masakan Padang yang sudah mulai berjualan pukul 7:00," kata dia.

Sebetulnya, kata dia, dua rumah makan Batak di sana bukan menjadi preferensinya. "Saya justru akan kehilangan Medan Baru atau Medan Ria. Dua-duanya masakan Cina. Yang Ria punya marga Simangunsong. Rasa masakan mereka imbang. Saya lebih suka yang Ria untuk bakmi dan sebangsanya; juga capcay, fuyunghai. Tapi, sop asparagus Medan Baru, menurut rekan saya Bre Redana, lebih enak daripada Hilton punya. Itu pendakuannya pertengahan 1990an," tutur Salomo.

Wahyuningtyas Woro, aktivis yang juga gemar makan di rumah makan Batak seperti Lapo Senayan, tampaknya juga sudah bisa merelakan Lapo Senayan 'pergi' bila diharuskan.

"Jika Lapo Ni Tondongta menggunakan tanah negara, ya harus pergi dari tempat tersebut. Saat ini negara sedang membutuhkan tanah tersebut. Lain halnya jika Lapo Ni Tondongta digusur karena unsur SARA, ya harus kita bela bersama," kata dia.

Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Junimart Girsang, juga melepas 'kepergian' Lapo Senayan dengan berat hati. Menurut dia, status lahan tersebut menyebabkan para pedagang di sana harus pergi.

Namun, Andreas Harsono, yang melihat masalah ini bukan sekadar nasib Lapo Senayan tetapi nasib sejumlah pedagang yang berjualan di sana, mengatakan kawasan Pujasera Senayan itu adalah kekayaan Jakarta. "Tempat ini terletak dekat DPR. Tentu bukan aneh melihat anggota DPR makan bubur ayam pagi hari. Saya beberapa kali jumpa Tjahjo Kumolo sarapan bubur ayam. "Saya juga pernah bawa beberapa konglomerat New York sarapan bubur ayam. Mereka suka sekali. Mereka bawa pesawat pribadi ke Jakarta. Luar biasa bukan? Sayang sekali bila pemerintah tak memahami betapa hebatnya pujasera ini," tutur Andreas.

Ada info yang mengatakan bahwa lahan itu dibebaskan bukan untuk membangun kawasan olah raga melainkan akan digantikan dengan rumah makan multinasional. Namun ini masih harus dicek kebenarannya.

Menurut Salomo, yang mengunjungi kawasan itu dan menemui salah satu rumah makan Padang di sana, ia mendapat penjelasan bahwa mereka dulu menandatangani pernyataan, bila sesewaktu tanah tersebut digunakan, pemiliknya (Setneg), maka mereka harus meninggalkannya.

Benget Simbolon, wartawan sebuah media pertambangan, mengatakan seharusnya kawasan itu dapat dipelihara sebagai tempat berbagai ragam kuliner kerakyatan. Ataupun kalau harus direlokasi, dapat mengambil tempat pada kawasan lain masih di Senayan.

"Ini bisa didorong menjadi proyek DPR untuk menunjukkan suasana kerakyatan di Senayan," kata mantan wartawan The Jakarta Post itu.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home