Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:13 WIB | Sabtu, 20 Oktober 2018

UGM Tawarkan Rekomendasi Atasi Polemik Tanaman Sawit di Kawasan Hutan

Ilustrasi. .Perkebunan sawit yang dapat memicu kenaikan suhu tanah di Indonesia. (Foto: Dok. satuharapan.com)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan, menjadi ancaman serius bagi hutan Indonesia.  Bahkan pembukaan lahan hutan menjadi kawasan sawit semakin mengkhawatirkan dari waktu ke waktu.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM Dr Budiadi menyebutkan, sekitar 2,8 juta hektar lahan perkebunan sawit berada di dalam kawasan hutan. Lokasinya dalam kawasan hutan membuat statusnya menjadi ilegal.

“Hasil olahan data yang kami lakukan mencatat dari jumlah tersebut, sekitar 35 persen merupakan kebun yang dikelola masyarakat, sedangkan sisanya dikelola perusahaan,” katanya saat Jumpa Pers di kampus setempat, Jum’at (19/10), yang dilansir situs ugm.ac.id.

Padahal, keberadaan kebun kelapa sawit monokultur yang dikelola masyarakat di kawasan hutan, menimbulkan berbagai dampak yang buruk bagi ekosistem hutan alam yang heterogen. Selain itu juga akan memicu dibangunnya kebun-kebun sawit baru di sekitarnya.

Menyikapi kondisi tersebut, Fakultas Kehutanan UGM merasa perlu mengambil posisi dan berkontribusi menawarkan solusi.

Tantangan utama adalah menyelesaikan masalah keterlanjuran dari ekspansi kebun kelapa sawit di dalam kawasan hutan, dan mengantisipasi dampak dari ekspansi kebun kelapa sawit tersebut terhadap lingkungan, sosial, kesejahteraan masyarakat, dan prioritas pembangunan lainnya.

Budiadi mengatakan pemerintah telah mengeluarkan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit.

Melalui Inpres tersebut, pada intinya Gubernur dan Bupati diperintahkan untuk mengevaluasi kembali izin pelepasan kawasan, dan menunda penerbitan izin pembukaan kebun sawit selama masa tiga tahun.

Tawarkan Strategi Jangka Benah

Pihaknya, menyambut baik munculnya kebijakan tersebut. Menurutnya moratorium izin baru pembukaan kebun sawit sudah seharusnya dilakukan sejak lama mengingat banyaknya kasus pelanggaran izin dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.  Sementara untuk mendukung penyelesaian konflik kebun sawit dalam kawasan hutan, Fakultas Kehutanan UGM mengusulkan terobosan yang dinamai dengan Strategi Jangka Benah.

“Jangka Benah, merupakan upaya pembenahan kawasan hutan yang telah terlanjur dibuka masyarakat menjadi kebun sawit untuk dikembalikan menjadi hutan kembali,” katanya.

Strategi tersebut, berbasis pada upaya perbaikan pendapatan keluarga petani kecil, aspek sosial, dan fungsi ekologi.

Budiadi menyebutkan, dengan konsep ini masyarakat bisa mengelola kebun sawit di dalam hutan, namun dengan pendekatan pengelolaan yang berbeda. Misalnya dengan model agroforestri, yakni dengan menanam tanaman lain dalam kebun sawit, untuk meningkatkan produktivitas lahan dan biodiversitas.

Koordinator tim peneliti UGM terkait sawit di kawasan hutan Dr. Hero Marheanto, melalui strategi Jangka Benah tersebut, diharapkan mampu mengembalikan kawasan hutan yang dijadikan kebun sawit seperti ekosistem sebelumnya sebagai hutan alam.

Hero mengatakan,  upaya untuk mengembalikan kondisi kebun sawit menjadi hutan, bukanlah hal yang mudah. Karenanya dalam periode awal perlu dilakukan perbaikan struktur dari hutan monokultur, menjadi heterokultur dengan agroforsetri. Selanjutnya diikuti dengan upaya perbaikan fungsi hidrologis hutan.

“Usulan ini akan berhasil apabila ada dukungan regulasi dan juga masyarakat,” katanya.

Pakar Sistem Pengelolaan sumber Daya Hutan UGM Dr Ari Susanti  mengatakan,  pengelolaan kebun monokultur dalam kawasaan secara propoporsional perlu dilakukan, sebab keberadaannya tidak hanya mempengaruhi habitat flora dan fauna serta jumlah keanekaragaman hayati.

Perubahan mosaik lanskap tersebut, juga mempengaruhi fungsi hidrologis hutan yang menyebabkan berkurangnya kemampuan menyimpan air saat musim hujan, sehingga saat musim kemarau, terjadi kekeringan lahan, dan rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan.

“Perubahan penutupan lahan dari hutan alam menjadi kebun kelapa sawit monokultur, juga berpotensi menjadi kontributor emisi gas rumah kaca nasional, terutama apabila lahan hutan yang dikonversi melibatkan hutan rawa gambut,” katanya.

Sementara Pakar Konservasi Satwa Liar UGM Dr Muhammad Ali Imron mengatakan, bahwa ekspansi kebun sawit di kawasan hutan juga menimbulkan konflik antara manusia dengan satwa liar. Tidak sedikit kasus yang menyebabkan satwa yang tinggal di kawasan hutan seperti harimau dan gajah yang diburu dan dibunuh seperti yang terjadi di Sumatera.

Selain mengusulkan Strategi Jangka Benah, Fakultas Kehutanan UGM juga merumuskan beberapa terobosan penting dalam tiga aspek yakni, aspek pengelolaan, aspek kelembagaan, dan aspek kebijakan.

Terobosan dalam aspek pengelolaan antara lain, dengan penyelesaian tata batas kawasan hutan, dan kuantifikasi dampak lingkungan dan sosial dari keberadaan kebun sawit di kawasan hutan.

Dari aspek kelembagaan dengan mendorong Indonesian Sutainable Palm Oil System,  menjadi standar pengelolaan kebun kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan. Selain itu juga mendorong skema-skema Public-Private Patnership antara perusahaan-perusahaan kelapa sawit dengan pemerintah dan masyarakat.

Sementara dari aspek kebijakan dengan kebijakan pembenahan tata ruang yang efektif, terutama terkait dengan penentuan lokasi dan alokasi izin, persyaratan izin, dan kewenangan pemberi izin. Tidak kalah penting merevisi berbagai kebijakan kehutanan terkait, terutama yang masih tumpang tindih satu sama lain.

Berbagai rekomendasi pengelolaan perkebunan sawit monokulturdi kawasan hutan tersebut, akan segera disampaikan ke Kementrian Lingkugan Hidup dan Kehutanan. Usulan-usulan tersebut, diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam proses revisi maupun pembuatan kebijakan terkait pengelolaan kebun sawit di kawasan hutan.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home