Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 07:03 WIB | Selasa, 09 Februari 2016

Umat Konghucu Harus Bersyukur, Harta Tidak Dibawa Mati

Ilustrasi: Budi Santoso Tanuwibowo beberapa saat setelah menerima satuharapan.com di kantornya, di Jakarta Selatan. (Foto: Dok. satuharapan.com/ Prasasta Widiadi).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Umat Konghucu dalam memperingati Tahun Baru Konghucu, atau yang biasa disebut dengan Tahun Baru Imlek, harus ingat senantiasa bersyukur karena apa yang dimiliki manusia di dunia tidak akan dibawa mati.

"Semoga tahun baru ini, kita bisa memperbaharui diri dengan bersyukur, karena masih diberi waktu untuk hidup. Ketika kita meninggal, semuanya tidak ada gunanya. Harta berlimpah tidak ada yang dibawa,” kata Sekretaris Dewan Rohaniwan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Budi Santoso Tanuwibowo, saat perayaan Tahun Baru Imlek 2567 di Kelenteng Kong Miao Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Senin (8/2).

Budi mengingatkan Umat Konghucu agar menjadikan Imlek sebagai momen untuk berintrospeksi diri serta kembali ke titik nol.

“Mari kita kembali pada jati diri kita sebagai manusia yang rendah hati. Kita sebagai manusia harus sadar kembali ke titik nol bahwa kita bukan siapa-siapa,” kata dia.

Ia menambahkan sesama umat Konghucu juga harus saling mengingatkan satu sama lain.  Tahun baru Imlek 2567 menandai dimulainya tahun monyet dengan unsur api.

Puluhan umat Konghucu mengikuti sembahyang di Kelenteng Kong Miao sejak pagi. Usai acara sembahyang, kelenteng menggelar atraksi barongsai yang terbuka untuk umum. Atraksi tersebut mengundang perhatian ratusan pengunjung TMII yang memadati kelenteng untuk menonton barongsai.

Budi  mengajak Umat Konghucu di Indonesia tidak melupakan orang-orang yang telah berjasa dalam mengembalikan hak-hak sipil mereka di masa Orde Baru.

“Tanpa mereka, siapa yang mau urus Konghucu mengembalikan hak-haknya," kata  Budi.

Menurut Budi, selain almarhum KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang paling berjasa pada umat Konghucu di Indonesia, terdapat tokoh-tokoh lain yang juga turut berperan membela Konghucu. Ia menyebut sejumlah nama seperti Presiden kelima Indonesia Megawati Soekarno Putri, Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, Menteri Sekretaris Negara kesembilan RI Djohan Effendi, Yusril Ihza Mahendra, Menteri Sekretaris Negara kedelapan Bondan Gunawan, Marsillam Simanjuntak, Ali Rahman, Malik Fajar, Maftuh Basyuni, Amien Rais, Din Syamsuddin, Akbar Tandjung, Nurcholish Madjid, dan lainnya.

“Mereka sadar bahwa mereka yang jumlahnya besar melindungi yang kecil. Dengan mengakui itu adalah cerminan jati diri kejujuran,” kata Budi.

Atas dasar pengalaman umat Konghucu yang dulu dibelenggu hak-haknya, Budi juga meminta pada umat Konghucu agar tidak mendiskriminasi orang lain.

Pada kesempatan tersebut, Budi mengungkapkan bahwa Gus Dur telah membela hak-hak umat Konghucu jauh sebelum menjadi Presiden.

Budi yang mengaku cukup dekat dengan Gus Dur itu mengutip kembali ucapan Gus Dur bahwa menjaga umat Konghucu sudah menjadi kewajibannya sebagai pemimpin umat Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia.

"Pada Oktober tahun 1999, saya ke Istana menemui beliau dan meminta agar ada Imlek Nasional, seperti hari raya agama lain di Indonesia. Lalu beliau malah memerintahkan perayaan Imlek dan Cap Go Meh, jadi ada dua kali perayaan setahun,” kata Budi.

Menurut Budi, pembelaan terhadap umat Konghucu sempat terganjal oleh Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang pelarangan pada warga keturunan Tionghoa untuk tidak merayakan hari raya agama, tradisi dan adat istiadat di muka umum.

"Gus Dur bilang, 'gampang nanti dicabut'. Lalu dia keluarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Inpres No 14 Tahun 1967 dan akhirnya untuk pertama kalinya perayaan Imlek digelar secara nasional pada 17 Februari tahun 2000," ungkap Budi.  (Ant).  

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home