Loading...
SAINS
Penulis: Reporter Satuharapan 10:33 WIB | Selasa, 20 Maret 2018

UNESCO: Penyediaan Air Tak Sebanding Kenaikan Penduduk Dunia

Ilustrasi. Lahan basah di Indonesia. (Foto: Dok satuharapan.com/riaugreen.com)

BRASILIA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah perlu lebih mengandalkan pengelolaan air yang “hijau” untuk memastikan planet tetap sehat dan memenuhi kebutuhan populasi global yang tumbuh dengan cepat. Itulah salah satu pesan dalam studi baru oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, UNESCO.

Penelitian yang dilansir pada konferensi air dunia di Brasilia, Brasil, pada hari Senin (19/3) itu, mengkaji berbagai manfaat “infrastruktur” air alami - seperti lahan basah, kebun di perkotaan dan praktik pertanian yang berkesinambungan.

Pertumbuhan penduduk, perubahan pola konsumsi dan pembangunan berdampak pada pasokan air dunia. Permintaan air meningkat sekitar 1 persen per tahun, sementara perubahan iklim, polusi dan erosi mengancam kualitas dan ketersediaan air. Sebelumnya, kebanyakan negara mengandalkan sistem pengelolaan air buatan tradisional seperti waduk, saluran irigasi dan instalasi pengolahan air.

Tiongkok, Mendaur Ulang Air Hujan untuk Konsumsi Perkotaan

Laporan baru UNESCO, seperti ditulis Lisa Bryant dari VOA, memperoleh temuan bahwa investasi untuk opsi pengelolaan air yang lebih hijau sangat sedikit - walaupun manfaatnya banyak.

Stefan Uhlenbrook adalah koordinator Program Pengkajian Air Dunia UNESCO, yang menulis penelitian tersebut. Ia mengatakan, “Solusi hijau dapat memenuhi beberapa solusi pengelolaan air secara bersamaan - memperbaiki pengelolaan air, sekaligus mengurangi banjir atau kekeringan. Memperbaiki akses air dan ada juga berbagai manfaat di luar sektor air.”

Uhlenbrook menambahkan, “Solusi hijau dapat membantu menyimpan karbon, menciptakan lapangan kerja - terutama di lingkungan pedesaan. Solusi-solusi itu juga dapat membantu meningkatkan keanekaragaman hayati, yang juga sangat penting.”

Tujuannya, kata UNESCO, tidak menghilangkan opsi pengelolaan air tradisional seperti tanggul, namun untuk mencapai keseimbangan antara sistem buatan manusia dan yang lebih bergantung pada alam semesta.

Beberapa tempat sudah mulai melakukan itu. New York City menghemat ratusan juta dolar setiap tahun untuk proses pengolahan air limbah dan pemeliharaan dengan melindungi daerah aliran air alami yang luas. Tiongkok berencana membangun proyek percontohan guna mendaur ulang air hujan untuk konsumsi perkotaan.

Beberapa komunitas membangun lahan basah buatan untuk mengatasi banjir dan polusi. Yang lain, seperti Negara Bagian Rajasthan di India, menerapkan praktik pengelolaan air dan tanah yang lebih berkesinambungan untuk meningkatkan panen dan mengatasi kekeringan, tantangan yang semakin besar pada masa depan.

“Kita harus menanam 50 persen lebih banyak tanaman pangan dalam 30-40 tahun ke depan. Kita harus memikirkan bagaimana melakukan itu tanpa menggunduli lebih banyak hutan, memotong lebih banyak pohon dan berusaha membuka lebih banyak lahan - yang hampir tidak mungkin terjadi di banyak tempat di seluruh dunia,” ujar Uhlenbrook lagi.

Para ahli mengatakan pengelolaan air yang lebih hijau dapat membantu meningkatkan produksi pertanian hingga 20 persen - yang mungkin penting untuk memberi makan populasi global yang diperkirakan mencapai hampir 10 miliar pada tahun 2050. (voaindonesia.com)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home