Loading...
SAINS
Penulis: Sabar Subekti 08:09 WIB | Rabu, 16 Oktober 2019

UNICEF: Satu dari Tiga Balita Kekurangan Gizi

Dalam laporan UNICEF menampilkan grafik yang menunjukkan Indonesia termasuk di antara negara dengan 50-59,9 persen balita mengalami kekurangan gizi. (foto: dari UNICEF)

SATUHARAPAN.COM - Satu dari tiga anak balita di dunia mengalami kekurangan gizi dan tidak berkembang dengan baik. Demikian pernyataan badan dunia untuk anak-anak, UNICEF, pada hari Selasa (15/10), dalam laporannya yang paling komprehensif tentang anak-anak, makanan dan gizi dalam kurun 20 tahun ini.

"Sejumlah besar anak-anak yang menderita akibat makanan yang buruk dan sistem makanan yang membuat mereka gagal," kata badan memperingatkan.

Sekitar 200 juta anak balita mengalami kekurangan gizi atau kelebihan berat badan (kegemukan/obesitas). Sementara itu, satu dari tiga anak(usia antara enam bulan dan satu tahun), secara global tidak mendapatkan makanan yang tepat. Angka ini hampir mencapai dua pertiga jumlah anak usia tersebut.

Kurangnya nutrisi yang memadai meningkatkan kerentanan anak-anak terhadap masalah kesehatan, yaitu perkembangan otak yang buruk, pembelajaran yang lemah, kekebalan rendah, peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan dalam banyak kasus, kematian dini.

“Jika anak-anak makan dengan buruk, mereka hidup dengan buruk", Direktur Eksekutif lembaga itu, Henrietta Fore. Dan menjelaskan bahwa jutaan anak tidak hidup dari diet yang sehat "karena mereka tidak punya pilihan yang lebih baik."

“Ini bukan hanya tentang anak mendapatkan makanan yang cukup; tetapi terutama tentang memberi mereka makanan yang tepat untuk dimakan,” kata dia.

Kelaparan Tersembunyi

Laporan itu menggambarkan “tiga beban” gizi buruk, yaitu kurang gizi, kelebihan berat badan, dan defisiensi nutrisi esensial. Akibatnya, 149 juta anak di bawah lima tahun terhambat pertumbuhan mereka, 50 juta terlalu kurus untuk tinggi badan mereka, yang merupakan tanda-tanda umum kekurangan gizi.

Sementara, 40 juta lainnya dalam kelompok usia yang sama kelebihan berat badan atau obesitas. Setengah dari semua anak di bawah lima tahun di seluruh dunia tidak mendapatkan vitamin dan nutrisi penting, sebuah masalah yang oleh UNICEF dijuluki sebagai “kelaparan tersembunyi”.

Pola makan yang buruk yang mulai diperkenalkan pada awal kehidupan, yang terbukti sangat merugikan dalam 1.000 hari pertama yang penting. Meskipun pemberian ASI terbukti menyelamatkan jiwa, hanya 42 persen anak di bawah enam bulan yang disusui secara eksklusif, dengan ketergantungan yang semakin besar pada susu formula, laporan itu memperingatkan.

Penjualan pengganti susu naik 72 persen antara 2008 dan 2013 di negara-negara berpenghasilan menengah ke atas termasuk Brasil, China dan Turki.

Ketika anak-anak mencapai usia sekolah, mereka secara rutin terpapar makanan yang tidak sehat, makanan yang diproses secara berlebihan, dengan sekitar 42 persen remaja di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah mengonsumsi minuman ringan bergula setidaknya sekali sehari, dan 46 persen mengonsumsi makanan cepat saji setidaknya seminggu sekali. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, angkanya masing-masing melonjak menjadi 62 dan 49 persen.

Hasilnya adalah penduduk muda global yang kelebihan berat badan kronis, yang meningkat di setiap benua. Dari tahun 2000-2016, proporsi anak-anak yang kelebihan berat badan berusia lima hingga 19 tahun, naik dari satu banding 10, menjadi hampir satu dari lima.

Dunia Terus Berubah

Anak-anak yang hidup dalam kemiskinan, menanggung beban terbesar dari segala bentuk kekurangan gizi, dengan keluarga yang lebih miskin cenderung membeli makanan berkualitas rendah dan lebih murah.

Kurangnya makanan sehat melanggengkan status kemiskinan keluarga dari generasi ke generasi. Sementara terjadi perubahan: makin banyak keluarga yang meninggalkan desa untuk menjadi penghuni kota, semakin banyak perempuan bergabung dengan angkatan kerja, krisis perubahan iklim, air, dan kualitas udara.

UNICEF merekomendasikan untuk memberikan insentif bagi pemasok makanan sehat yang terjangkau, menyertakan label yang mudah dipahami, dan perlindungan sistem air dan sanitasi.

Dalam praktiknya, kebijakan itu bisa dilakukan dengan menerapkan "pajak gula", yang berarti kenaikan biaya makanan manis kepada konsumen, seperti yang dilakukan Malaysia baru-baru ini, sebagai tanggapan terhadap meningkatnya obesitas.

Editor : Sabar Subekti


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home