Loading...
OPINI
Penulis: Surya Samudera Giamsjah 00:00 WIB | Kamis, 09 April 2015

Untuk Siapa Hukum Ditegakkan?

SATUHARAPAN.COM – Hari-hari ini, sebagai bangsa kita sedang dibingungkan dengan peristiwa-peristiwa di seputar kepastian hukum. Mulai dari dunia politik yang menghadirkan gonjang-ganjing parpol, komitmen pemberantasan korupsi, kasus terpidana mati bagi pengedar narkoba, sampai kasus yang menyentuh rasa keadilan rakyat: Nenek Asyani dan anak Nias "di bawah umur", Yusman Telaumbanua, yang divonis mati.

Semua fenomena itu memperlihatkan betapa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rasanya masih sangat sukar menembus benteng yang "melindungi" mereka yang punya jabatan dan kuasa, tapi terlalu mudah ngepruk wong cilik dengan palu keputusan. Rakyat tidak lagi mampu menangkap nilai-nilai keadilan dalam penegakan hukum, bahkan mereka yang pesimis sudah berkata, "Istilah 'penegakan hukum' dibuat untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan rakyat!"

Setidaknya, hukum telah diletakkan di tiga tempat yang bukan tempatnya. Pertama, hukum telah diletakkan sebagai topeng bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Yang berkepentingan ini biasanya mereka yang memiliki reputasi baik di tengah masyarakat, punya nama, jabatan, dan status. Tidak boleh ada satu pun celah dalam rangka mereka mempertahankan nama, jabatan, dan status itu. Tindakan-tindakan behind the scene yang mereka lakukan, dan biasanya melawan rasa keadilan, harus ditutupi sedemikian rupa sehingga mata publik tidak mampu menembus melihatnya. Hukum seringkali menjadi topeng yang manis bagi mereka yang berpunya itu.

Kedua, hukum juga telah diletakkan sebagai benteng yang melindungi penjungkirbalikkan keadilan. Konsep hukum yang seharusnya membawa keadilan bagi semua, telah diletakkan sebagai tameng untuk menghindarkan seseorang dari pertanggungjawabannya dalam mengambil pilihan dan tindakan yang merusak kesejahteraan bersama. Bahkan, tampak di mata anak bangsa ini bahwa yang benar telah disalahkan dan yang salah telah dibenarkan. 

 

Rakyat, yang sudah muak dengan ketidakpastian hukum, menjatuhkan keputusan yang seringkali disebut dengan "main hakim sendiri", dengan membakar begal hidup-hidup dan memukuli anak kecil berseragam sekolah yang ketahuan mencuri, padahal dilakukan karena lapar. Rakyat membutuhkan kepastian hukum dalam realitas hidup sehari-hari, bukan sekedar wacana hukum di siaran-siaran stasiun televisi nasional.

 

Memang, dalam permainan catur dikenal prinsip "pertahanan terbaik adalah dengan menyerang". Namun bukan berarti mempertahankan seseorang yang melakukan kesalahan berarti menjungkirbalikkan fakta dengan mengorbankan keadilan. Hukum melindungi seseorang yang bersalah dari hukuman yang tidak memenuhi rasa keadilan, bukan dengan membebaskan yang bersalah dari tanggung jawab yang harus dipikulnya, apalagi dengan menempatkan wong cilik sebagai tumbal yang dikorbankan (victimized ).

Ketiga, hukum juga telah diletakkan sebagai kendaraan untuk menggapai agenda-agenda tertentu. Melalui hukum, terjadi pertarungan kepentingan. Memang dalam dunia politik dikenal prinsip "tidak ada kawan, tidak ada lawan, yang ada hanyalah kepentingan", oleh karena itu justru dengan menggunakan kaca mata ini hukum dipakai untuk meraih kepentingan. Mereka yang memiliki wewenang membuat hukum justru memakai wewenangnya untuk meng-goal-kan kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. Persidangan-persidangan untuk mengatur mekanisme penegakan keadilan justru dipakai sebagai wadah perang mulut untuk meraih kepentingannya sendiri dan dengan demikian menginjak-injak hakikat pengadilan untuk penegakan keadilan demi kesejahteraan bersama.

Dampaknya? Ketidakpastian hukum membuat rakyat, yang tidak berhak untuk membuat sistem hukum, mengangkat diri sendiri sebagai hakim penegak hukum. Geliat lembaga keagamaan memasuki ranah penerapan hukum secara praktis menunjukkan ketidakpuasan terhadap kinerja penegakan hukum. Rakyat, yang sudah muak dengan ketidakpastian hukum, menjatuhkan keputusan yang seringkali disebut dengan "main hakim sendiri", dengan membakar begal hidup-hidup dan memukuli anak kecil berseragam sekolah yang ketahuan mencuri, padahal dilakukan karena lapar. Rakyat membutuhkan kepastian hukum dalam realitas hidup sehari-hari, bukan sekedar wacana hukum di siaran-siaran stasiun televisi nasional.

Baik pihak legislatif, eksekutif , maupun yudikatif, dipanggil untuk membangun sistem yang menghadirkan kesejahteraan bersama, bukan sistem-sistem hukum yang menguntungkan segelintir kelompok masyarakat, apalagi dengan mengorbankan rakyat! Alam demokrasi Pancasila mensyaratkan "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" dan itu menjadi pagar bagi semua pihak untuk menempatkan "seluruh rakyat Indonesia" sebagai subyek pelaku dan subyek penerima keputusan-keputusan yang mendatangkan kesejahteraan bersama.

Penegakan hukum seyogianya dilaksanakan dalam rangka penegakan keadilan demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Terjemahan lain tentang kesejahteraan hidup bersama yang Yesus katakan dalam kotbah-Nya di bukit berkata, "Letakkanlah kedaulatan Allah sebagai yang terutama dalam hidupmu dengan menegakkan keadilan, maka semuanya itu - apa yang kau makan, apa yang kau minum, dan apa yang kau pakai - akan ditambahkan kepadamu!" (Mat 6: 31, 33 ). Ucapan ini mengindikasikan penegakan keadilan sebagai prasyarat utama terwujudnya kesejahteraan bersama. 

Sudahkah keadilan itu ditegakkan?

 

Penulis adalah pendeta GKI Taman Majapahit, Semarang


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home