Loading...
INSPIRASI
Penulis: Yoel M Indrasmoro 09:58 WIB | Jumat, 29 Mei 2020

Untunglah Petrus Enggak Marah!

Seandainya Petrus marah seperti saat dia menetak telinga Malkus di Taman Getsemani, kemungkinan besar penjelasan lebih lanjut tentang magnalia Dei tidak akan pernah tersampaikan.
Simon Petrus (foto: wikipedia)

SATUHARAPAN.COM – Kisah Pentakosta (Kis. 2:1-13) sungguh kisah komunikasi. Para murid mengomunikasikan magnalia Dei ’perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah’ kepada orang-orang Yahudi diaspora yang berada di Yerusalem pada waktu itu.

Inti komunikasi para murid adalah magnalia Dei. Mereka tidak sedang bercerita mengenai diri mereka sendiri. Yang dikomunikasikan adalah karya besar Allah. Kisah Pentakosta agaknya juga  mengajak kita untuk bertanya dalam diri: ”Apakah atau siapakah yang menjadi pokok pembicaraan kita saat bercakap-cakap dengan orang lain?

Dalam kisah Pentakosta, kita bisa menyaksikan bagaimana para Yahudi diaspora itu heran, terpesona, dan bertanya satu sama lain, ”Apa artinya ini?” Komunikasi yang baik mengajak kawan bicara untuk menelaah lebih dalam agar mampu memahami apa yang sedang dibicarakan kawan bicara. Komunikasi yang baik semestinya memang tidak mengajak kawan bicara menjadi tersinggung, bahkan marah. itu berarti komunikasi semestinya menarik kawan bicara ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Hasoloan Oppusunggu, guru editorial saya, selalu mengingatkan para muridnya untuk mengangkat para pembaca ke tingkat yang lebih tinggi. ”Kalau membuat cerita untuk anak kelas tiga, kita harus membuat cerita itu untuk anak kelas empat. Agar mereka menjadi naik kelas.” Menurut Pak Oppu—demikian saya biasa memanggilnya—cerita itu mesti membuat seorang anak bangga akan capaiannya. Kebanggaan itulah yang akan membuat dia lebih percaya diri.

Akan tetapi, bagaimana jika bahan komunikasi yang kita percakapkan itu—meski sungguh amat baik—ternyata tak berterima di kalangan pendengarnya? Pada titik ini, kita bisa belajar dari Petrus. Ketika ada orang yang mengejek—bahkan berkata, ”Ah, orang-orang itu hanya mabuk saja!” (lih. Kis. 2:13)—Petrus tidak marah. Bisa jadi dia melihat ejekan itu sebagai peluang untuk memberikan penjelasan. Dan penjelasannya sangat runut dan runtut, bahkan Petrus merasa perlu mengutip nubuat Nabi Yoel. Sejarah pun mencatat ada sekitar 3.000 orang yang menjadi percaya karena penjelasan Petrus.

Seandainya—ya mari kita berandai-andai—Petrus marah seperti saat dia menetak telinga Malkhus di Taman Getsemani, kemungkinan besar penjelasan lebih lanjut tentang magnalia Dei tidak akan pernah tersampaikan. Untunglah Petrus enggak marah!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home