Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 02:09 WIB | Minggu, 18 Desember 2016

Upacara Kebo Ketan: Merawat Kebudayaan dan Kemanusiaan

Ilustrasi poster upacara Kebo Ketan pada tanggal 17-18 Desember 2016 di dua lokasi di Ngawi. (Foto: kratonngiyom.org)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Setelah beberapa kali mencipta karya seni kejadian (happening art) seniman asal Ngawi, Jawa Timur, Bramantyo Prijosusilo pada 17-18 Desember 2016 di dua lokasi di Ngawi: Sendang Marga di Alas Begal, kecamatan Kedungalar dan di Lapangan Desa Sekarputih, Kecamatan Widodaren membuat sebuah karya “seni kejadian berdampak” yang merupakan satu serial dari serangkaian narasi yang sedang dibangun.

Bram, panggilan Bramantyo Prijosusilo menjelaskan bahwa narasi yang sedang dibangunnya itu dinamai Upacara Kebo Ketan, diawali dengan perkawinan seniman Kodok Ibnu Sukodok dengan dhanyang Sendang Marga bernama Setyowati, pada 8 Oktober 2014. Di bulan Juni 2015, narasi berkembang dengan lahirnya Jaga Samudra dan Sri Parwati dari perkawinan Kodok-Setyowati itu.

Melalui narasi itu Kraton Ngiyom yang digawangi Bram bersama Perhutani dan disaksikan masyarakat luas memastikan batas daerah konservasi Sendang Marga dan Sendang Ngiyom menurut undang undang, dan mengurus perubahan status wilayah itu dari areal produksi menjadi areal konservasi.

"Narasi besar tersebut menjelaskan keprihatinan akan kondisi lingkungan alam dan kebudayaan kita ini juga dimiliki para dhanyang Nusantara, termasuk Ratu Kidul dan juga Bagindo Milir, penguasa Bengawan Solo," kata Bram dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/12).

"Jaga Samudra dan Sri Parwati, sejak kecil dididik agar menjadi mahluk yang memperjuangkan kejayaan Nusantara sebagai bangsa maritim yang tidak lupa daratan. Kita ingin, bukan hanya handal di laut, di perdagangan, di teknologi transportasi dan komunikasi, tetapi juga memiliki dasar pertanian yang kokoh. Bertani diartikan sebagai “mengolah tanah” sehingga tanah makin lama makin subur bukan makin bantat," kata dia.

Upacara Kebo Ketan melibatkan tidak kurang 600 seniman terdiri lebih dari 20 kelompok seni musik dari Indonesia dan manca negara. Tidak kurang Sawung Jabo bersama Sirkus Barrock-nya memeriahkan panggung pada Sabtu (17/12) bersama musisi lain seperti Iwan Fals, Oppie Andaresta, Doni Suwung, kelompok musik NOS, Joel Tampeng. Upacara Kebo Ketan sendiri dipersiapkan lebih dari setahun.

Membanting Macan Kerah

Pada tahun 2012, Bramantyo Prijosusilo sempat menggegerkan Yogyakarta dengan aksi menggelar karya pertunjukan seni Social Sculpture atau patung sosial berjudul ”Aku Melawan Perusakan Atas Nama Agama” di depan Markas Majelis Mujahidin di Jalan Karanglo 94, Kotagede, Bantul, DI Yogyakarta.

Ketika itu Bramantyo mengatakan, aksinya merupakan bentuk keprihatinan terhadap merebaknya gejala radikalisme yang mengancam keberadaan negara dan ketenteraman bangsa Indonesia. Dalam aksinya, Bram berencana membawakan puisi berjudul ”Membanting Macan Kerah” yang mengisahkan wilayah Yogyakarta yang sebenarnya dimiliki seorang Kalipatullah Panatagama, yaitu Sultan Hamengku Buwono X sehingga tidaklah elok jika muncul gerakan-gerakan atas nama agama yang justru bertentangan dengan ekspresi keagamaan Keraton Yogyakarta yang damai dan berestetika.

Bramantyo mengawali aksinya dengan berdoa kepada leluhur Mataram di makam raja-raja Kotagede. Dengan berkostum jubah, udheng, keris di depan, beserta kendi berisi air kembang, Bramantyo berangkat menuju Karanglo menggunakan andong sekira pukul 09.00. Adanya penolakan dan perlawanan dari MMI, Bramantyo yang belum sempat menampilkan aksinya diamankan aparat kepolisian.

Upacara Kebo Ketan

Prosesi upacara penyembelihan Kebo Ketan dilaksanakan pada Minggu (18/12) dengan melibatkan seniman lintas disiplin sejak dari persiapan. Gambar awal Kebo dikerjakan oleh maestro pelukis Djoko Pekik dilanjutkan pencetakan kepalanya oleh pelukis Heri Dono, sementara badan Kebo yang berukuran lebih dari dua kali ukuran kerbau hidup dikerjakan perupa Muncang bersama Khasan dan Ari dari Barong Abang (Tanggulangin, Wonogiri). Bahan Kebo Ketan menggunakan beras ketan hitam seberat 110 kg.

Kebo Ketan diarak keliling kampung dilanjutkan dengan pentas/pertunjukan seni budaya yang melibatkan masyarakat setempat. Pembuatan Kebo Ketan dilakukan sehari sebelumnya. Setelah pertunjukan, Kebo Ketan disembelih. Pada leher Kebo Ketan diisi gula merah cair sebanyak 20 liter yang akan menjadi perlambang darah saat disembelih. Setelahnya ketan akan dibagikan dengan tertib dan merata, bukan diperebutkan dalam ritual rayahan yang justru akan mengukuhkan kembali simbol-simbol/struktur feodalisme.

Upacara Kebo Ketan dalam perkembangan nantinya diarahkan oleh Habib Lutfi Yahya (ulama kharismatik dari Pekalongan) agar dilakukan setiap tahun, untuk dikaitkan dengan peringatan Maulud Nabi. Dalam hal ini, Kraton Ngiyom mengajak semua pihak dan golangan ikut merayakannya.

Pada kesempatan Upacara Kebo Ketan 2016, warga Hindu, Buddha, Konfusiusian, dan Kristen dan Abangan, semua turut serta merayakan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW sebagai rahmatan lil alamin. Upacara Kebo Ketan bisa menjadi suatu tonggak sejarah di dalam kebudayaan di Jawa, di mana sebelumnya perayaan Garebeg Maulud selalu dikerjakan oleh raja, di sini dikerjakan dan diselenggarakan oleh rakyat jelata.

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home