Loading...
OPINI
Penulis: KH A. Mustofa Bisri 13:19 WIB | Jumat, 17 Mei 2013

Upaya Reformasi yang Sesungguhnya

K.H. A. Mustofa Bisri sering dipanggil juga Gus Mus (Foto: eftutor.blogspot.com)

SATUHARAPAN.COM - Reformasi sudah 15 tahun sejak dicanangkan tahun 1998. Namun kondisi negeri kita tak kunjung "tereformasi", kalau tidak malah semakin mrawasi. Meski penanganan kasus-kasus korupsi dianggap masih belum maksimal. Beberapa yang sudah ditangani, tak ayal, telah menunjukkan betapa  korupsi di negeri kita ini sudah sangat biasa, untuk tidak mengatakan sudah membudaya.

Kondisi penegakkan hukum yang pincang, tidak saja semakin menambah maraknya korupsi, merajalelanya kasus suap, mengguritanya mafia pajak dan segala macam mafia lainnya; tapi juga memperparah tindakan main hakim sendiri, baik oleh perorangan maupun kelompok masyarakat. Di lain pihak, ketidaktegasan Pemerintah, tidak saja membuat konflik antar kelompok dan tindak kekerasan nyaris tidak terkendali; tapi juga mengakibatkan bertumpuknya masalah-masalah lain.

DPR yang seharusnya mewakili rakyat dan menjadi lembaga pengontrol penguasa, anggota-anggotanya banyak yang justru mengkhianatinya dengan perilaku mereka yang kampungan, dan kinerja mereka yang sangat buruk. Kritik-kritik terhadap mereka, seperti sama sekali tidak membangunkan mereka. Sampai-sampai  rakyat  tidak hanya tidak percaya kepada mereka, tapi  bahkan banyak yang terang-terangan  menyatakan kemuakan terhadap "wakil-wakil rakyat" yang tidak terhormat itu.

Krisis yang paling mengkhawatirkan "di antara krisis-krisis yang melanda" pun sudah mulai menunjukkan bentuknya: krisis kepercayaan. Gara-gara terlalu banyak yang korup, penegak hukum tak dipercaya. Gara-gara terlalu banyak yang tak becus dan hanya pamer gagah, DPR  tak dipercaya. Gara-gara terlalu banyak yang tidak mengayomi umat hanya ngurusi kepentingan sendiri, tokoh-tokoh agama tak dipercaya. Gara-gara terlalu banyak yang hanya mementingkan diri dan kelompok sendiri, para politisi tidak dipercaya. Gara-gara terlalu sering pemerintah pusat tidak sigap menangani permasalahan daerah, pemerintah pusat tidak dipercaya. Gara-gara terlalu lamban mengambil keputusan dan banyak persoalan rakyat yang diabaikan, pemerintah tidak dipercaya. Gara-gara itu semua, masyarakat pun terombang-ambing dalam ketidakpercayaan. 

Mereka yang masih memilki kepedulian, banyak yang sudah berusaha menawarkan solusi-solusi dan berusaha mencari akar masalah dari kondisi yang memprihatinkan ini. Para tokoh lintas-agama bahkan mengeluarkan "Fatwa kebohongan" yang kemudian diikuti pendeklarasian "Gerakan Anti Bohong" oleh para akademisi dari beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta serta tokoh agama di Jawa Timur. Rupanya para tokoh lintas-agama dan para akademisi tersebut menilai bahwa kebiasaan berbohonglah yang menjadi akar masalah dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Dan mereka ingin memperbaiki melalui karakter bangsa.  

Sebagai upaya perbaikan (reformasi) tentulah fatwa dan gerakan itu perlu kita dukung. Namun menilai kebiasaan bohong sebagai akar masalah, menurut saya terlalu sulit dipahami. Menurut saya, kebiasaan bohong, sama dengan kebiasaan-kebiasaan buruk lain seperti  mengkhianati amanat, merampas hak orang lain, ngawur, menyepelekan hukum, tak punya malu, menjilat yang di atas menginjak yang di bawah, mementingkan diri sendiri, dsb, "hanyalah" dampak dan bukan akar masalah. Kebiasaan-kebiasaan ini tentu masih memerlukan pertanyaan: mengapa ada kebiasaan-kebiasaan  buruk seperti itu?

Menurut saya akar masalah itu berawal dari bergesernya pandangan hidup kita, terutama konsep kita tentang kehidupan dunia ini. Kita yang semula memandang hidup di dunia ini hanya sebagai persinggahan, setelah 32 tahun pemerintahan orde baru yang mengagungkan materi, bergeser "sadar atau tanpa sadar" jadi memandang dunia ini sebagai tujuan hidup.

Dari sinilah, dari memandang dunia sebagai tujuan hidup inilah, menurut saya, sumber dari segala sumber permasalahan bangsa ini. Pandangan ini menganak-pinakkan pemujaan kepada materi. Dan pemujaan kepada materi mempersetankan segalanya. Materi pun menjadi raja. Mereka yang memiliki banyak harta, misalnya, menjadi sangat terhormat, dan dapat membeli apa saja. Membeli hukum. Membeli harga diri. Membeli suara. Mereka yang ingin menjadi pemimpin dan memiliki harta, dengan mudah memperoleh keinginannya itu.

Maka apa pun upaya memperbaiki kondisi kita yang memprihatinkan ini, tanpa mengembalikan pandangan hidup kita semula: memandang hidup di dunia ini hanya sebagai persinggahan (Jawa: namung mampir ngombe), saya kira akan sulit. Kita harus mulai mengembalikan pandangan itu dengan melakukan gerakan yang melawan arus. Kecenderungan "memuja" materi itu harus kita lawan "tidak usah dengan gerakan menolak materi," cukup dengan gerakan hidup sederhana sebagaimana diajarkan oleh nenek-moyang kita  dahulu.

Mudah-mudahan dengan demikian, upaya reformasi atau perbaikan yang  sesungguhnya bisa berjalan dengan lancar dan membawa hasil.

Semoga.

Penulis adalah Wakil Rois 'Am PBNU dan Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Talibin, Rembang, Jawa Tengah

Editor: Trisno S. Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home