Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 11:54 WIB | Senin, 11 Januari 2016

Utang Tembus Rp 3.000 T, Pemerintah Gali Lubang Tutup Lubang

Per 30 November 2015, defisit keseimbangan primer Indonesia tercatat sebesar Rp 177,6 triliun, meningkat secara mengejutkan sebesar 266 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2015 APBN (Rp 66,8 triliun). Ini terjadi akibat rendahnya penerimaan pajak, sedangkan belanja pemerintah meningkat tajam.
Ilustrasi (Foto: gulalives.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Utang pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mencapai Rp 3.089 triliuun (sekitar US$ 222,2 miliar), atau 27 persen dari produk domestik bruto (GDP), menurut pernyataan dari Kementerian Keuangan.

Ini merupakan jumlah yang bertambah cukup signifikan, dibanding posisi pada akhir 2014. Utang pemerintah RI kala itu adalah Rp2.608 triliun atau 24,7 persen dari PDB.

Meskipun demikian, jumlah utang ini tidak seberapa bila dibanding pada posisi utang RI pada saat krisis keuangan Asia pada 1990-an. Ketika itu utang RI mencapai 150 persen dari PDB. Sejak saat itu, rasio utang terhadap PDB elah menurun ke kisaran yang sehat pada posisi 26-29 persen PDB dalam beberapa tahun terakhir.

Dibandingkan dengan kebanyakan negara lain, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga sangat sehat pada 27 persen. Undang-Undang Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara menetapkan bahwa utang pemerintah pusat dan daerah di Indonesia tidak boleh melebihi 60 persen dari PDB.

Langgeng Subur, seorang pejabat di Kementerian Keuangan Indonesia, mengatakan ada sejumlah indikator yang menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga tingkat utang yang sehat dan dikelola. Misalnya, jatuh tempo rata-rata utang pemerintah saat ini aman di 9,7 tahun.

Selain itu, sebagaimana dilansir oleh indonesia-investments.com, porsi utang berdenominasi rupiah telah meningkat menjadi 52,6 persen dari total utang, sehingga kerentanannya terhadap gejolak nilai tukar lebih rendah.

Terakhir, 86,2 persen dari total utang memiliki tingkat bunga tetap, sehingga relatif aman dari penyesuaian tingkat suku bunga global.

Mengenai Anggaran Negara tahun 2015 dan 2016, Subur menambahkan bahwa perkembangan positif lain adalah utang pemerintah sekarang digunakan lebih produktif (misalnya pembangunan infrastruktur) dan karenanya memiliki nilai tambah pada jangka panjang.

Kendati demikian,  Direktur Eksekutif INDEF, Enny Sri Hartati, mengatakan pemerintah perlu tetap mencermati keseimbangan primer (selisih antara penerimaan dan pengeluaran pemerintah, di luar pembayaran untuk cicilan utang), yang meningkatkan risiko gagal bayar.

Hartati menambahkan bahwa tidak bijaksana untuk melihat rasio utang terhadap PDB hanya untuk menentukan apakah situasi utang aman. Sebagai contoh, negara-negara seperti Amerika Serikat dan Jepang memiliki rasio utang terhadap PDB io lebih dari 100 persen namun masih dianggap stabil. Kuncinya adalah penggunaan produktif utang.

Per 30 November 2015, defisit keseimbangan primer Indonesia tercatat sebesar Rp 177,6 triliun,  meningkat secara mengejutkan sebesar 266 persen  dari target yang ditetapkan dalam APBN 2015 APBN (Rp 66,8 triliun). Ini terjadi akibat rendahnya penerimaan pajak, sementara belanja pemerintah meningkat tajam.

Sejak tahun 2012 Indonesia telah mengalami defisit keseimbangan primer,  yang berarti pemerintah sudah tidak mampu membayar cicilan bunga utang dengan pendapatan yang dimiliki. Dengan kata lain, pemerintah membayar utang dengan utang baru, atau lebih populer dengan sebutan gali lubang tutup lubang. Untuk membayar cicilan dan bunga utang, pemerintah sepenuhnya harus menarik utang baru.  

Baca Juga:


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home