Loading...
EDITORIAL
Penulis: Redaksi Editorial 16:03 WIB | Selasa, 22 Juli 2014

UU Pilpres: Mengganggu Tahapan Penyelenggaraan Pilpres Adalah Tindakan Pidana

SATUHARAPAN.COM – Calon presiden/wakil presiden Prabowo Subianto – Hatta Rajasa hari Selasa (22/7) siang menyatakan  menarik diri dari proses yang tengah berlangsung dalam tahapan pemilihan umum di mana Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah menghitung perolehan suara tingkat nasional pemilihan presiden berdasarkan  hasil perhitungan di tingkat provinsi dan tingkat di bawahnya.

Dalam pernyataan itu Prabowo yang tidak didampingi pasangannya, Hatta Rajasa sebagai calon wakil presiden, juga meminta para saksi yang tengah menghadiri proses rekapitulasi suara di KPU untuk meninggalkan tempat tersebut dan tidak mengikuti proses selanjutnya.

Pernyataan Prabowo juga menyebutkan tentang proses pemilihan presiden yang dikatakan sebagai bermasalah, tidak demokratis dan bertentangan dengan UUD 1945. Prabowo menyebutkan KPU tidak adil, banyak aturan yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU. Tegasnya, Prabowo menyebutkan pemilu tidak jujur dan tidak adil,

Pernyataan Prabowo ini mengejutkan, karena disampaikan justru ketika KPU sudah berada pada bagaian akhir proses pemilu untuk menentukan hasilnya. Dan hal itu berarti setelah proses secara berjenang pemungutan suara dan penghitungan selama dua pekan sejak 9 Juli.

Bisa dikatakan mengejutkan,  karena  jika ada kecurangan mengapa tidak secara intensif pihak Prabowo-Hatta melakukan protes melalui saksi dan kader dari Koalisi Merah Putih sejak pemungutan suara pada 9 Juli dan penghitungan suata di tingkat TPS (tempat pemungutan suara). Dan juga mengapa tidak mengupayakan penyelesaian dan perbaikan di tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten/kota, dan tingkat provinsi.

Untuk hal ini bahkan banyak warga yang denga rela memantau dan mendokumentasi proses dan hasil di setiap TPS, suatu gerakan yang menunjukkan partisipasi rakyat untuk pemilihan presiden yang fair, agar kehendak rakyat tidak dimanipulasi.

Protes pada tingkat sekarang ini justru menimbulkan pertanyaan tentang motif di baliknya. Sebab sesuai UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden, khususnya pasal 165 ayat 4 menyebutkan bahwa pemungutan suara ulang di TPS dilaksanakan paling lama 10 hari setelah hari atau tanggal pemungutan suara berdasarkan keputusan PPK.

Jika kubu Prabowo mempunyai bukti ada pelanggaran, terbuka untuk proses gugatan, koreksi dan pemungutan suara ulang. Sayangnya hal itu tidak cukup konkret dilakukan. Yang lebih disayangkan adalah bahwa pernyataan itu disampaikan sebelum KPU mengambil keputusan tentang hasil keseluruhan rekapitulasi suara pilpres.

Undang-undang Pilpres (UU No42/2008) sebenarnya telah memberikan ruang dan mekanisme bagi penyelesaian sengketa, maupun penindakan atas pelanggaran dan tindak pidana. Namun dari pemantauan sejauh ini mekanisme ini tampaknya tidak cukup digunakan, terutama mengingat penyebutan sebagai pemilu yang bermasalah, tidak adil, dan tidak jujur.

Masalahnya sekarang, apa yang akan terjadi dengan proses pilpres ini dengan pernyataan sikap Prabowo? Apakah KPU akan terus melanjutkan rekapitulasi perolehan suara, meskipun tanpa kehadiran saksi dari pihak pasangan Prabowo- Hatta? Atau rekapitulasi ini terpaksa dihentikan?

Pernyataan Prabowo yang menyebutkan menarik diri dari proses pemilihan presiden ini berarti proses yang selanjutnya setelah pernyataan itu dikeluarkan tidak lagi melibatkan pihak Prabowo-Hatta. Dengan demikian apakah prosesnya tetap memiliki legitimasi dan hasilnya sebagai keputusan yang sah. Atau sikap Prabowo itu bisa menghentikan  atau mengganggu tahapan pilpres? Atau bahkan mendelegitimasi keputusan KPU jika  komisi ini meneruskan proses tanpa kehadiran pihak satu pasangan calon?

Jika sikap Prabowo diartikan berdampak pada delegitimasi proses pilpres yang berarti terganggunya tahapan pemilihan presiden, apakah mungkin digunakannya pasal 226 UU No.42/2008? Pasal tersebut (226) berbunyi: Setiap pelaksana, peserta, atau petugas kampanye yang terbukti dengan sengaja atau lalai yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Oleh karena itu, sikap Koalisi Merah Putih dan pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Hatta yang menarik diri dari proses pemilihan presiden sangat disayangkan hal itu terjadi. Sementara ruang dan mekanisme untuk proses penyelesaian berbagai masalah tidak digunakan  dengan maksimal.

Situasi ini tampak pelik, meskipun sebenarnya cukup gamblang tentang posisisnya dan aturan mainnya. Maka, dalam situasi ini, kita mengharapkan agar PKU, Bawaslu dan lembaga-lembaga negara yang terkait dengan penyelenggaraan pilpres bisa mengambil keputusan yang bijak, yang didasarkan pada undang-undang dan konstitusi, dan mengutamakan kesatuan dan keselamatan bangsa. Keputusan ini dengan memperhatikan kepentingan rakyat, dan semakin cepat dilakukan akan semakin baik.

Situasi ini harus disikapi dengan tenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Kita membutuhkan situasi ini untuk berfikir dengan jernih agar bisa mengambil sikap yang bijak. Semua mereka yang merasa paling layak menjadi pemimpin inilah saatnya juga menunjukkan watak kepemimpinan, dan tidak membuat situasi makin tidak menentu.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home