Loading...
RELIGI
Penulis: Prasasta Widiadi 06:23 WIB | Sabtu, 22 November 2014

Vihara Vimala Darma Tebar Damai di Nias

Vihara Vimala Darma Tebar Damai di Nias
Tapak Wong di lantai dua Vihara Vimala Darma. (Foto-foto: Prasasta Widiadi).
Vihara Vimala Darma Tebar Damai di Nias
Tapak Wong saat menghadiri Penutupan Sidang Raya XVI PGI.
Vihara Vimala Darma Tebar Damai di Nias
Vihara Vimala Darma tampak dari pinggir pantai Gunungsitoli.

SATUHARAPAN.COM – Hubungan antar agama di berbagai daerah di Indonesia berada dalam situasi yang beragam. Ada daerah yang penuh konflik, dimana ada sedikit gesekan dan langsung dapat berujung konflik atau bencana, akan tetapi banyak daerah yang hidup harmonis antar umat beragama dan pemeluk kepercayaan lainnya.

Banyak daerah di Indonesia yang sudah terkenal sebagai wilayah yang bercirikan atau memliki nafas hidup sesuai dengan kepercayaan atau agama tertentu, seperti Provinsi Bali dengan agama Hindu, Nanggore Aceh Daroessalam (NAD) dengan penduduk Muslim yang banyak sehingga dijuluki sebagai Serambi Mekah, sementara pemeluk agama Kristen dan Katolik tidak terlalu mendapat tempat khusus yang mencolok di Indonesia, sehingga Provinsi Sulawesi Utara dan Sumatera Utara yang dihuni pemeluk agama Kristen dan Katolik dalam jumlah cukup besar tetapi tidak pernah dijuluki provinsi yang bernafaskan agama Kristen atau Katolik.

Bagaimana dengan Buddha di Indonesia ? Kedatangan agama Buddha ke Indonesia dimulai sejak awal abad kelima, hal ini diketahui lewat berbagai peninggalan prasasti di sepanjang Pulau Sumatera, yang diperkirakan mulai abad kelima. 

Diduga pertama kali dibawa oleh pengelana dari China bernama Fa Hsien. Menurut sejarah, Kerajaan Buddha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7.  

Dalam kaitannya dengan daerah dan wilayah di Indonesia masa kini, agama Buddha tidak seperti Hindu yang mendapat “porsi besar umat” seperti di Provinsi Bali atau NAD. Tetapi di Kepulauan Nias ada beberapa vihara, tempat beribadah agama Buddha, salah satu yang cukup terkenal adalah Vihara Vimala Dharma di Kota Gunungsitoli.

Menurut Tapak Wong, Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Kota Gunungsitoli dan penjaga vihara tersebut, tempat peribadatan agama Buddha tersebut cukup ramai dikunjungi umat saat berbagai hari raya agama Buddha dilaksanakan di Kepulauan Nias.

“Dalam setahun, umat Buddha merayakan empat hari besar, Waisak (Mei), Asadha (Juli), Kathina (Oktober), dan Maghapuja (Februari),” kata Tapak Wong kepada satuharapan.com, Jumat (14/11) di Vihara Vimala Darma, Kota Gunungsitoli, Kepulauan Nias.

Selain Vihara Vimala Darma di Kepulauan Nias masih ada Vihara Avalokitesvara yang terletak di Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias Barat. Tapak Wong mengemukakan orang Nias keturunan Tionghoa memilih hengkang dari Kecamatan Sirombu setelah peristiwa bencana Tsunami hampir tujuh tahun lalu, sehingga di Kabupaten Nias Barat hampir tidak ada umat Buddha.

“Saya tidak bisa memastikan ada umat Buddha atau tidak, saya tidak punya data lengkapnya,” Wong menambahkan.

Vihara Vimala Darma terletak di Jalan Sirao, Kota Gunungsitoli. Wong menjelaskan bahwa ada aspek unik dari Vihara tersebut yakni di pintu depan ada keramaian karena Jalan Sirao merupakan jalan raya yang terletak di depan Pasar Gunungsitoli.

“Dari sisi belakang ini teduh, karena bisa lihat laut langsung (Samudera Hindia),” kata Wong.

Pintu belakang Vihala Vimala Darma menghadap langsung Pinggir Pantai Kota Gunungsitoli sehingga pengunjung vihara tersebut dapat memandang Samudera Hindia dari kejauhan, banyak kapal-kapal nelayan tertambat di pinggir pantai tersebut, sesekali para nelayan saling menanyakan mendapat ikan berapa kilogram yang didapat setelah pergi melaut.

Vihara Vimala Darma terdiri dari tiga lantai, di bagian paling bawah, para pengunjung melihat bentuk ruangan memanjang seperti kantor pada umumnya. Di bagian depan para pengunjung vihara dapat mendaftarkan diri apabila hendak mengikuti pelatihan meditasi yang diselenggarakan Vihara Vimala Darma.

“Kami buka pelatihan meditasi, tidak terbatas untuk Buddha saja, waktu itu pernah ada yang ikut pelatihan dari luar Nias, ada juga orang-orang LSM dari luar negeri yang ikut meditasi,” kata Wong.

Di lantai kedua dan ketiga merupakan tempat peribadatan, altar yang terletak di lantai kedua mengharuskan pengunjung atau umat yang beribadah melepas alas kaki.

Di altar itu juga dipenuhi berbagai alat sembahyang, terdapat lampu minyak yang berisikan nama-nama umat, ada juga berbagai hio (dupa) atau salah satu instrumen untuk beribadah agama Buddha.

Wong mengemukakan altar tersebut memiliki makna agar umat diberikan jalan yang terang di dalam menjalani kehidupan di sepanjang tahun sehingga bisa memperoleh kebahagiaan.

Untuk membina umat, rumah ibadah yang sudah ada sejak 1895 ini melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain kebaktian uposatha, kebaktian umum, kebaktian sekolah minggu, kebaktian muda-mudi, dhamma kelas, latihan meditasi, dan fangsen.

Wong mengemukakan bahwa posisinya di Majelis Buddhayana Indonesia menjadikan dia memiliki pengetahuan cukup luas tentang pemeluk Buddha di Kepualuan Nias.

“Ada sebagian umat Buddha disini berasal dari Medan, dan biasanya mereka pelaku bisnis di sini, dan mereka kalau mau beribadah ya beribadah di sini, dalam hubungannya dengan kelas meditasi kami sama sekali tidak membuka kelas untuk mencari dana atau keuntungan pribadi, karena prinsip kami adalah mengedepankan bhakti bukannya materi, penduduk setempat di gunung sitoli ini selalu melakukan ibadah, pemeluk Buddha di Gunungsitoli ini, ada juga dari Padang (Sumatera Barat), dari Sibolga (Sumatera Utara),” Wong menjelaskan.

Kerukunan Umat Beragama 

Kepulauan Nias dihuni mayoritas penduduk beragama Kristen dan Katolik, kemudian bagaimana dengan kerukunan umat beragama dan hubungannya dengan Vihara Vimala Darma yang di Kepulauan Nias di tengah “kepungan” berbagai gereja dan masjid di wilayah yang sempat terkena tsunami dan gempa tersebut.

“Kalau berbicara pertikaian baik di Muslim, Kristen, Buddha sama sekali tidak ada, karena dulu saat saya salah satu pengurus di FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Gunungsitoli, tidak pernah mendapat kasus kekerasan antar agama, sama juga waktu saya masih anggota FKUB Kabupaten Nias sampai sekarang saya tidak pernah mendengar istilahnya pertikaian antar agama, dan kita kenal agama apa saja yang ada sangat baik,” Wong menjelaskan.

Wong membuktikan sendiri kata-katanya tersebut, pada Minggu (16/11) dia menghadiri penutupan Sidang Raya XVI  Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di Gereja Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Kota Gunungsitoli. Dengan mengenakan kemeja batik lengan pendek, dan celana panjang yang sewarna dengan kemeja tersebut, Tapak Wong duduk di baris kedua dari depan di ujung kanan dekat tempat para majelis gereja tersebut.

Wong menceritakan bentuk kerukunan umat beragama lain yakni saat Majelis Buddhayana Indonesia pernah membentuk posko bayangan di

Sibolga (Provinsi Sumatera Utara) untuk membantu korban bencana gempa tsunami Kepulauan Nias beberapa tahun lalu.

Wong menceritakan vihara yang terletak di Gunungsitoli tersebut tidak roboh, malah menjadi tempat penampungan jenazah korban akibat bencana alam.   

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home