Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 23:08 WIB | Senin, 27 Juli 2015

Warga Rembang Berburu Lampor

Warga Rembang Berburu Lampor
Berkumpul sesaat sebelum menuju kuburan desa sembari ngobrol ringan dan bersenda gurau. (Foto-foto: Moh. Jauhar al-Hakimi)
Warga Rembang Berburu Lampor
Berkumpul di kuburan desa sambil menunggu warga lainnya.
Warga Rembang Berburu Lampor
Iku lampor, mak?
Warga Rembang Berburu Lampor
Rombongan warga menuju lokasi izin usaha pertambangan (IUP) semen di bukit Pasowan.
Warga Rembang Berburu Lampor
Di lokasi izin usaha pertambangan semen di bukit Pasowan warga berjalan berputar membentuk lingkaran sambil mengusir lampor.
Warga Rembang Berburu Lampor
Sesaji yang dibawa dalam penjagaan barisan warga.
Warga Rembang Berburu Lampor
Sesaji: jajan pasar, ketupat, lepet, dan lain-lain.
Warga Rembang Berburu Lampor
Sesaji: tumpeng dan ingkung ayam.

SATUHARAPAN.COM - Hari Rabu (22/7) malam, warga Desa Bitingan, Tegaldowo, dan Timbrangan Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah melakukan ritual ngajag lampor (berburu lampor) atau masyarakat setempat menyebutnya lamporan. Acara yang berlangsung selepas shalat magrib tersebut dimulai dari kuburan Desa Tegaldowo diikuti oleh masyarakat tiga desa dengan membawa obor dari bambu (onchor) dengan berjalan kaki melewati jalan desa menuju lokasi izin usaha pertambangan (IUP) semen di bukit Pasowan, tempat bertemunya sesepuh di masa lalu.

Ritual tersebut dimaksudkan untuk mengusir lampor yang diyakini masyarakat telah membuat 'kegaduhan' sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Dalam suasana listrik dari PLN yang padam saat prosesi berburu lampor justru menambah khidmat ritual tersebut yang hanya diterangi onchor.

Sesampai di puncak bukit, dengan membawa sesaji mereka berdoa bersama semoga lampor yang telah membuat keresahan diusir oleh Yang Maha Kuasa dari desa tempat tinggal mereka di masa datang. Tiga orang yang dituakan dari masing-masing desa secara bergantian mengucapkan rapal (mantra) mengusir lampor diikuti dengan dengan barisan warga yang berjalan melingkari tanah lapang di puncak bukit sambil membawa onchor sebanyak tiga kali putaran sambil menyambut rapalan dengan teriakan 'wush... horaah...' sebagai tanda pengusir lampor secara bersama-sama.

Setelah menyelesaikan putaran yang ketiga, warga kembali ke tengah lingkaran mengelilingi sesajian yang telah didoakan, dan bersama-sama memakannya: sebuah kendhil berisi nasi liwet, beberapa tampah berisi tumpeng dan ingkung ayam, kendhi berisi air, serta beberapa tampah berisi jajanan pasar.

Sambil memakan bersama sesaji dengan memuluk, sesepuh memberikan nasihat tentang perlunya berterima kasih pada alam yang telah menghidupi mereka selama ini sekaligus meminta maaf sekiranya secara sengaja ataupun tidak sengaja menelantarkan bahkan merusak alam untuk di kemudian hari tidak mengulanginya. Setelah selesai prosesi, warga kembali ke rumah masing-masing dengan membuang onchor setelah mematikan apinya terlebih dahulu sebagai sebentuk membuang sial agar tidak ikut terbawa ke desa mereka.

Dalam waktu setahun terakhir ini rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen di wilayah Bitingan-Tegaldowo-Timbrangan Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang seolah membuat masyarakat terbelah dalam pro-kontra rencana tersebut.

Bagi mereka yang menolak rencana pabrik semen itu, keberadaan tambang dan pabrik akan mengancam mata pencaharian mereka sebagai petani terkait dengan areal pertanian, dampak lingkungan dari keberadaan mata air untuk pengairan pertanian maupun polusi udara dan debu yang ditimbulkan, serta dampak sosial dari 'terbelahnya' masyarakat menyikapi rencana tersebut.

Dalam kekinian, segala daya-upaya yang menimbulkan 'terbelahnya' masyarakat inilah yang dianggap sebagai 'lampor' yang harus diusir dari desa tempat tinggal mereka agar masyarakat kembali guyub dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Mitos Lampor

Bagi masyarakat pantura Jawa, lampor digambarkan sebagai perwujudan makhluk halus dalam bentuk bola api kecil yang bergerak cepat dan menimbulkan bunyi gaduh. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di daerah keraton (Jogja-Solo), lampor dikisahkan sebagai perjalanan para makhluk halus berwujud prajurit-prajurit kerajaan gaib atau zaman dahulu menuju ke suatu tempat. Dalam perjalanannya, prajurit-prajurit itu akan menciptakan suara gemerincing atau alunan peralatan yang dipukul-pukul. Lampor dalam bahasa sansekerta, berarti suara ramai atau gaduh.

Mitosnya lampor yang berwujud prajurit gaib yang biasanya muncul dari Kali Progo menuju ke gunung Merapi itu merupakan prajurit-prajuri Nyi  Roro Kidul — sosok makhluk gaib penghuni perairan Jawa yang disegani. Lampor konon suka menampakkan diri saat-saat petang menjelang malam, tengah malam, atau menjelang waktu subuh.

Mitos lainnya lampor digambarkan menyerupai arwah orang-orang yang meninggal di suatu tempat dan dalam waktu bersamaan, biasanya korban kecelakaan atau pembantaian. Orang-orang Jawa menyebutnya dengan istilah pageblug, yaitu peristiwa maut yang beruntun di satu wilayah.

"Suara lampor itu mirip suara tikus yang mencicit 'cyiiit... ctik' dan datangnya tiba-tiba. Kalau ada cahaya semisal lampu atau obor dia akan lari. Kata simbah-simbah dulu Lampor itu tanda akan adanya pageblug, datangnya suatu penyakit, makanya harus diusir bersama-sama agar tidak menyerang warga desa. Ngajag lampor tidak semata-mata menolak bala, namun juga mengusirnya agar tidak membuat keresahan dan kesengsaraan warga." tutur Joko Prianto, seorang warga Tegaldowo.

Terlepas dari benar-tidaknya tentang mitos lampor, sejak dulu ritual semacam ngajag lampor telah menjadi media komunikasi yang tumbuh di masyarakat: bergerak bersama memerangi hal-hal yang dianggap dan diyakini meresahkan masyarakat. 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home