Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:29 WIB | Kamis, 18 September 2014

Warisan SBY dalam Hubungan Antarumat Beragama di Indonesia

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kanan) bersama dan Ibu Negara Ny. Ani Yudhoyono (kiri) melambaikan tangan sebelum memasuki pesawat khusus kepresidenan di Bandara Internasional Halim Perdanakusumah, Jakarta Timur, Kamis (18/9). Kepala Negara beserta delegasi bertolak ke Lisabon, Portugal yang akan dilanjutkan ke Amerika Serikat dan Jepang dalam perjalanan selama 12 hari yang merupakan lawatan ke luar negeri terakhir SBY sebagai Presiden RI. (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Kurang dari sebulan lagi pemerintahan presiden SBY akan berakhir. Dua periode kekuasaan, 2004-2009 dan 2009-2014, telah dipercaya rakyat kepada SBY. Di era pemerintahannya, perlu diakui, kemajuan di berbagai bidang telah dicapai dan dialami masyarakat. Pembangunan dan kemajuan di bidang ekonomi, usaha-usaha pemberantasan korupsi dan proses demokrasi tampak menjadi prestasi yang menonjol di zaman pemerintahan SBY.

Tetapi, bagaimana dengan kondisi dan perkembangan di bidang keagamaan, khususnya soal hubungan antarumat beragama? Apakah mengalami kemajuan yang signifikan, dalam arti kerukunan hidup antarumat beragama makin baik? Atau, apakah ada gejala yang justru memprihatinkan sehingga prestasi SBY dalam hal ini tidak dapat dikatakan baik?

Tahun 2013 SBY diberi penghargaan sebagai “Negarawan Dunia 2013” atau World Statesman Award 2013 oleh The Appeal Of Conscience Foundation (ACF) yang berkantor di New York USA. SBY dianggap berprestasi dalam pembinaan kerukunan umat beragama di Indonesia. Ini adalah penghargaan internasional terhadap SBY. Namun, penghargaan itu disambut sinis oleh banyak kalangan, khususnya penggiat lintas agama di dalam negeri. Sebab, pemberian penghargaan itu berbanding terbalik dengan kondisi nyata hubungan antarumat beragama di Indonesia, yang masih diwarnai oleh kasus-kasus konflik, ketegangan dan bahkan kerusuhan.

Banyak kasus yang menunjukkan kondisi buruk kehidupan beragama di Indonesia. Misalnya, kasus Ahmadiyah di Jawa Barat dan Banten, khususnya yang menghebohkan yaitu penganiayaan dan pembunuhan pengikut aliran Ahmadiyah di Cikeusik, Pandegelang, Banten. Sebab, pelakunya hanya dihukum beberapa bulan penjara dan kelompok massa yang melakukannya tidak tersentuh oleh hukum. Juga kasus penganiayaan dan pengusiran dari kampungnya penganut aliran Syiah di Sampang Madura yang sampai saat ini masih menjadi pengungsi.

Kasus lain yang belum terselesaikan adalah GKI Yasmin di Bogor yang IMB-nya dicabut oleh pemerintah setempat dan setelah diproses di pengadilan dan Mahkamah Agung, kasus itu dimenangkan oleh gereja. Juga HKBP Filadelfia Bekasi yang diserang massa dan tanahnya disegel oleh bupati. Padahal, pengadilan-PTUN memenangkan gereja itu. Banyak lagi kasus serupa yang terjadi.

Jadi kondisi hubungan antarumat beragama di Indonesia masih buruk dan SBY atau kinerja pemerintahannya dikritik atau diberi penilaian buruk oleh banyak kalangan. Karena itu banyak orang yang mengatakan bahwa sebenarnya tidak pantas SBY menerima penghargaan itu. Ada sinyalemen bahwa pemberian penghargaan itu sebagai sinisisme atau sindiran terhadap SBY pascakasus Ahmadiyah di Cikeusik. Atau positifnya, penghargaan itu diharapkan mendorong SBY menyelesaikan kasus-kasus penindasan berlatar agama dengan tegas dan adil. Namun harapan itu tidak terwujud sampai akhir masa kekuasaannya.

Memang jika dibandingkan dengan negara-negara “Islam” di Timur tengah, Afrika atau Asia, kondisi hubungan antarumat beragama di Indonesia masih jauh lebih baik. Indonesia tidak mengalami kekacauan karena peperangan antaraliran atau kelompok agama. Itulah sebabnya tidak jarang pihak pemerintah atau tokoh agama menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang rukun, bangsa toleran dan dapat menjadi tempat belajar tentang toleransi antarumat beragama bagi negara-negara lain.

Namun apakah dengan kerukunan umum atau tiadanya konflik yang berpengaruh buruk terhadap kondisi sosial politik nasional lalu kita dapat menyatakan bahwa hubungan antarumat beragama di Indonesia baik-baik saja? Apakah karena itu kita lalu boleh mengabaikan korban-korban akibat penghambatan, pengusiran, penganiayaan dan pembunuhan oleh kelompok agama tertentu?

Presiden dan Tanggung Jawabnya terhadap Anak Bangsa

Presiden adalah pemimpin negara, penguasa pemerintahan, bapa bangsa, bapa seluruh anak negeri. Setiap warga negara dari suku, agama atau golongan apa pun adalah tanggung jawabnya. Presiden tidak boleh membiarkan satu pun dari anak-anak negeri menderita atau menjadi korban apalagi disebabkan oleh penindasan atau penganiayaan anak-anak lain. Karena itu, sekecil apa pun kelompok Ahmadiyah, Syiah dan umat Kristen di negeri ini, bapa negeri harus menjaga dan melindungi mereka.

Presiden tidak boleh toleran, permisif atau kompromis terhadap penindasan dengan kekerasan yang dilakukan oleh siapa pun dan terhadap siapa pun di dalam wilayah kekuasaannya. Presiden dilarang lemah, ragu apalagi takut terhadap ancaman dari kelompok tertentu sekalipun mereka besar dan kuat secara sosial dan politik sehingga ia harus mengabaikan perlindungan terhadap kaum lemah dan mengabaikan hak-hak asasi mereka. Bapa yang membiarkan satu anaknya yang kecil dan lemah dianiaya bukanlah bapa yang baik.

Seharusnya dan sepantasnya presiden berdiri di posisi terdepan untuk membela yang lemah dan teraniaya. Keagungan seorang pemimpin terletak pada sikap solider dan pembelaannya terhadap rakyatnya yang lemah; ketika kekuatannya menjadi perlindungan bagi yang lemah. Dan kerendahannya tampak dalam pembiarannya pada kaum lemah yang teraniaya. Presiden SBY melakukan pembiaran atau pengabaian terhadap anak-anak bangsa yang teraniaya itu.

Warisan SBY

Penyelesaian-penyelesaian masalah konflik antarumat beda agama di masa kepemimpinan SBY selama sepuluh tahun umumnya tidak tuntas, diskriminatif atau terjadi keberpihakan kepada pihak yang kuat dan penindas dan menyepelekan korban. Penyelesaian masalah lebih dipengaruhi atau mengutamakan sentimen agama dan kepentingan sosial politik yaitu kestabilan pemerintahan dan ketenangan kelompok besar dan kuat. Apakah ini disebabkan oleh lemahnya karakter kepemimpinan atau kenegarawanan SBY? Atau, SBY secara ideologis keagamaan bersimpati kepada atau memiliki kesamaan dengan pihak yang besar dan kuat sehingga ada diskriminasi dan keberpihakan?

Apa pun jawaban yang akan didapat nanti terhadap pertanyaan itu, jelas bahwa SBY meninggalkan warisan atau warisan pola yang buruk dalam penyelesaian konflik antarumat beda agama di Indonesia. Semoga warisan SBY ini tidak berlanjut di era kepemimpinan Jokowi mulai Oktober 2014 mendatang.

Artikel terkait World Statesman Award dapat Anda baca di:

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home