Loading...
BUDAYA
Penulis: Ignatius Dwiana 07:09 WIB | Selasa, 10 Desember 2013

Wayang Hip Hop: Menghidupkan Wayang Secara Inovatif dan Kritis

Wayang Hip Hop: Menghidupkan Wayang Secara Inovatif dan Kritis
Catur Benyek Kuncoro bersama wayangnya. (Foto-foto Ignatius Dwiana)
Wayang Hip Hop: Menghidupkan Wayang Secara Inovatif dan Kritis
Dari kiri ke kanan, Semar, Gunungan, Togog, dan Bilung.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Upaya lebih mendekatkan kesenian tradisi mengena ke anak-anak muda memerlukan pelbagai macam cara. Salah satunya dengan menggarap Wayang yang dikawinkan dengan Hip Hop. Inilah yang dilakukan Catur Benyek Kuncoro dengan Wayang Hip Hop ketika diwawancara di Galeri Indonesia Kaya Jakarta pada Minggu (9/12).

Trend Hip Hop di anak-anak muda menjadi peluang memperkenalkan budaya Wayang dengan lebih moderen. Hal ini ini lebih mudah diterima sementara banyak sekali yang melestarikan Wayang tetapi dengan cara yang kurang menghidupkan.

 “Wayang Hip Hop lebih menghidupkan wayang tradisi menjadi lebih relevan ditampilkan di kalangan anak muda.” Kata Dalang ini.

Lanjutnya,“Kadang-kadang keadilihungan itu kurang bisa diakses ke kalangan anak muda. Sesuatu yang sudah tinggi itu coba kita sederhanakan supaya bisa masuk ke masyarakat urban sekarang.”

Wayang dan Hip Hop, Dalang dan Rapper

 Wayang Hip Hop  mulai sejak 10 Juni 2010 dengan pentas pertamanya di salah satu majalah Yogyakarta. Sejak itu kebanjiran undangan pentas. Walau sudah sering pentas di pelbagai acara Hip Hop tetapi baru bisa meluncurkan satu album. Hal ini karena lagu-lagu yang hendak dimasukkan album diseleksi benar.

Catur Benyek mengungkapkan alasannya memilih Hip Hop untuk membangkitkan kembali kesenian tradisi Wayang.

“Hip Hop membungkus, mengemas cerita wayang itu kadang menjadi lirik, kadang menjadi narasi. Tidak cuman cerita. Hip Hop membuatnya menjadi lebih kepada sederhana dan bisa diterima.”

“Secara teknis, mungkin ada beberapa persamaan antara rapper dengan dalang. Dalang harus menunjukkan Hong Hilanghing Nawastu dia harus diiringi dengan musik, bertempo juga, seolah-olah seperti ngerap juga sebenarnya. Rapper kadang temanya bercerita. Mungkin hampir sama secara teknis.”

Hip Hop dan Kritik Sosial

Catur Benyek dalam pementasan Wayang Hip Hop di Galeri Indonesia Kaya Jakarta pada Minggu itu mengangkat lakon ‘Endog Jagad’, Telur Alam Semesta.

Lakon ini menceritakan pecahnya ‘Endog Jagad’. ‘Endog Jagad’ yang pecah ini menetaskan tiga dewa calon kepemimpinan kahyangan Jongring Saloka. Cangkang telur berubah menjadi Sang Hyang Antaga, putih telur menjadi Ismaya, dan kuning telur menjadi Manikmaya.

Dua dewa cerdas dan jujur gagal mengikuti sayembara ‘Nguntal Gunung’, menelan gunung. Akibatnya raga Sang Hyang Antaga dan Ismaya rusak. Tahta kahyangan jauh kepada Manikmaya, dewa dengan kecerdasan pas-pasan yang akhirnya bergelar Batara Guru. Sang Hyang Antaga turun ke Marcapada Bumi menjadi Togog bareng Ismaya yang menjadi Semar. Keduanya menjadi pamomong para ksatria calon pemimpin masa depan.

Catur Benyek melalui lakon dalam Wayang ini menceritakan bahwa pecahnya telur jagad tu belum bisa menjawab keresahan masyarakat.

“Semoga telur-telur calon pemimpin ini yang ke depan lebih baik. Harapannya seperti itu.”

Walau lakon ‘Endog Jagad’tidak berpretensi memecahkan masalah tetapi mengangkat persoalan masyarakat secara lebih familiar.

Menurut Catur Benyek, Wayang tradisi memang lekat dengan Hip Hop dalam hal kritik sosial. Hal ini nampak melalui kehadiran tokoh-tokoh punakawan, sosok masyarakat lapisan bawah,seperti Petruk, Gareng, Togog, Bilung, yang selalu dapat bicara apa aja.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home