Loading...
BUDAYA
Penulis: Moh. Jauhar al-Hakimi 22:14 WIB | Minggu, 07 Juli 2019

Yanni, Candi, dan Kontemplasi

Musisi dan komposer Yanni (baju putih) berbincang-bincang dengan CEO Rajawali Indonesia Anas Syahrul Alimi (jaket hitam) dan Pemimpin Forum Sufi Dunia Habib Luthfi bin Yahya (baju coklat) sesaat sebelum pementasan konser 25th Anniversary Acropolis di Komplek Candi Prambanan Yogyakarta, Sabtu (6/7) malam. (Foto: official doc. Rajawali Indonesia)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Musisi dan komposer kelahiran Yunani, Yiannis Chryssomallis atau lebih dikenal dengan nama Yanni, Sabtu (6/7) malam tampil di Roro Jonggrang stage dalam special show Prambanan Jazz Festival (PJF) 2019 di komplek Candi Prambanan, Sleman, Yogyakarta.

Dalam pementasan selama dua jam yang disaksikan langsung satuharapan.com, sebanyak 23 komposisi/repertoar disajikan Yanni bersama 11 musisi yang tergabung dalam orkestranya. Kesebelas musisi tersebut adalah Samvel Yervinyan (Armenia), Benedikt Brydern (Jerman), serta Lindsay Deutsch (AS) memegang biola, Alexander Zhiroff (Rusia), dan Sarah O’Brien (Inggris) memainkan cello, peniup trombone Dana Teboe (AS), peniup trumpet Jason Carder (AS), serta pemain Yoel Del Sol (Kuba). Komposisi mini orkestra Yani adalah sebuah orkestra kombo dengan pemain gitar bass Gabriel Vivas (Venezuela), penggebuk drum Charlie Adams (AS), serta keyboardist Ming Freeman (Taiwan). Yanni sendiri selain sebagai condutur pementasan juga memainkan delapan piano syntheziser secara bersamaan ataupun bergantian.

Mengawali penampilan tur 25th Anniversary Acropolis di Candi Prambanan, Yanni memainkan empat komposisi dalam tempo sedang diantaranya repertoar berjudul Felitsa yang dimainkan Yanni secara solo menggunakan piano.

Tensi pementasan mulai ditingkatkan saat Yanni menyajikan repertoar berjudul The Rain Must Fall. Pada beberapa bagian drummer Charlie Adam tampil cukup atraktif saat menggebug drum meskipun musik dalam tempo yang relatif konstan. Dalam repertoar ini Gabriel Vivas melakukan jamming bass dilanjutkan dengan gesekan biola cepat Lindsay Deutsh dalam nada tinggi. Baik dalam penyajian berlatar belakang Candi Prambanan maupun jamming instrument singkat secara bergantian  menjadikan The Rain Must Fall sebuah sajian yang sangat jazzy.

Intro komposisi berjudul The Storm dimainkan Alexander Zhiroff dengan memainkan cello dalam nada rendah-tinggi dalam gesekan yang cepat. Pada beberapa bagian Zhiroff melakukan petikan pizzicato pada cello-nya.

Dua repertoar berikutnya Yanni memainkan delapan synthesizer-nya secara bergantian dalam tempo cepat-lambat dalam iringan bass dan drum yang dinamis. Dua repertoar tersebut menjadi sajian menarik menyaksikan kemampuan permainan piano Yanni.

Nightingale menjadi repertoar berikutnya dimana dengan pianonya Yanni membawakan komposisi dalam warna musik oriental mengiringi soprano Lauren Jelencovich dengan lirik tanpa kata. Bersama permainan piano Yanni, Nightingale dimainkan secara mini ansemble dengan permainan dua biola yang kadang dimainkan secara pizzicato serta cello. Nightingale menjadi sajian pertemuan budaya orientel-kontinental di panggung PJF 2019.

Hingga repertoar Nightingale Yanni tidak banyak memberikan penjelasan karya-repertoar yang sedang dimainkan. Ini memberikan ruang kebebasan bagi pengunjung untuk menginterpretasi-apresiasi dan menikmati karya yang tersaji.

Dalam setiap konser Yanni selalu memberikan ruang bagi anggota orkestranya untuk menampilkan kemampuan terbaiknya baik secara oskestra maupun dalam sesi jamming. Sebelum repertoar berjudul Acroyali~Standing Motion, permainan instrumental dalam warna musik Gipsy disajikan violinis Samvel Yervinyan dalam lengkingan nada tinggi yang cepat.

Lima repertoar berikutnya digunakan oleh anggota orkestra untuk jamming ataupun merespon permainan isntrumen lainnya, contohnya yang dilakukan oleh violinis Lindsay Deutsch merespon tiupan trumpet Jason Carder dan sebaliknya melanjutkan repertoar Renegade yang sedang berjalan tanpa kehilangan nada yang dimainkan.

Pada kelima repertoar tersebut dimainkan secara kombo orkestra dalam irama yang dinamis. Beberapa kali Yanni menirukan tiupan trombone Dana Teboe dengan permainan synthesizer-nya. Sementara pada repertoar With an Orchid, Yanni membuka repertoar dengan permainan piano bersama dengan gesekan cello dari Sarah O’Brien dalam warna musik gabungan oriental dan kontinental.

Pada repertoar Marching season, pemain drum Charlie Adam mendapatkan panggungnya saat melakukan jamming solo drum lebih dari 5 menitan dalam gaya yang atraktif dan jenaka tanpa kehilangan detail pukulan. Pada satu sesi Charlie Adam bahkan masih sempat minum dari cangkir sambil terus melakukan pukulan ke drum.

Tensi permainan musik sedikit menurun saat repertoar Swept Away dimainkan meskipun pada beberapa bagian dengan warna musik samba, tensi pementasan pun naik dengan sendirinya saat Yoel Del Sol memainkan tambuco-nya.

Setelah Swept Away, Roro Jonggrang stage yang berkapasitas 6.000 penonton meriah kembali saat Yanni memainkan Santorini. Karya Santorini inilah yang melambungkan nama Yanni dalam kancah musik dunia.

Setelah Santorini berturut-turut memainkan secara medley repertoar When Dream Comes True dan One Man’s Dream dan menutup penampilan konser 25th Anniversary Acropolis di Candi Prambanan dengan repertoar The Storm secara utuh.

Musik, Spiritualitas, dan Jalan Pembebasan

Beberapa catatan menarik sepanjang jalannya konser 25th Anniversary Acropolis di Candi Prambanan diantaranya minimnya Yanni memberikan penjelasan judul maupun detail repertoar yang sedang dimainkan adalah sebagai upaya Yanni mengajak audiens untuk menikmati karya-karya yang bisa jadi tidak begitu dikenal masyarakat Indonesia. Dengan minimnya informasi, audiens diajak untuk membebaskan imaji saat karya-karya Yanni dimainkan.

Idealnya menyaksikan sebuah konser musik penonton tidak disibukkan dengan mengambil gambar-video. Meskipun konser 25th Anniversary Acropolis di Candi Prambanan berjalan lancar, kebiasaan-kebiasaan tersebut masih dijumpai yang bisa mengganggu kenyamanan dalam menikmati pertunjukan itu sendiri.

Catatan menarik lainnya adalah saat Yanni memberikan ruang bagi anggota orkestranya untuk menampilkan kemampuan terbaik. Setiap anggota orkestra memiliki kontribusi yang sama bagi karya repertoar yang disajikan. Yanni tentu paham betul bahwa dalam kerja bersama anggota orkestra itulah sebuah karya tercipta dalam rentangan tangan bersama dalam irama yang padu. Many hands one beats.

Komposisi musik karya Yanni dianggap sebagian orang sebagai jalan spiritual yang mampu menembus sekat-sekat  berbagai aspek kehidupan. Menggabungkan komposisi klasik yang penuh aturan yang ketat dengan musik modern yang justru membebaskan dalam banyak hal menjadikan karya-karya Yanni dalam penting dalam musik kontemporer dunia.

Pada tataran tertentu karya musik mampu menggetarkan hati penikmatnya ketika terlahir dari proses yang melibatkan sepenuh hati dan pikiran. Setidaknya hal tersebut diakui oleh Pemimpin Forum Sufi Internasional (World Sufi Forum) Habib Luthfi bin Yahya yang hadir menyaksikan penampilan Yanni dalam konser 25th Anniversary Acropolis di Candi Prambanan, Sabtu (6/7) malam.

“Bagi orang-orang yang senang musik, musik Yanni memang sangat luar biasa. Musik yang patut untuk diapresiasi. Saya mengagumi Yanni, karena selaku pembaharu di dunia musik yang bisa mengkombinasikan berbagai jenis nuansa musik. Bisa mengambil dari Yunani, Timur Tengah, China dan lainnya menjadi sesuatu yang luar biasa,” jelas Habib Luthfi dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com melalui official Rajawali Indonesia, Sabtu (6/7) malam.

Senada dengan Habib Luthfi bin Yahya, dalam perbincangan singkat satuharapan.com dengan CEO Rajawali Indonesia Anas Syahrul Alimi menjelaskan bahwa ketertarikan Habib Luthfi pada entitas musik Yanni yang menginspirasi dalam banyak hal.

Habib Luthfi bin Yahya itu penggemar (musik) Yanni. Beliau sudah dua kali menyaksikan konser Yanni di luar negeri. Menariknya, beberapa tetembangan/syiiran/sholawatan (berbahasa Jawa) yang beliau ciptakan terinspirasi dari karya-karya Yanni. Bahkan kalau sedang wiridan (kontemplasi) kadang juga sambil mendengarkan karya-karya Yanni,” jelas Anas, Jumat (5/7) malam.

Di sisi Candi Roro Jonggrang-Prambanan, konser 25th Anniversary Acropolis uang dimainkan secara kombo mini orkestra menyampaikan banyak pesan-pesan kemanusiaan. Ada pertemuan dan perbincangan dunia barat-timur di atas panggung yang bisa dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Konser 25th Anniversary Acropolis seolah menjadi ruang perayaan realitas relasi manusia yang semakin kompleks dengan beragamnya entitas.

Menjadi tidak penting lagi apakah penonton yang sebagian besar mungkin tidak mengenal satu persatu karya yang disajikan Yanni bersama orkestranya dengan berbagai komposisi, aturan-aturan, maupun kerumitan lainnya, karena perjumpaan dengan membawa kebahagian dan tidak berjarak jauh lebih penting di tengah-tengah suasana bangsa yang akhir-akhir ini masih juga disibukkan dengan prasangka-prasangka tak berujung akibat terlalu sibuk membela kepentingan dan diri sendiri.

Setidaknya konser 25th Anniversary Acropolis datang untuk menyampaikan pesan bahwa tanpa batas musik menjadi lebih melembutkan dan mengajak untuk mencintai kehidupan, sebagaimana disampaikan Yanni saat pementasan “(I) love your culture, love your smile. Di tempat yang indah ini kita bisa berkontemplasi bersama, memberikan apresiasi pada diri, dan juga memberikan apresiasi pada hidup-kehidupan.”

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home