Loading...
HAM
Penulis: Kris Hidayat 18:28 WIB | Senin, 03 Juni 2013

Yap Thiam Hien: Konsistensi Suara dan Tindak Kenabian Gereja di Masa Kini

Yongki Karman (kiri) saat menyampaikan ceramah tentang Yap Thiam Hien, Sabtu (1/5) di Jakarta. (Foto: Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Yap Thiam Hien sepanjang hidupnya konsisten memperjuangkan suara dan tindak kenabian, serta berjuang melawan arogansi kekuasaan. Demikian disampaikan oleh Yongki Karman, salah satu pembicara pada Seminar Menggali Nilai-nilai Yap Thiam Hien, yang diselenggarakan di GKI Samanhudi, Jakarta (Sabtu (1/56).

Yongki Karman memaparkan, suara dan tindak kenabian adalah sebagaimana nabi-nabi yang mendapatkan instruksi dari Allah untuk memperagakan suatu kejadian. Tindak kenabian adalah bentuk totalitas seorang nabi dalam bernubuat, ketika sabda tidak lagi menggugah kesadaran umat, tak mengubah cara pikir dan tatalaku umat. Melalui tindak kenabian inilah peringatan dan kecaman disampaikan.

Contoh gamblang yang dia sampaikan dalam pemaparan dan makalahnya yakni tindak kenabian yang dilakukan dalam aksi kamisan selama 6 tahun atau sudah lebih dari 300 kali. Ibu Sumarsih, dan beberapa orang yang menuntut pemerintah menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu, bagi anak atau keluarganya yang terbunuh.

Sikap GKI Yasmin yang menggelar ibadah di tempat terbuka dan menolak tukar guling yang ditawarkan Walikota Bogor, kata dia, adalah sebuah bentuk tindak kenabian, bahwa penguasa tidak bisa seenaknya merelokasi tempat ibadah. Sikap "kepala batu" ini, tegas Yongki Karman, sebenarnya mewakili juga perasaan banyak komunitas umat beragama lain, seperti Ahmadiayah dan Syiah yang diusir dari kampung halaman mereka.

Isu HAM menjadi relevan ketika warga berhadapan dengan kecenderungan negara untuk melanggar HAM warganya atau membiarkan pelanggaran itu terjadi. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat akan menang. Kekuatan modal dalam kapitalisme, atau kekuatan massa dalam anarkisme, negarapun cenderung dikuasai tirani mayoritas. Negara cenderung melanggar HAM warga karena otoritasnya yang begitu besar, kecenderungan seperti ini dinegara maju diimbagi dengan adanya perlindungan HAM warga yang dilakukan dengan konsisten, katanya.

Yongki Karman menambahkan bahwa, hal lain yang mungkin terjadi adalah penegakan hukum yang lemah, sementara penguasa tidak berpijak pada konstitusi dan mengikuti aspirasi kaum yang lebih kuat untuk mendapatkan imbalan dukungan politik. Penguasa sering menyepelekan pelanggaran HAM dan melihat secara kuantitas. Para pembela HAM dipandang membesar-besarkan persoalan. Persoalan HAM bukan soal kuantitas, namun kualitas kemanusiaan, bukan sosok spesies makhluk hidup.

HAM juga kualitas penyelenggaraan negara, di mana martabat manusia tidak boleh digilas oleh kepentingan lain, termasuk negara. Karena itu, negara demokratis modern melindungi HAM warga demi mencegah kecenderungan negara menjadi monster yang menakutkan warganya, tegasnya.

Dalam konteks negara dan HAM inilah menurut Yongki Karman, Yap Thiam Hien berjuang bagi pembelaan para pedagang di Pasar Senen, para aktivis mahasiswa Malari, dan gugatan-gugatan yang konsisten atas tindak diskriminatif warga, termasuk hak warga untuk menjadi presiden. Tantangan yang dihadapi tidaklah mudah, Pak Yap sempat mendapatkan label komunis, anti pemerintah, mengalami penjara karena tuduhan terlibat Gestapu pada tahun 1966, hingga tantangan dijauhi komunitas seiman.

Dalam penutup makalahnya, Yongki Karman mengingatkan kaitan Seminar Yap Thiam Hien dengan peringatan hari lahir Pancasila dengan menegaskan pentingnya Gereja untuk mengamalkan Pancasila, tidak saja karena ada sila pertama tentang Ketuhanan, tetapi juga karena sila-sila lainnya.

Godaan umat beragama adalah menjadi fanatik, namun melupakan esensi agama yang menjadikan manusia yang adil dan beradab. Seringkali para pembela agama telah mencampakkan kemanusiaan, merugikan dan menindas sesamanya. Pancasila tak membiarkan sila ketuhanan berjalan sendiri tanpa sila kemanusiaan. Pancasila adalah humanisme dalam wujud keberagaman, bila saja orang ateistis dapat menjadi humanis, terlebih lagi orang beragama harus membuktikan diri sifat-sifat humanisnya.

Gereja mengalami tantangan memilih keberagaman yang tidak berwajah humanis, ketika ada ketidakadilan di sekitarnya, justru seringkali mengkategorikan "bukan urusan kami (gereja)," memilih menyibukkan diri dalam urusan internal dan ritual dan akhirnya tergoda menikmati zona nyaman dan perlindungan penguasa.

Yongki Karman, sekali lagi menegaskan, suara kenabian tak terpisah dari aksi melawan arogansi kekuasaan. Ketika kekuasaan disalahgunakan untuk menindas warga lemah, Gereja harus bersuara dan beraksi menegaskan keberpihakan Tuhan pada yang lemah, yang tak dapat membela dirinya sendiri.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home