Loading...
INDONESIA
Penulis: Prasasta Widiadi 08:36 WIB | Sabtu, 18 Februari 2017

Yayasan Komunikasi Indonesia Bahas UU Pemda

Yayasan Komunikasi Indonesia Bahas UU Pemda
Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia, Bernard Nainggolan (berdiri), saat memberi kata sambutan di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, hari Jumat (17/2). (Foto-foto: Prasasta Widiadi)
Yayasan Komunikasi Indonesia Bahas UU Pemda
Pengajar di Universitas HKBP Nommensen, Sumatera Utara, Budiman Sinaga (kanan), pengajar di Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho (kedua dari kanan), moderator Daniel Yusmic (tengah), Rektor Universitas Kristen Indonesia, Maruarar Siahaan (kiri) dalam seminar yang bertajuk “Haruskah Kepala Daerah Status Terdakwa Dinonaktifkan; Membedah Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Ditinjau dari Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara”, hari Jumat (17/2).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Yayasan Komunikasi Indonesia (YKI) menyelenggarakan seminar yang membahas Pasal 83 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) di Grha Oikoumene, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Jalan Salemba Raya, Jakarta, hari Jumat (17/2).

Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia, Bernard Nainggolan, saat memberi sambutan dalam seminar yang bertajuk “Haruskah Kepala Daerah Status Terdakwa Dinonaktifkan; Membedah Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Ditinjau dari Hukum Tata Negara, Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara”, mengungkapkan seminar tersebut digelar dengan berlatar belakang terjadinya penafsiran yang berbeda-beda di tengah-tengah masyarakat atas teks kitab suci, dan penafsiran yang  bervariasi atas Pasal 83 UU No 23 Tahun 2014.

Bernard mengemukakan bahwa tujuan seminar tersebut digelar agar memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang hukum. “Mudah-mudahan diskusi yang terselenggara ini menunjukkan gambaran yang objektif,” kata Bernard.  

Tiga ahli hukum diundang dalam kesempatan tersebut. Pengajar di Universitas HKBP Nommensen, Sumatera Utara, Budiman Sinaga, membahas UU tersebut dari sudut pandang Hukum Tata Negara.

Pembahas lain, yakni pengajar Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, Hibnu Nugroho, membahas UU tersebut dari sudut pandang Hukum Pidana.

Pembahas lain adalah Rektor Universitas Kristen Indonesia, Maruarar Siahaan, yang membahas UU tersebut dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara.

Pasal 83 dari UU No 23 Tahun 2014

UU No 23 Tahun 2014 Pasal 83 terdiri atas lima ayat: “Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, terorisme, makar, terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah negara,” demikian bunyi ayat pertama dari ayat pertama dari pasal tersebut.

“Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat pertama diberhentikan sementara berdasarkan register perkara di pengadilan,” demikian bunyi ayat kedua dari pasal tersebut.

“Pemberhentian sementara kepala daerah dan atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat pertama dan kedua dilakukan oleh Presiden, untuk gubernur dan atau wakil gubernur, serta oleh Menteri untuk bupati dan atau wakil bupati atau wali kota dan atau wakil wali kota” demikian bunyi ayat ketiga dari pasal tersebut.

“Kepala daerah dan atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana seabgaimana dimaksud pada ayat pertama berdasar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” demikian bunyi ayat keempat dari pasal tersebut.

“Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat keempat dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan atau wakil bupati atau wali kota dan atau wakil wali kota” demikian bunyi ayat kelima dari pasal tersebut.

Demokrasi Indonesia Alami Pelemahan

Bernard Nainggolan menyorot tentang kondisi politik di Indonesia yang menurut dia sedang mengalami pelemahan. “Beberapa waktu lalu saya sempat berbicara dengan satu profesor politik asal Maroko (tidak menyebut nama, Red), dia mengatakan demokrasi di Indonesia sudah semakin negatif. Saya tidak tahu apa yang dia maksud dengan demokrasi negatif,” kata Bernard.

Dia mengemukakan, berdasar penuturan profesor politik asal Maroko tersebut, demokrasi negatif terjadi saat rakyat ingin menyuarakan aspirasi dan ekspresi politik malah mengalami ketakutan dan ancaman dari pihak-pihak tertentu.

“Sehingga seseorang memberikan aspirasi atau ekspresi politik tidak dalam bentuk sewajarnya, tetapi karena berdasar kepada emosi dan kemarahan, jadi hasilnya adalah demokrasi yang negatif,” kata Bernard.

Bernard mengemukakan Yayasan Komunikasi Indonesia akan meneruskan kesimpulan dari diskusi tersebut kepada pihak yang lebih berkepentingan. “Kita harap diskusi ini akan kita serahkan sebagai rekomendasi kepada Mendagri (Menteri Dalam Negeri) dan juga Presiden (Joko Widodo) supaya pikiran kita ini bisa  diterima,” kata dia.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home