500 Tahun Reformasi: Hanya Alkitab dan Toleransi Agama
SATUHARAPAN.COM - Salah satu semboyan reformasi Martin Luther adalah sola scriptura atau hanya Alkitab. Para tokoh Reformasi menggugat ajaran gereja Katolik (Paus) yang sudah memiliki tradisi ribuan tahun. Paus sebagai pimpinan agama tertinggi dianggap bebas dari salah (infallibility of Pope). Dengan “sola scriptura” tokoh reformator menggugat ajaran dan putusan gereja (ensiklik) yang dianggap menempatkan tradisi dan ajaran Paus diatas Alkitab. Teks ujaran kebencian dan kekerasan dengan nama agama sering di buat oleh Paus seperti yang ditulis oleh Paus Nicholas I (menjabat 14 April 858 – 13 November 867) dalam suratnya kepada Charles The Bald, untuk menghasut dia melawan Raja Lorraine, Paus Nicholas I berkata:
"Kami memerintahkan anda, atas nama agama, untuk menyerang negara itu, membakar kotanya, dan membantai rakyatnya, sebagai tanggung jawab yang kita tuntut akibat perlawanan dari raja buruk mereka." (Sumber: Google eBook, oleh Louis Marie DeCormenin, James L. Gihon, 1857, hlm. 242.)
Ayat Kebencian
Ujaran kebencian, kekerasan dan panyalahgunaan atas nama Kitab Suci tidak saja terjadi selama Pilkada DKI tapi juga terjadi ribuan tahun lalu. Tidak hanya terjadi pada agama Kristen tapi juga semua agama besar di bumi. Dengan ayat Alkitab Paus berdalih untuk menjual surat pengampunan dosa, menghukum, membakar dan membunuh orang sesat (berbeda pandangan) dan penduduk seluruh isi kota. Dengan ayat Kitab Suci pula Martin Luther berpendirian bahwa keselamatan manusia hanya oleh anugerah dan iman. Keselamatan tak bisa dibeli dengan surat pengampunan dosa ataupun putusan Paus. Pandangan bahwa Paus sebagai wakil Tuhan yang bebas dari kesalahan ditentang oleh para tokoh Reformasi.
Mengikuti Kesalahan Serupa
Dengan semangat sola scriptura pula golongan reformasi radikal yang dikenal dengan nama Anabaptis menuntut reformasi tidak saja terjadi dalam dinding gereja tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Tuntutan mereka antara lain, pemisahan gereja dan negara, menolak wajib militer dan sumpah, menolak baptisan anak. Kelompok Anabaptis menganggap bahwa Luther dan Calvin dalam ajarannya tidak semata mata sola scriptura tapi masih mengikuti ajaran Katolik dimana tradisi dan kepercayaan yang di luar Alkitab masih dipraktekkan. Dengan ayat Alkitab pula Martin Luther dan John Calvin menganggap kelompok Anabaptis sebagai bidat dan darahnya halal untuk dibunuh. Akibat penganiayaan yang terjadi, kelompok Anabaptis di Jerman, Prancis dan Swiss melarikan diri ke Polandia, Ukraina dan benua Amerika. Mereka melakukan perlawanan damai (peaceful resistance) tanpa kekerasan dalam menghadapi penganiyaan dan kekerasan atas mereka. Selama reformasi Luther, Calvin dan lain lain tidak menempatkan pemiskinan dan penindasan atas petani oleh bangsawan sebagai dosa yang harus diakhiri, tapi mereka lebih menempatkan kelompok Anabaptis yang memiliki perbedaan kepercayaan sebagai kelompok yang harus dibasmi.
Titik Balik
Berjalannya waktu hubungan gereja Katolik, Lutheran dan Calvinis dengan kelompok Anabaptis (Mennonite) mengalami titik balik. Berbagai pernyataan penyesalan dan pertemuan untuk minta maaf oleh gereja Katolik, Lutheran dan Calvinise kepada Gereja Mennonite terjadi menjelang peringatan 500 tahun Reformasi. Rekonsiliasi dan permintaan maaf tidak perlu diikuti dengan kesepahaman tentang ajaran Gereja yang membedakan dan memisahkan mereka selama 500 tahun. Kerukunan dalam perbedaan (he er bu tong) atau bhineka tunggal ika menyemangati penyembuhan luka batin dan sejarah masa lalu.
Semangat toleransi dan menghargai perbedaan seharusnya menjadi semangat peringatan lima ratus tahun reformasi. Sikap toleransi dan menghargai perbedaan tidak cukup dilakukan di antara gereja gereja yang pernah konflik selama reformasi, tapi juga harus melintasi hubungan antar agama dan golongan. Rekonsiliasi dan toleransi dalam perbedaan perlu menjiwai hubungan antara agama dan bangsa-bangsa di dunia seperti hubungan Yahudi, Kristen, Islam, Turki Yahudi dan Palestina. Rekonsiliasi hanya bisa diwujudkan dalam keadilan dan perdamaian.
Berjuang Bersama untuk Keadilan
Di Tulang Bawang Lampung semangat toleransi dalam menghargai perbedaan agama terjadi di antara pendeta Sugijanto dan guru ngaji Rajiman. Mereka berjuang bersama petani yang menjadi korban PT BNI, mereka saling mendukung selama dalam penjara di Tulang Bawang. Perbedaan Kitab Suci yang mereka miliki tidak memisahkan Sugijanto dan Rajiman dalam perjuangan keadilan agraria di Lampung. Makin umat beragama menjalankan ajaran Kitab Suci mereka masing masing makin mereka memiliki toleransi dan menghargai perbedaan dengan pemeluk agama/ kepercayaan lain. Selama Pilkada DKI, ayat Kitab Suci telah dijadikan alat politik untuk ujaran kebencian, tuduhan penistaan agama serta pelarangan mendoakan jenazah di rumah sembahyang. Penyalahgunaan ayat Kitab Suci, ujaran kebencian karena perbedaan pandangan telah memecah hubungan persaudaraan tidak saja dalam keluarga tapi juga masyarakat. Dalam pidato pembukaan konprensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955 Bung Karno pernah memperingatkan agar perbedaan sejarah agama, cara beribadah tidak memecah belah bangsa-bangsa Asia Afrika dalam melawan penjajahan. Sesudah pilkada berlalu biarlah umat beragama bisa kembali pada ajaran sola scriptura masing masing di dalam kedamaian dan kerukunan seperti yang terjadi di Tulang Bawang. Pengikut Islam dan Kristen bergendengan tangan untuk keadilan agraria menjadi semangat radicalizing reformation di Indonesia.
Penulis adalah Sekertaris Eksekutif Center for Development and Culture
Petugas KPK Sidak Rutan Gunakan Detektor Sinyal Ponsel
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar inspeksi mendadak di...