Loading...
SAINS
Penulis: Martahan Lumban Gaol 13:45 WIB | Rabu, 04 Maret 2015

84 Persen Anak Indonesia Alami Kekerasan di Sekolah

Ilustrasi anak belajar di sekolah (Foto: Dok. satuharapan.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah riset yang dilakukan LSM Plan International dan International Center for Research on Women (ICRW) mendapati 84 persen anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah, angka ini lebih tinggi dari tren di kawasan Asia yaitu 70 persen.

Riset yang dirilis awal Maret 2015 itu dilakukan di lima negara Asia, yaitu Hanoi (Vietnam), Siem Reap (Kamboja), Distrik Sunsari (Nepal), Distrik Umerkot (Pakistan), Jakarta dan Kabupaten Serang (Indonesia).

Survei dilakukan pada Oktober 2013 hingga Maret 2014 dengan melibatkan 9.000 siswa usia 12--17 tahun, guru, kepala sekolah, orang tua, dan perwakilan LSM.

Berdasarkan survei, Pakistan adalah negara dengan angka kekerasan di sekolah yang paling rendah di kawasan Asia, yaitu 43 persen.

Siswa di Indonesia 51 persen mengaku pernah menyaksikan tindakan kekerasan di sekolah. Angka di Pakistan sangat rendah, yaitu hanya 5 persen.

Namun, yang menyedihkan, hanya 30 persen rerata siswa di Asia yang menjadi saksi kekerasan yang melaporkan aksi kekerasan atau berupaya menghentikannya.

Siapa Pelaku Kekerasan?

Menurut anak-anak sekolah di Pakistan, 50 persen pelaku kekerasan adalah guru atau staf non-guru. Jenis ini di Indonesia sebesar 33 persen dan 42 persen di Vietnam.

Sedangkan keterangan sesama pelajar yang menjadi pelaku adalah 33 persen di Vietnam, 58 persen di Kamboja, dan 59 persen anak laki-laki di Indonesia.

Bila siswa mayoritas tidak melaporkan aksi kekerasan di sekolah, hal itu disebabkan oleh minimnya mekanisme respons yang terstruktur dan menyeluruh.

Para guru dan orang tua yang disurvei mengakui anak-anak cenderung tidak akan mengadukan kekerasan di sekolah karena khawatir akan menjadi pihak yang disalahkan.

Di sisi lain, mengingat pelaku kekerasan adalah guru atau staf non-guru dan sesama pelajar di sekolah yang sama, korban kekerasan biasanya memilih untuk diam dan tidak mengadukan persoalannya.

Selain alasan tadi, budaya dan tradisi kelokalan juga berpengaruh besar. Di semua negara yang disurvei, diketahui bahwa anak ditempatkan di struktur kekuasaan terbawah di masyarakat. Sehingga hukuman fisik nan keras terhadap anak dipandang sebagai langkah jitu mendisiplinkan anak.

Di Vietnam, pria dipersepsikan gampang marah dan kurang bisa mengendalikan diri. Sementara perempuan  secara sosial dilihat sebagai kaum yang pasif dan submisif. (Ant)

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home