Loading...
HAM
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:15 WIB | Sabtu, 30 Juli 2016

90 Persen Korban Pemerkosaan di Indonesia Bungkam

Ilustrasi: twitter@the_magdalene, yang menyatakan 93 persen penyintas tak laporkan pemerkosaan yang dialaminya, mengajak semua orang yang mengalami pelecehan seksual untuk bicara. (Foto: dw.com)

SATUHARAPAN.COM - Hampir semua korban pemerkosaan di Indonesia, takut melaporkan ke kepolisian karena khawatir stigma masyarakat. Catatan muram tersebut diungkap dalam sebuah jajak pendapat.yang dilakukan oleh Surabaya Rotlichtviertel Indonesien

Korban pemerkosaan di Indonesia cenderung bungkam, karena rasa malu atau tekanan sosial, kini dipastikan oleh sebuah jajak pendapat. Lebih dari 90 persen kasus tersebut tidak dilaporkan ke kepolisian.

Survei tersebut dipublikasikan pekan lalu, ketika pemerintah berniat membangun pusat pengaduan untuk korban pemerkosaan. Langkah tersebut disambut aktivis perempuan karena dinilai bisa membantu mencegah tindak pemerkosaan.

Dari 25,213 responden online, sekitar 6,5 persen atau 1.636 orang mengatakan pernah diperkosa. Namun lebih dari 93 persen korban takut melaporkan ke polisi karena khawatir reaksi keluarga dan lingkungan sosial.

Menurut data, sekitar sepertiga korban pemerkosaan berusia di bawah 18 tahun. Survei tersebut digelar oleh LSM anti kekerasan seksual, Lentera Sintas Indonesia, Majalah Magdalene dan situs petisi online Change.org.

Menurut Direktur Lentera Sintas, Dr Sophia Hage, tingginya angka kasus pemerkosaan yang tidak dilaporkan cuma "pucuk gunung es" dan "mencerminkan betapa pekanya isu tersebut". “Masyarakat cenderung menjadikannya tabu," katanya kepada Reuters seperti yang dikutip dari dw.com.

"Salah satu alasan kenapa mereka tidak mengungkapnya adalah karena stigma sosial dan korban takut disalahkan. Jadi ada pembiaran dalam isu ini," katanya.

Sekitar 58 persen  responden, mengklaim pernah mengalami pelecehan seksual secara verbal. Sementara 25 persen lainnya mengaku pernah dilecehkan secara fisik, termasuk diraba dan dicium.

Pekan lalu pemerintah mengatakan sedang berencana membangun pusat statistik untuk mencatat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak. Lembaga tersebut diharapkan sudah bisa bekerja awal tahun 2017.

Aktivis perempuan mengeluhkan minimnya data statistik berdampak negatif pada pendidikan dan pencegahan kekerasan seksual. "Kami mendukung keputusan tersebut. Tapi pusat statistik harus ramah terhadap semua korban kekerasan seksual," kata Sophia Hage.

Provisi Aceh Kasus Pencabulan Tertinggi

Sementara  itu, data Komisi Nasional Perempuan tahun lalu mencatat lebih dari 6.000 kasus kekerasan seksual. Sebagian di antaranya terjadi di rumah tangga. Sisanya di komunitas-komunitas sosial. Ironisnya Provinsi Aceh tergolong yang paling banyak mencatat kasus pencabulan terhadap perempuan dan anak-anak.

Yayasan Kita dan Buah Hati mendaulat Aceh sebagai provinsi dengan tingkat kasus pelecehan seksual tertinggi di Indonesia. Korban tidak cuma perempuan. Menurut data Badan Pemberdayaan Perempuan dan Anak-anak, daerah Syariat Islam itu tahun 2015 mencatat 147 kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur.

Kedua adalah Jawa Timur. Lembaga Bantuan Hukum Surabaya mencatat sepanjang tahun 2015 terdapat 116 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak di Jawa Timur. Yang ketiga menurut Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak adalah Jawa Barat, Dalam setiap bulan 17 perempuan di Jawa Barat mengalami pelecehan seksual dan Kabupaten Bandung dan Bandung Barat menjadi daerah yang mencatat kasus kekerasan seksual tertinggi.

Setelah itu DKI Jakarta, menurut data kepolisian, sepanjang 2014 Jakarta mencatat 63 kasus pemerkosaan terhadap perempuan. Sementara kasus pelecehan seksual yang melibatkan bocah di bawah umur tercatat hampir mendekati angka 300 kasus.

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home