Loading...
OPINI
Penulis: Lucia Ratih Kusumadewi 00:00 WIB | Senin, 02 November 2015

Aceh Singkil dan Keadaban Kita

SATUHARAPAN.COM – Insiden pembakaran rumah ibadah di Aceh Singkil beberapa waktu yang lalu telah berlanjut dengan pembongkaran terhadap sepuluh gereja yang tidak memiliki ijin pendirian. Pembongkaran dilakukan secara ‘legal’ oleh pemerintah. Padahal Komnas HAM pernah menyatakan bahwa sekitar 85 persen rumah ibadah di negeri ini, tidak hanya gereja tetapi menyangkut semua jenis rumah ibadah, dan terutama yang terbesar jumlahnya adalah masjid, sebenarnya tidak memiliki ijin. Lalu sekarang pemerintah dibawah kepemimpinan Jokowi telah merestui pembongkaran gereja-gereja di Aceh Singkil dengan alasan utama ‘tanpa ijin’. Mengapa Jokowi tidak sekalian memerintahkan untuk membongkar semua rumah ibadah yang tanpa ijin? Atau apakah ini merupakan bagian kecil dari lelucon revolusi mental?

Peristiwa ini jelas telah kembali melukai perasaan keadilan kelompok-kelompok minoritas dan terpinggirkan di Indonesia. Harapan bahwa kelompok minoritas dan terpinggirkan semakin diperhatikan di era Jokowi semakin lama semakin redup. Perhatikan nasib jemaat Gereja Yasmin yang terus melakukan ibadah minggu di depan istana. Jokowi tak bergeming. Juga kasus-kasus pelanggaran HAM lain seperti pengusutan korban orang hilang, pengsutan pembunuhan munir, nasib keluarga korban pembunuhan massal 1965 dan seterusnya, ini semua adalah pekerjaan rumah Jokowi yang sampai saat ini belum ada titik terang penyelesaiannya. Namun mungkin terlalu sederhana bila semua kesalahan itu ditimpakan kepada seorang Jokowi, walau sebenarnya seorang presiden seharusnya memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan dalam skala luas. Kita lalu juga patut bertanya pada masyarakat kita, di mana sebenarnya keadaban masyarakat kita ? 

Indonesia pada dasarnya memang mencita-citakan sebuah masyarakat yang beradab. Ini tercermin dalam Pancasila sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Karena Pancasila adalah dasar negara yang merupakan idealisme para founding fathers/mothers sekaligus cita-cita yang ingin dicapai, maka rumusan ini tentunya dilatarbelakangi pada situasi riil saat itu di mana masyarakat yang adil dan beradab sebenarnya belum tercapai. Pancasila sekaligus dirumuskan untuk memberikan pijakan idealisme di masa yang akan datang. Namun apa yang terjadi saat ini setelah 70 tahun Indonesia merdeka? Apakah kita sudah dapat menyebut diri sebagai masyarakat yang beradab?

 

Apa itu Keadaban?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keadaban didefinisikan sebagai ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin, kebaikan budi pekerti. Sementara menurut sosiolog Paulus Wirutomo, masyarakat adab adalah masyarakat yang mendasarkan fondasi kehidupannya pada moral persaudaraan atau solidaritas sosial. Di berbagai belahan dunia, keadaban memiliki banyak bentuk, namun secara universal keadaban sebuah masyarakat sebenarnya dapat diukur dari hal-hal yang sangat sederhana semisal bagaimana bersikap tidak hanya menghargai tetapi juga ketergugahan untuk saling membantu, menolong dan saling memberikan kebaikan. Dalam masyarakat yang berkeadaban, orang-orang, baik secara individual maupun kelompok telah memiliki kesadaran (awareness) akan kehidupannya, lingkungan sosial dan dunia, lalu dapat memberikan penghargaan terhadapnya serta mampu memeliharanya.

Bila penghargaan terhadap diri, lingkungan sosial dan dunia bertumbuh, artinya setiap individu sebagai anggota masyarakat serta kelompok-kelompok akan memiliki apa yang disebut sebagai solidaritas sosial yaitu sebuah ikatan yang dapat mempersatukan masyarakat yang membuat masyarakat itu dapat bertumbuh. Solidaritas dalam masyarakat yang berkeadaban memiliki dasar nilai yang universal dan tidak bersifat parsial. Ini telah melebihi solidaritas yang bersifat eksklusif dalam kelompok (in-group). Masyarakat yang berkeadaban adalah masyarakat yang telah berhasil melintas-batasi perbedaan-perbedaan antar kelompok yang mereka miliki dan membangun kehidupan yang berdasarkan moral persaudaraan yang universal. Masyarakat yang berkeadaban juga merupakan masyarakat yang berkeadilan, artinya tidak satu orang atau kelompok pun dapat dijadikan sarana bagi orang atau kelompok yang lain untuk mencapai tujuannya.

Sebaliknya, masyarakat bar-bar atau masyarakat tidak beradab adalah masyarakat yang cenderung ingin mematikan yang lain. Yang dianut dalam masyarakat bar-bar adalah prinsip primitif yang paling sederhana yaitu kalah-menang. Sehingga energi dalam masyarakat ini biasanya hanya dihabiskan untuk menyingkirkan orang-orang, kelompok, mahluk hidup yang dianggap tidak berguna bahkan menyulitkan jalan para dominator untuk berkuasa bukan untuk membangun dan memelihara kehidupan. Nafsu berkuasa individu atau kelompok sangat kental dalam masyarakat seperti ini. Nafsu berkuasa ini seperti lingkaran setan yang tak ada habis-habisnya. Yang kekuasaannya besar akan mendominasi yang kekuasaannya lebih kecil, lalu orang atau kelompok ini akan mendominasi orang atau kelompok yang kekuasaannya lebih kecil lagi, dan seterusnya dan seterusnya saling memakan hingga orang-orang atau kelompok yang paling minoritas, lemah dan terpinggir.

 

Keadaban dan Masyarakat Kita

Bila mau jujur, tentunya kita dapat dengan gamblang mengatakan bahwa Indonesia masih jauh dari masyarakat yang dikatakan berkeadaban itu. Peristiwa Aceh Singkil sangat jelas menggambarkan hal itu. Masalah perijinan sebenarnya adalah masalah administrasi yang dapat dikatakan remeh-temeh yang sangat mudah dan cepat untuk diselesaikan. Tapi memang dalam bangsa bar-bar telah menjadi biasa, hampir semua hal yang remeh-temeh tidak dapat diselesaikan dan menjelma menjadi hal yang sensasional, hingar bingar bahkan menjadi komoditas. Tidak sekadar itu, nafsu berkuasa yang berceceran dimana-mana dalam sebuah bangsa bar-bar, telah membuat segala situasi yang remeh-temeh sekalipun menjadi memiliki muatan politik. Ibaratnya hanya demi uang seribu perak, orang bisa membunuh.

Peristiwa Aceh Singkil yang memilukan hati jelas sekali lagi mempertontonkan bagaimana tirani kelompok dominan terus dan terus menyakiti kelompok-kelompok korban dan ini semua direstui bahkan didukung oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini bukannya berfungsi melindungi warga minoritas dari kuasa kelompok-kelompok dominan, tidak juga sekedar melakukan pembiaran, lebih parah lagi malah justru menjadi kaki tangan bahkan eksekutor penindasan kepada warga negaranya sendiri. Pemerintah mengatakan bahwa pembongkaran sepuluh gereja itu adalah hasil perundingan dan kesepakatan diantara warga. Pertanyaannya, warga yang mana? Lalu bila pun pihak Gereja dan jemaatnya dilibatkan, sejauh mana mereka dapat mempertahankan hak mereka apalagi bila keputusan diambil dibawah tekanan dan ancaman yang begitu besar?

Lalu bagaimana menuju masyarakat berkeadaban? Telah banyak dinyatakan bahwa keadaban itu bukan sekedar kesopanan, walaupun kesopanan merupakan modal utama dari sebuah pembangunan keadaban masyarakat. Masalahnya, di masyarakat kita ini, hanya untuk sekedar berlaku sopan saja sulit, bagaimana bisa mencapai keutamaan yang lain? Adapun nilai yang lebih penting dari kesopanan untuk mewujudkan masyarakat berkeadaban adalah sikap toleran dan empati. Masyarakat adab merupakan masyarakat yang dapat memiliki perbedaan sikap dan pemikiran namun tetap menjunjung tinggi penghargaan satu sama lain. Masyarakat yang beradab adalah juga masyarakat yang mau mendengarkan dan mau mempertimbangkan semua suara bahkan suara terkecil sekalipun. Dalam masyarakat yang berkeadaban tidak ada satu suara pun yang tidak didengar dan tidak ada orang atau kelompok yang dipinggirkan dan diterlantarkan bahkan ditindas. Sikap toleran dan empati inilah yang dapat menggerakan terciptanya moralitas persaudaraan, kemurahan hati untuk saling memberi hidup dan memelihara kehidupan.

Ini yang tidak terjadi dalam masyarakat kita. Dari awalpun kita telah memahami sebuah sistem demokrasi sederhana dimana hanya suara terbanyak saja yang selalu dijadikan pertimbangan. Demokrasi macam ini merupakan demokrasi yang salah kaprah ala masyarakat bar-bar. Selama demokrasi di Indonesia masih berpatokan pada suara terbanyak, mayoritas dan dominan tanpa melihat suara-suara kecil lainnya, dapat dipastikan Indonesia tidak akan pernah menjadi masyarakat yag berkeadaban karena dengan begitu sudah pasti penindasan terhadap kelompok lemah akan terus terjadi. Oleh karena itu sudah saatnya memikirkan dengan cermat cita-cita keadaban masyarakat kita itu. Jangan sampai situasi kejayaan barbarisme  terus berlarut-larut tanpa ujung di negri ini hingga pada titik dimana bangsa ini tidak dapat menemukan lagi jalan menuju keadabannya.

 

Penulis adalah Dosen di Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia. Mahasiswa doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, Perancis.

 

 

 

 

 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home