Adakah Secercah Harapan Warga Kristen Irak Kembali ke Mosul?
AMMAN, SATUHARAPAN.COM – Dari dalam gereja Santa Maria di Marka, pinggiran ibu kota Amman, warga asal Irak, Anne Danyale al-Basi menangis ketika ia bercerita tentang anaknya, Rami.
Sejak tentara melakukan operasi untuk merebut kembali kampung halaman mereka yaitu Mosul pada 17 Oktober, bocah berusia 14 tahun itu tidak banyak bicara. Sebaliknya, ia datang langsung dari sekolah ke ruang gereja, tempat mereka berbagi ruangan dengan pengungsi Kristen Irak lainnya dan langsung menyalakan berita di televisi.
“Dia menghabiskan seluruh waktunya di ruangan ini,” kata Basi kepada Al Jazeera. “Sejak ia mulai menonton pertempuran, yang hanya ingin ia lakukan adalah kembali ke Irak.”
Dalam tahun-tahun kekacauan yang terjadi di Mosul sejak invasi yang dipimpin AS di Irak tahun 2003, anaknya melihat Mosul menjadi situs yang tertawan dan ancaman terus datang dari kelompok-kelompok bersenjata. Dia ingin belajar teknik, berharap suatu hari dapat membangun kembali kotanya.
Sebaliknya, keluarganya malah mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada rumah mereka di suatu pagi di bulan Juli 2014 ketika Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) memberi waktu 48 jam kepada Kristen Mosul untuk meninggalkan rumah mereka atau mati.
“Karena kita sudah dipaksa keluar dari negeri kita sendiri. Rami percaya tidak ada satu negara pun seperti Irak,” kata Basi. “Tapi masa depan seperti apa yang akan dirasakan oleh anak-anak kami jika kami kembali ke Irak sekarang?”
Keluarga Basi adalah salah satu dari 1000 Kristen Irak yang diterbangkan ke Amman dengan bantuan organisasi Caritas Yordania pada bulan Agustus 2014 setelah dua bulan ISIS menguasai kampung halaman mereka. Saat itu, pengungsi masuk ke dalam ruang gereja bersamaan dengan tumpukan kasur dan perlengkapan darurat, mereka percaya Yordania hanya sebagai tempat singgah sementara sebelum kembali bermukim di rumah mereka.
Namun, dua tahun kemudian, mereka tersadar diri mereka terjebak di tepi neraka.
Kamar darurat hanya dipisahkan oleh tirai, tumpukan koper teronggok di sudut-sudut ruangan dan foto keluarga terlihat menempel di dinding. Program berita televisi yang menyiarkan adegan dari medan perang Irak pun memecah keheningan sore ketika beberapa pengungsi pulang ke kampung halamannya.
Hampir 12.000 orang Kristen Irak masih berada di bawah pengawasan organisasi Caritas. Menurut juru bicara organisasi, Dana Shahin, setengah dari mereka kebanyakan berasal dari Mosul.
Shahin mengatakan banyak keluarga asal Mosul yang harus memisahkan diri dengan menyewa apartemen di Amman. Namun, warga lainnya seperti Basi hanya bisa mengandalkan gereja Santa Maria dan berbagi dengan 25 warga lainnya.
Ibu kota provinsi Mosul memang menjadi target utama bagi ISIS. Sebab, Mosul adalah rumah bagi pasukan keamanan Irak, polisi federal, pejuang Kurdi, suku Sunni dan milisi-milisi Syiah.
Ketika barikade-barikade ini telah tercampur dan masuk ke desa-desa di sekitarnya, warga bertanya-tanya apakah dengan kemenangan pasukan Irak atas ISIS dapat membuka jalan bagi warga minoritas kembali ke kampung halamannya.
Tapi untuk Basi, itu sudah tidak mungkin.
“Kami akan menonton berita tentang Mosul sampai akhir hidup kami,” kata dia. “Tapi sepertinya kami tidak akan kembali ke Mosul, saya tidak ingin anak-anak saya mengalami lagi seperti yang terjadi di tahun 2014,” kata dia.
Shahin mengatakan perasaan seperti itu sangat biasa dirasakan oleh para pengungsi di Yordania.
“Kami mendengar jawaban yang sama, itu sangat menyedihkan karena kami ingin melestarikan keberadaan Kristen di Timur Tengah,” kata dia. “Tapi tentu saja ini tidak mudah bagi mereka.”
Martin Daniel, kakak Basi, yang juga tinggal di Marka, mengatakan keseimbangan bagi mosaik kelompok agama dan etnis telah terganggu.
“Mosul terdiri dari Sunni, Syiah, Yazidi dan Kristen, kami semua dibesarkan sama-sama,” kata dia. “Tapi kami khawatir ketika ISIS meninggalkan daerah itu akan ada perang lagi untuk mengawasi pergerakan mereka.”
Sementara perang terus berlanjut di Irak, orang Kristen mengungsi ke Yordania. Rencana untuk meninggalkan Irak segera terwujud karena Basi dan Daniel mendapatkan suaka ke Australia. Mereka akan meninggalkan Yordania dan hidup baru di negara baru. Tapi bagi sekelompok orang yang tinggal di Marka, memulai kehidupan yang baru hanyalah sebuah mimpi.
“Kami telah mengajukan suaka ke Kedutaan Australia, namun kami belum mendengar keputusannya,” kata Raghad Sabah, warga Mosul lainnya yang juga tinggal di gereja. “Tapi kami di sini karena kami kehilangan segalanya di Irak. Kami tidak punya tempat lain untuk bernaung,” kata dia.
Ketika pasukan Irak mulai merebut kota itu, pertanyaan besar kemudian muncul, apa dan siapa yang akan mengontrol daerah yang mereka sebut sebagai rumah dari segala perbedaan? Ketika ISIS mulai menguasai Mosul pada tahun 2014, Sabah mengatakan dia melihat pejabat kota dan aparat keamanan melarikan diri bersama warga sipil ketika terjadi kekacauan.
"Saya menyaksikan dengan mata saya sendiri ketika tentara Irak mengganti seragam mereka dengan pakaian sipil, menjatuhkan senjata mereka dan lari dari kota," katanya. "Tidak seorang pun dari pemerintah Irak bertanya tentang kami sejak saat itu, jika kita kembali, siapa yang kita bisa percaya untuk memungkinkan kita kembali tinggal di sana?"
Dari Yordania, dia telah melihat apa yang telah terjadi di Mosul dari berita dan masih mencoba untuk tetap berhubungan dengan teman-teman yang masih tinggal di Irak. Tapi dia bilang bukan hanya kerusakan fisik rumah saja yang membuat dia enggan kembali ke rumah. Sebaliknya, peristiwa itu meninggalkan bekas luka pada bulan Juli tahun 2014.
Sabah memangku anaknya di lututnya dan memain-mainkan gelang manik-manik pada gerai di luar ruangannya yang bertirai. Dia kadang-kadang dapat menjual perhiasan buatan tangan kepada pengunjung untuk mendapatkan sedikit uang ekstra.
"Anda melihat tempat-tempat yang digunakan untuk belajar, bekerja dan tinggal, dihancurkan, gereja-gereja kuno dihancurkan, ini bukan hal yang mudah untuk dilihat," katanya. "Tapi masalah sebenarnya adalah tidak ada lagi rasa percaya; tidak hanya untuk orang-orang Kristen, tapi semua orang, karena kita semua menderita karena trauma ini." (aljazeera.com)
Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum
Pidato Penerima Nobel Perdamaian: Korban Mengenang Kengerian...
OSLO, SATUHARAPAN.COM-Seorang pria Jepang berusia 92 tahun yang selamat dari pengeboman atom Amerika...