Loading...
HAM
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 16:00 WIB | Selasa, 17 Mei 2016

Ahok: Tangkap Saja Yang Teriak Mau Ganti Pancasila

Ilustrasi. Pengungkapan kejahatan HAM di masa lalu yang terus dikubur dan tak pernah terungkap. (Karikatur: Pramono Pramoedjo)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyarankan kepada pemerintah untuk menangkap pihak-pihak yang selalu ingin mengubah ideologi negara yaitu Pancasila.

“Ekstrem kanan bahaya enggak menurut kamu? Teriak-teriak mau ganti Pancasila, tangkap itu harusnya, itu saja,” kata dia di Balai Kota DKI Jakarta, Jakarta Pusat, hari Selasa (17/5).

Menurut dia, pemerintah tidak perlu bertindak berlebihan selama buku-buku sayap kiri yang rencananya akan ditarik oleh Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu tidak menyebarkan atau memaksa mengganti ideologi Pancasila.

Berdasarkan data yang diterima dari Anggota Koalisi Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat 1965/1966 Harry Wibowo, sejak bulan Desember 2014 hingga bulan Maret 2016, sudah ada 16 kegiatan yang dihentikan paksa oleh beberapa organisasi masyarakat (ormas) maupun pihak kepolisian.

Di antaranya adalah pemutaran film “Senyap” di beberapa daerah, seminar International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHOT) di Malang, Jawa Timur, Diskusi Setengah Abad Gendjer-Gendjer di Banyuwangi, Jawa Timur, Diskusi G30S 1965 di Ubud, Bali, pemutaran dan diskusi film “Prahara Tanah Bongkoran” di Banyuwangi dan Diskusi Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Universitas Diponegoro.

Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu telah keluar jalur dan tak sejalan dengan Presiden RI Joko Widodo karena telah mengeluarkan ultimatum terkait penyisiran buku-buku dan hasil investigasi yang berhubungan dengan peristiwa 1965 dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Penyisiran sejumlah toko buku juga merupakan tindakan dan reaksi berlebihan atas fenomena kebangkitan PKI, yang justru diduga diproduksi oleh TNI konservatif berkolaborasi dengan kelompok Islam garis keras. Perintah Menhan kemungkinan keluar jalur dari apa yang diperintahkan oleh Jokowi beberapa waktu sebelumnya,” kata dia melalui pernyataan tertulis yang diterima oleh satuharapan.com di Jakarta, hari Minggu (15/5).

Menurut dia, penyisiran buku-buku tersebut merupakan tindakan yang bertentangan dengan nalar publik, mengancam kebebasan berpikir, berkespresi dan ilmu pengetahuan. Hendardi juga menganggap TNI sudah salah menangkap apa yang diminta oleh Jokowi yaitu penegakan hukum. Seharusnya, lanjut dia, penegakan hukum adalah tugas dari Polisi, bukan TNI.

“Perintah Jokowi untuk menegakkan hukum ditangkap oleh TNI sebagai perintah represi (keinginan untuk menyingkirkan konflik) yang sama sekali tidak mempertimbangkan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan dan HAM.”

Jokowi, kata dia, seharusnya menegur Menhan yang dianggap menimbulkan kegaduhan di ruang publik, kecemasan masyarakat dan mempermalukan Indonesia dengan penerapan politik represi dalam menangani persoalan bangsa.

Dia menganggap kebangkitan PKI adalah mitos karena tidak masuk akal jika kegiatan kebudayaan yang ditujukan untuk mengungkap kebenaran peristiwa melalui film, diskusi dan kegiatan lainnya justru dianggap sebagai indikator kebangkitan PKI.

Menurut dia, semua kegiatan itu ditujukan untuk meyakinkan negara mengambil sikap dan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat di masa lalu. Penegakan hukum atas sejarah 1965 dan PKI adalah tugas konstitusional dan legal yang melekat pada pemimpin bangsa, siapapun presidennya.

“Pendasaran tindakan represi dengan menggunakan sejumlah UU juga bertentangan dengan semangat reformasi yang ditunjukkan melalui pembatalan PNPS No.4 Tahun 1963 maupun Putusan Mahkamah Konstitusi yang pada  intinya memberikan pengakuan hak yang setara bagi korban PKI,  penghargaan kebebasan berpikir dan berekspresi dan lain sebagainya.”

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home