Akihito Bakal Lengser, Dapatkah Perempuan Kaisar Jepang?
TOKYO, SATUHARAPAN.COm - Laporan bahwa Kaisar Jepang, Akihito, bermaksud untuk turun tahta dalam beberapa tahun ke depan membuka kembali perdebatan tentang kemungkinan perempuan sebagai kaisar.
Namun, setiap upaya ke arah itu, selalu memprovokasi oposisi dari kalangan kerajaan yang konservatif itu.
Akihito, 82 tahun, telah menjalani operasi jantung dan dirawat karena kanker prostat dalam beberapa tahun terakhir.
Ia menyatakan niatnya untuk turun tahta dalam beberapa tahun ke depan kepada Badan Urusan Rumah Tangga Kekaisaran, seperti dilaporkan oleh lembaga penyiaran pemerintah, NHK, Rabu (13/7).
Tidak disebutkan apa alasan mundur itu dan pejabat resmi belakangan membantah laporan tersebut.
Perdana Menteri Shinzo Abe dan pejabat lain pada hari Kamis menolak berkomentar, tetapi Akihito telah mengurangi tugas-tugas resminya belakangan ini.
Posisi kaisar telah lama diambil alih oleh ahli warisnya yang saat ini berusia 56 tahun, Putra Mahkota Naruhito.
Naruhito hanya memiliki satu anak perempuan sehingga karena hanya laki-laki yang dapat mewarisi tahta, kemungkinan besar tahtanya kelak akan diwariskan kepada keponakannya yang kini berusia sembilan tahun, Hisahito.
Hingga saat ini belum ada kaisar Jepang yang turun tahta sejak 1817 dan Undang-undang Rumah Tangga Kekaisaran yang mengatur sistem keluarga kerajaan harus direvisi untuk memungkinkan hal ini.
Ini pasti merupakan proses yang memerlukan debat parlemen yang bisa mengambil waktu bertahun-tahun dan mungkin meluas ke area lain, seperti suksesi perempuan.
"Ini adalah sesuatu yang perlu diperbaiki," kata Kenneth Ruoff, kepala Pusat Studi Jepang di Portland State University, dikutip oleh Reuters.
"Ketika mereka membuka perdebatan mereka harus berdebat segala macam hal."
Sebelum Hisahito, belum ada anak laki-laki yang lahir dalam keluarga kekaisaran selama lebih dari empat dekade.
Hal ini mendorong diskusi tentang warisan yang sama bagi perempuan, langkah yang ditentang oleh kaum tradisionalis yang ingin melestarikan garis laki-laki mereka yang sudah lebih dari 2.000 tahun.
Sebagian besar orang Jepang mendukung usulan perubahan.
Penasihat untuk Perdana Menteri, Junichiro Koizumi, merekomendasikan bahwa perempuan diberikan hak yang sama untuk mewarisi tahta, tapi debat itu batal setelah Hisahito lahir.
Pada bulan Maret, pejabat Jepang termasuk Perdana Menteri Shinzo Abe melakukan protes ketika sebuah komite PBB mengeritik sistem waris yang hanya memperbolehkan laki-laki penerus tahta dan menyebutnya diskriminatif.
Mereka mengatakan langkah PBB itu tidak pantas dan mengabaikan sejarah Jepang.
Komte PBB kemudian menarik kritiknya.
Bagian penting dari basis politik Abe adalah kaum tradisionalis yang ingin mengarahkan Jepang kembali ke etos tradisionil, termasuk kebanggaan pada garis kekaisaran kuno.
Mengingat bahwa Hisahito adalah satu-satunya laki-laki, dan anak perempuan umumnya meninggalkan keluarga kekaisaran setelah menikah, suksesi jangka panjang masih jauh dari meyakinkan.
Solusi yang diusulkan termasuk memungkinkan perempuan untuk dapat menetap dan mendirikan cabang keluarga, masih jadi perdebatan.
"Hanya ada dua cara untuk melanjutkan garis keturunan laki-laki. Salah satunya adalah untuk memiliki selir, yang saya kira tidak akan diterima oleh rakyat Jepang. Solusi lain adalah memiliki keluarga-keluarga penjamin, yang pasti akan rumit," kata Ruoff.
"Jika mereka tidak akan mengubah hukum, ini akan terjadi lagi, tidak akan ada ahli waris laki-laki. Mungkin tidak untuk seratus, dua ratus tahun -. Tapi mengapa tidak mengubah hukum sekarang?"
Editor : Eben E. Siadari
Sri Mulyani Klarifikasi Alasannya Kerap Bungkam dari Wartawa...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memberikan penjelasan ter...