Aktivis Lingkungan Desak Jokowi Hentikan Impor Sampah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi, dalam jumpa pers di kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Selasa (25/6), mengatakan Presiden Joko Widodo harus segera menghentikan impor sampah, karena sejak tahun 2015 para peneliti mendapati Indonesia merupakan negara kedua pencemar laut dunia setelah China. Dia menambahkan, ada 43 negara mengimpor sampah ke Jawa Timur, antara lain Amerika Serikat, Italia, Inggris, Korea Selatan, Australia, Singapura, dan Kanada.
"Kenapa Indonesia? Karena kita kayak jadi destinasi kedua. (Sampah) dari Amerika, kita (negara tujuan) nomor dua, setelah India. Dari Inggris, kita nomor dua setelah Malaysia. Kalau dari Australia, kita nomor dua setelah Vietnam," kata Prigi.
Melalui video telekonferensi, pendiri Bali Fokus, Yuyun Ismawati, menjelaskan sejak akhir 2017, China menerapkan kebijakan baru untuk memperketat impor sampah plastik yang dikenal dengan sebagai kebijakan “Pedang Nasional”.
Hal ini membuat perdagangan sampah, khususnya, sampah plastik, di seluruh dunia menjadi terguncang. Padahal selama 1988-2016, China menyerap sekitar 45,1 persen sampah plastik dunia.
Tahun lalu saja ada 410.000 ton sampah plastik masuk ke Indonesia. Meskipun Indonesia mengaku hanya menerima sampah plastik sebesar 324.000 ton.
"Jumlah sampah plastik yang diimpor ke Indonesia 2018, jumlahnya meningkat pesat, dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Ini adalah efek dari China, Malaysia, Filipina, Vietnam, tutup pintu juga (terhadap impor) sampah plastik," kata Yuyun.
Belum Mampu Kelola Sampah Domestik, Mengapa Terima Sampah Impor?
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati mengatakan sangat heran, karena menangani sampah hasil domestik saja Indonesia belum mampu, namun sudah nekat mengimpor sampah dari negara lain. Dia juga menyoroti rumitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan sampah.
Karena itu, Nur tidak yakin aparat berwenang memahami peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sampah, termasuk sampah impor. Dia menambahkan pencemaran atau kerusakan lingkungan bukan delik aduan. Sebab itu, kalau terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan, polisi harus mengusut tuntas tanpa menunggu aduan dari masyarakat atau pihak tertentu.
Nur mendesak pemerintah untuk segera memperketat regulasi mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah impor, juga memperbaiki pengelolaan sampah sehingga dapat diolah kembali secara ekonomis. Pemerintah daerah dan pusat,katanya, harus segera mengeluarkan aturan untuk menghentikan produksi plastik kemasan sekali pakai. Hal ini untuk mengurangi produksi sampah plastik.
"Perusahaan-perusahaan pengimpor limbah yang ternyata tidak sesuai dengan peraturan, itu harus segera ditindak secara hukum. Cabut izin impornya. Itu merupakan suatu tindakan yang menunjukkan ketegasan kalau memang Pemerintah Indonesia tidak mau dijadikan penadah sampah kotor dan sampah ilegal," kata Nur.
Nur mengatakan, sebenarnya sampah-sampah impor itu di negara asalnya tidak boleh dikirim ke luar negeri dan harus diolah di negara asal. Tapi karena pengolahan makin mahal, maka dikirim ke luar negeri.
Menurut Yuyun, beberapa negara ASEAN telah merespons perubahan perdagangan limbah plastik global tersebut dengan pembatasan impor. Pada Juli tahun lalu, Pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan, dan menargetkan pelarangan impor sampah plastik pada 2021.
Thailand, juga menargetkan pelarangan impor akibat kenaikan drastis impor sampah plastik mereka dari Amerika pada tahun 2018 yang mencapai dua ribu persen (91.500 ton). Vietnam pun sudah tidak lagi mengeluarkan izin baru untuk impor sisa, reja dan atau skrap plastik, kertas, serta logam.
Hingga berita ini diturunkan, tenaga ahli Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan belum bisa dihubungi untuk dimintai tanggapannya soal desakan sejumlah aktivis lingkungan terkait impor sampah ini.
Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, impor sampah plastik bisa dibuka asal tak menimbulkan masalah baru dan jadi sampah di negeri ini. Menurutnya impor limbah plastik harus dipastikan tidak menambah timbunan sampah. Impor yang masuk sepatutnya bukan limbah yang tidak bisa didaur ulang, agar tetap sejalan dengan upaya pengurangan dan pengelolaan sampah plastik yang kini terus digencarkan.
Studi Bank Dunia mendapati komposisi sampah pada laut di Indonesia terdiri atas 21 persen popok sekali pakai, 16 persen tas plastik kresek, 5 persen bungkus plastik, 4 persen kaca dan logam, 1 persen botol plastik, 9 persen plastik lain, dan 44 persen sampah organik.
Laporan hasil audit merek yang dilakukan Greenpeace Indonesia pada pertengahan September 2008 di tiga lokasi di Indonesia, menemukan kemasan produk-produk dari Santos, P&G, dan Wings sebagai yang terbanyak dari kegiatan bersih-bersih pantai di Tangerang, Danone Dettol, Unilever di Bali; dan Indofood, Unilever, serta produk Wings di Yogyakarta. (Voaindonesia.com)
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...