Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Diah Anggraeni Retnaningrum 20:51 WIB | Senin, 23 Mei 2016

Alasan Ahok Lebih Senang Pakai CSR Bangun Jakarta

Ilustrasi. Para pekerja dibantu anggota TNI memasang plang rencana lokasi yang akan dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) dan juga Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di kawasan Kalijodo, Jakarta Utara, Senin (29/2) pasca pembongkaran. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membangun taman dan fasilitas publik di Kalijodo dengan target lima bulan selesai. (Foto: Dok. satuharapan.com/Dedy Istanto).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui lebih senang memakai dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan atau pengembang untuk membangun atau menyediakan fasilitas bagi warga DKI Jakarta. Alasan yang utama adalah karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak perlu mengeluarkan uang untuk pembangunan.

“Kenapa suka CSR? Gratis masa enggak suka? Kami harap kontribusi (CSR) ini mengurangi pengeluaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah),” kata dia di Balai Kota DKI Jakarta usai menyepakati perjanjian kerja sama dengan PT Bumi Serpong Damai (BSD) terkait pembangunan kawasan Kalijodo, hari Senin (23/5).

Menurut dia, dana APBD bisa dialokasikan untuk pengeluaran yang lain untuk pendidikan, kesehatan dan transportasi. Sementara itu, fasilitas publik seperti taman, jalan dan trotoar akan menggunakan kewajiban atau kontribusi pengembang seperti yang dilakukan oleh PT BSD untuk membangun kawasan Kalijodo di Jakarta Utara.

Ahok, sapaan Basuki seringkali menggunakan dana CSR dari pengembang untuk membangun beberapa fasilitas bagi warga DKI Jakarta seperti Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan bus wisata gratis. Sedangkan untuk kewajiban pengembang yang sudah dipenuhi adalah pembangunan rumuh susun dan jembatan Simpang Susun Semanggi.

Hobi Ahok menggunakan dana CSR ini dikritik oleh beberapa pengamat dan pengusaha. Direktur Eksekutif Indonesia For Transparency and Accountability (Infra) Agus A. Chaerudin menyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan data yang dimilikinya, mulai awal tahun 2013 ketika masih dipimpin oleh Joko Widodo hingga bulan Desember 2015, DKI Jakarta sudah menerima kurang lebih Rp 7 triliun untuk dana CSR dari pengusaha.

“Periode Jakarta Baru, pembangunan di DKI Jakarta diarahkan menggunakan dana-dana CSR. Tahun 2013 adalah tahun pertama Pemprov DKI gunakan uang CSR untuk rusun (rumah susun) Marunda,” kata dia di di DPD REI Provinsi DKI Jakarta Jalan HR Rasuna Said Kav 22 Jakarta Selatan, hari Jumat (20/5).

Dia berasumsi alasan Pemprov DKI lebih memilih dana dari pengembang agar pembangunan di DKI Jakarta dapat lebih cepat. Lain halnya jika harus menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang harus melalui proses lelang sehingga tidak bisa lebih cepat dilakukan.

Namun, hal tersebut berimbas kepada penyerapan APBD yang sedikit. Apalagi, lanjut dia, saat DKI Jakarta dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama yang selalu mendapatkan hibah bus Transjakarta hingga pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di beberapa wilayah DKI Jakarta.

Sementara itu dari sisi pengusaha, pemerintah dinilai masih belum memahami arti CSR sebenarnya. Menurut Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pemerintah daerah maupun pusat tidak bisa meminta-minta bahkan menagih dana corporate social responsibility (CSR) kepada pengusaha.

“Pemerintah tak boleh minta dana CSR kepada kami (pengusaha) karena pemerintah tidak punya saham di perusahaan. Yang berhak menentukan besaran dana CSR hanya pemegang saham. Pemerintah hanya berhak menarik pajak dari kami,” kata Kepala Deputi Kadin Komite CSR di DPD REI Provinsi DKI Jakarta Jalan HR Rasuna Said Kav 22 Jakarta Selatan, hari Jumat (20/5).

Kadin Indonesia saat ini menganut asas pengertian CSR dari ISO 26000 yang menyatakan pada dasarnya program CSR adalah menjalankan bisnis dengan tanggung jawab dan berkelanjutan untuk masalah sosial yang sifatnya sukarela.

Namun, yang berjalan saat ini adalah seringkali pemerintah ‘memaksa’ pengusaha untuk memberikan perhatian sosial kepada masyarakat melalui program CSR. Maria menganggap persepsi inilah yang perlu disamakan dengan pengusaha.

Selain itu, menurut ISO 26000, program CSR harus dilakukan oleh suatu perusahaan atas tanggung jawab dari kegiatan organisasi atau korporasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis.

Merujuk pada program-program CSR di Jakarta saat ini, Maria menilai pemerintah belum memahami arti CSR menurut ISO 26000 yang disepakati oleh banyak korporasi.

"Jadi, untuk Pak Ahok, sebaiknya jangan sampai tertukar antara CSR dan kewajiban perusahaan, dan CSR itu sifatnya bukan cuma sumbangan, ya," kata dia.

 

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home