Loading...
FOTO
Penulis: Dedy Istanto 12:53 WIB | Sabtu, 10 Desember 2016

AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair

AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
Aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Moh Monib (tengah) bersama Hendardi (kedua kanan) dari Setara Institute, Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto (kedua kiri) dan pengasuh Pondok Pesantren Annizhomiyyah, Neng Dara Affiah (kiri) yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi (AMSIK) menyatakan sikap terkait proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dalam acara yang digelar di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (10/12). AMSIK menilai proses hukum Ahok atas dugaan penistaan agama dinilai tidak fair karena terlalu cepat dilimpahkan ke pengadilan. (FOTO: Dedy Istanto)
AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
Hendardi dari Setara Institute (tengah) memberikan keterangan terkait dengan proses hukum terhadap kasus Ahok atas dugaan penistaan agama yang dinilai tidak fair secara yuridis karena menggunakan pasal yang invalid.
AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
Aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Moh Monib (kiri) memberikan keterangan terkait dengan fenomena atas kasus Ahok yang dapat memecah persatuan Indonesia.
AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
Pengasuh Pondok Pesantren Annizhormiyyah, Neng Dara Affiah (kanan) memberikan pendapat terkait dengan kisruh tentang penistaan agama dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi.
AMSIK: Proses Hukum Gubernur Ahok Dinilai Tidak Fair
Suasana konferensi pers yang digelar Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi dalam menyikapi proses hukum atas dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok atas dugaan penistaan agama dinilai tidak fair. Hal itu disampaikan oleh Hendardi dari Setara Institute dalam konferensi pers bersama dengan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Konstitusi yang digelar di Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat, hari Sabtu (10/12).

“Pertama, sejak kasus ini digugat soal penistaan agama, saya melihat dari sisi yuridis. Ketika kasus ini berpindah dari kepolisian yaitu P21 ke kejaksaan itu sudah proses yuridis. Kejaksaan sudah menentukan menggunakan Pasal 156 dan 156a. Mengenai pasal tersebut 156a disebutkan golongan-golongan, dan pasal ini diadopsi pada zaman Hindia-Belanda, dan pada waktu saat itu hanya ada tiga golongan, yaitu golongan pribumi, golongan Hindia-Belanda yaitu Eropa, dan golongan Timur Asia. Pasal tersebut sudah invalid setelah pembukaan Undang Undang Dasar 1945 dibacakan dan pasal tersebut sudah memalukan untuk digunakan. Namun kenyataannya pasal tersebut masih digunakan untuk kasus Ahok, seharusnya jika negara ini maju seyogianya pasal tersebut sudah ditinggalkan, itu dari segi pasalnya,” kata Hendardi dalam pernyataannya.

Hendardi menambahkan, "Berkaitan dengan kecepatan proses di tingkat Kejaksaan Agung, saya menilai ini proses hukum yang tidak fair. Untuk 826 halaman berkas perkara, hanya tiga hari proses P21, dan saya mendapat informasi dari dalam kejaksaan hanya membutuhkan waktu dua jam itu sudah dilemparkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Biasanya, dibutuhkan 14 hari untuk masuk P21 dalam setiap perkara."

Ini bertolak belakang dengan langkah Kejaksaan Agung dalam menangani kasus-kasus lain, khususnya soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sampai saat ini berkas perkara bolak-balik dari kepolisian ke kejaksaan atau dilempar kembali ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

"Jika Kejaksaan Agung ingin menunjukkan keseriusan dalam menangani perkara dengan mempercepat kasus tersebut ke pengadilan kepada publik, saya menilai itu bukanlah bekerja secara serius. Bahwa trial by move atau tekanan kerumunan massa itulah yang bekerja efektif dan mempengaruhi independesi Kejaksaan Agung menetapkan keterpenuhan unsur pidana."

Selain Hendardi, hadir narasumber di antaranya, pengasuh Pondok Pesantren Annizhormiyyah, Neng Dara Affiah, aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Moh Monib, dan Guru Besar Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home