Loading...
ANALISIS
Penulis: Trisno S Sutanto 15:00 WIB | Kamis, 17 Juli 2014

Analisis: Koalisi Permanen – Seberapa Efektif?

Formalisasi koalisi Merah Putih: Efektifkah? (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Gejolak pemilihan Presiden (Pilpres) yang baru lalu masih terus menimbulkan situasi tak menentu sampai sekarang. Bukan saja soal ribut-ribut hasil quick count (hitung cepat) tentang siapa pemenang Pilpres, tetapi juga konfigurasi politik yang akan menentukan pertarungan pasca-Pilpres nanti.

Di tengah situasi serba tak pasti itu, usulan formalisasi Koalisi Merah Putih pendukung pasangan Prabowo Subianto – Hatta Rajasa menarik untuk dicermati. Seperti dituturkan M. Romahurmuziy, Sekjen PPP dalam siaran pers Minggu (13/7) lalu, formalisasi koalisi ini mencakup enam partai politik yang, menurut hasil pemilihan legislatif (Pileg), akan menguasai 353 atau 63 persen kursi di parlemen 2014 – 2019.

Ada 6 partai yang tergabung dalam “koalisis permanen” itu, yakni Partai Gerindra, PPP, PAN, PKS, Golkar, dan Demokrat. Salah satu alasan pembentukan koalisi permanen itu, seperti dikemukakan Romahurmuziy, adalah klaim bahwa pasangan Prabowo-Hatta memenangi Pilpres 2014. Konon, menurut Romahurmuziy, data yang masuk ke dalam server real count milik koalisi Merah Putih memperlihatkan kemenangan pasangan yang mereka dukung.

Begitu juga, Fadli Zon, wakil ketua umum Partai Gerindra, ikut menandaskan bahwa pembentukan koalisi permanen itu untuk melanggengkan hubungan eksekutif dengan legislatif dalam pemerintahan Prabowo nantinya. “Kita yakin menang koq, ngga ada skenario kalah sih,” tandas Fadli.

Tentu saja, klaim kemenangan tersebut baru satu pihak. Sampai sekarang masih belum ada kepastian sungguh-sungguh kubu mana yang memenangi Pilpres lalu. Semua pihak masih menunggu keputusan akhir berdasarkan perhitungan KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang rencananya akan diumumkan tanggal 22 Juli mendatang. Dan bahkan, kalau mengikuti hasil hitung cepat lembaga-lembaga survei yang kredibel, justru kubu pasangan Jokowi-JK adalah pemenangnya, dengan meraup suara sekitar 52 – 53 persen.

Seperti pernah dianalisis sebelumnya, ketidakpastian siapa pemenang Pilpres 2014 menjadikan masa penantian sampai tanggal 22 Juli nanti “masa tegang” yang sangat berbahaya bagi stabilitas sosial-politik. Apalagi, Pilpres 2014 ini telah melahirkan polarisasi dwi-kutub yang merasuki hampir seluruh dimensi kehidupan sosial, bahkan relasi-relasi personal.

Karenanya, di tengah situasi semacam itu, penandatanganan kesepakatan koalisi permanen Senin (14/7) lalu di Tugu Proklamasi menimbulkan banyak pertanyaan. Apa sesungguhnya motivasi pembentukan koalisi permanen? Sejauh mana koalisi itu akan tetap bertahan pasca pengumuman hasil pemenang Pilpres oleh KPU? Bisakah koalisi itu efektif di tengah tarik-menarik banyak kepentingan partai politik yang saling bertabrakan dalam tubuh koalisi Merah Putih?

Jika kubu Prabowo kalah, jelas dalam seketika koalisi permanen itu pun berantakan. Partai-partai poltiik pendukung koalisi akan dengan segera meloncat ke kubu pemenang, karena koalisi ini – kembali mengutip Fadli – “memang dipersiapkan bukan sebagai oposan”. Namun kalau toh kubu Prabowo menang, mungkin koalisi akan berjalan sebentar sebelum, nantinya, saling cakar-cakaran.

Sebab salah satu soal paling sulit nantinya adalah bagaimana membagi-bagi kursi dan jabatan kepada partai-partai pendukung koalisi. Kita tahu, selama kampanye Pilpres lalu, Prabowo dikenal “royal” menjanjikan aneka jabatan guna mengikat para elite partai pendukungnya, termasuk jabatan kunci “Menteri Utama” untuk Aburizal “Ical” Bakrie – jabatan yang bahkan tidak dikenal dalam sistem pemerintahan kita! Maka bisa dibayangkan, koalisi permanen yang diharapkan dapat melanggengkan hubungan eksekutif dengan legislatif itu justru akan pecah karena ribut bagi-bagi kursi.

Alhasil, muncul kecurigaan kuat bahwa koalisi permanen itu lebih merupakan “strategi panik” kubu Prabowo untuk tetap mempertahankan klaim kemenangan mereka. Kecurigaan itu muncul dari makin santernya isu-isu yang menandai perpecahan dalam tubuh koalisi pendukung Prabowo-Hatta. Karena itu, penandatanganan koalisi permanen diperlukan untuk menepis dugaan perpecahan tersebut.

Paling santer adalah isu desakan agar Partai Golkar mengalihkan dukungan ke kubu Jokowi. Tidak tanggung-tanggung, usul itu datang dari Suhardiman, pendiri Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) yang menjadi cikal bakal Golkar. "Sebagai pendiri Golkar yang masih hidup, [saya] yakin pasangan Jokowi-JK bisa membawa Indonesia ke depan menjadi bangsa Indonesia yang jaya raya. Saya pendiri Golkar dan Soksi, keputusan saya dapat diikuti oleh anak buah,” tegas Suhardiman.

Padahal, sebagai pemenang kedua Pileg lalu yang meraup 91 (16,25%) kursi di DPR, Golkar merupakan sekutu inti dalam koalisi permanen. Jika Golkar memindahkan dukungan, sudah pasti komposisi kekuatan parlemen nantinya akan berubah total. Dan ini bukan sesuatu yang mustahil, mengingat Golkar juga menempati posisi yang paling rawan di antara partai-partai anggota koalisi permanen. Karena figur Jusuf Kalla masih sangat kuat pengaruhnya dan dapat mendongkel “Ical” dari jabatan Ketua Umum, ditambah lagi tidak adanya tradisi oposisi dalam partai pendukung utama rezim Orde Baru itu.

Boleh jadi, itulah alasan sesungguhnya mengapa koalisi permanen dibentuk, sebagai upaya akhir kubu Prabowo untuk “mengikat” partai-partai pendukungnya. Bahkan Prabowo sendiri menyebut ikatan koalisi itu sebagai “perjanjian suci”. Namun muncul pertanyaan, seberapa kuatkah ikatan itu di tengah perubahan realitas politik yang sangat cair? Bukankah dalam politik berlaku adagium “tidak ada yang abadi, selain kepentingan”?

Apalagi tanda-tanda kemenangan kubu Jokowi-JK makin kuat, setelah dua lembaga survei (JSI dan Puskaptis) yang hasil quick countnya memenangkan kubu Prabowo-Hatta tidak mampu mempertahankan kredibilitas mereka di hadapan Dewan Etik Perhimpunan Lembaga Survei dan Opini Publik (Persepsi). Dalam jumpa pers Rabu (16/7) lalu, Ketua Dewan Etik Persepsi Hari Wijayanto mengumumkan bahwa JSI dan Puskaptis dikeluarkan dari keanggotaan Persepsi karena tidak mau hadir untuk diaudit. Menurut Hari, ketidakhadiran itu memperlihatkan tidak adanya niat baik kedua lembaga untuk mempertanggungjawabkan secara ilmiah hasil quick count mereka.

Maka memang absah untuk bertanya, apa yang masih dapat mengikat partai-partai pendukung Prabowo-Hatta? Apa yang menjadi landasan “perjanjian suci” itu? Mari bertanya pada rumput yang bergoyang...

 

Penulis adalah Koordinator Riset Biro Litkom-PGI, Jakarta


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home