Loading...
ANALISIS
Penulis: Stanley R. Rambitan 14:10 WIB | Rabu, 28 Mei 2014

Analisis: Negara Tidak Layak Mengurusi Agama

Dua orang jamaah Ahmadiyah sholat di masjid Nur-Rabwah, Kab Konawe Selatan, Rabu (9/2). (Foto: Antara)

SATUHARAPAN.COM – Jika negara mengurusi masalah internal agama, sebab berpotensi menjadi penindasan pada masyarakat. Negara sepatutnya mengurusi umat agama dalam hal-hal administratif, hukum dan sosial-kemasyarakatannya.

Korupsi di Kementerian Agama berulang kali terjadi. Belum lama kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an diputuskan pengadilan, terkuak lagi kasus korupsi penyelenggaraan Haji yang menjadikan Menteri Agama, Surya Dharma Ali, sebagai tersangka. Di awal masa reformasi Indonesia, Prof. Said Aqil Al-Munnawar sebagai Menteri Agama dipenjara karena tersangkut kasus korupsi.  Di zaman Orde Baru, beredar dakwaan publik bahwa dua departemen yang seharusnya steril dari korupsi tetapi menjadi departemen yang sangat korup, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Agama.

Orang mungkin akan mengatakan bahwa korupsi di Kementerian Agama itu dilakukan oleh oknum. Tetapi karena sudah begitu mewabah korupsi di lembaga yang mengurusi soal “sakral” ini maka tentu tanggung jawab terjadinya  korupsi itu tidak hanya dibebankan kepada oknum.  Korupsi terjadi karena diberi peluang oleh lingkungan, sistem dan kebijakan kelembagaan.  Korupsi dalam penyelenggaraan Haji terjadi mulai dari kebijakan yang mengharuskan calon jemaah Haji membayar jauh di depan sebelum dipastikan mereka akan dapat berangkat haji. Lalu bunga hampir tiga triliun rupiah dari sekian puluh triliun dana tabungan haji itu selama beberapa tahun tidak begitu jelas peruntukannya. Mungkin itu termasuk yang dipergunakan untuk dana naik Haji atau umrah para pejabat negara beserta keluarganya. Di sini lingkungan dan sistem menyebabkan korupsi berjemaah.

Ongkos Haji di Indonesia sangat tinggi, jauh melebihi ongkos di negara-negara ASEAN lainnya; apalagi jika orang berangkat dari negara-negara lain di Asia, Eropa atau Amerika.  Di samping dana para calon Haji, negara juga harus mengeluarkan triliunan rupiah dari APBN. Yang dirugikan secara material dalam penyelenggaraan Haji dan urusan-urusan agama lainnya, dengan atau tanpa korupsi, adalah jemaah calon Haji dan negara.  Tentu kerugian moril yaitu citra buruk dialami juga oleh umat, agama dan negara ketika terjadi kasus-kasus korupsi seperti itu.

Pengurusan oleh negara dalam hal-hal agama, tidak dapat tidak, mengandung potensi korup, baik menyangkut anggaran dan kebijakan. Di samping itu, ada peluang  abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan diskriminatif. Satu sangkaan terhadap Suryadharma Ali ialah memanfaatkan atau menyalahgunakan kekuasaan dengan membawa sekitar seratus orang, terdiri dari keluarga atau kerabat dan aparat Kementerian Agama untuk naik Haji dengan biaya negara. 

Kebijakan dan tindakan diskriminatif juga terjadi di dalam pengelolaan urusan agama dalam Kementerian Agama. Dalam struktur pemerintahannya, fasilitas yang diberikan untuk urusan agama Islam sangat jauh melebihi dari yang diberikan kepada umat agama lain. Untuk Islam ada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pendidikan Islam, Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dan Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas)  Islam. Sedangkan untuk agama Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha, hanya ada masing-masing satu Direktorat, yaitu Dirjen Bimas Kristen, Dirjen Bimas Katolik, Dirjen Bimas Hindu dan Dirjen Bimas Buddha. Untuk penganut Konghucu, tidak atau belum ada direktoratnya. Kebijakan negara diskriminatif itu tidak hanya pada pemberian fasilitas yang berbeda antara Islam dan agama-agama (besar) lain, tetapi juga terhadap agama-agama atau kepercayaan lokal. Tidak ada fasilitas yang diberikan untuk komunitas lokal ini dalam struktur kementerian.

Diskriminasi juga terjadi dalam penyediaan fasilitas ibadah di lembaga-lembaga negara dan BUMN.  Negara menyediakan atau membangun tempat-tempat ibadah yang mencolok untuk umat Islam, sedangkan untuk penganut agama lain, ruang khusus untuk ibadah tidak ada; umumnya hanya diberi ruang untuk kegiatan umum seperti ruang rapat atau ruang kosong yang dapat dipergunakan.  

Negara melalui Kementerian Agama juga menerapkan diskriminasi dalam hal kebijakan menyangkut kehidupan intra satu agama dan antaragama. Ada keberpihakan yang mencolok dari pemerintah jika terjadi persoalan dalam hubungan intra dan antaragama itu, misalnya soal perbedaan aliran, atau adanya penolakan komunitas mayoritas terhadap penyelenggaraan ibadah dari komunitas agama tertentu di suatu tempat. Negara melalui Kementerian Agama dan lembaga lain yang berwenang, seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan dan Kepolisian tampak lebih berpihak kepada kelompok mayoritas dan represif.  Karena hal-hal ini maka negara Indonesia, khususnya di masa pemerintahan presiden SBY selama dua periode, dinilai dan disebut sebagai negara dengan tingkat pelanggaran HAM yang sangat tinggi. 

Belakangan ini, sebagian masyarakat menyoroti maklumat Partai Gerindra yang di dalamnya menyebut  kebijakan pemurnian agama. Jika ini sungguh-sungguh menjadi kebijakan partai, lalu partai ini menjadi penguasa di lembaga legislatif dan eksekutif dan memengaruhi lembaga yudikatif maka ide atau kebijakan itu akan sangat berbahaya terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia. Negara dengan kekuatan tangan besi dapat memaksakan kehendaknya memurnikan ajaran agama sesuai dengan tafsiran atau pemahaman yang memengaruhi dan dianutnya. Padahal, soal kebenaran atau kemurnian agama adalah soal tafsiran dan subjektif yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Akan ada penindasan dan bahkan pembasmian terhadap aliran-aliran keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan yang dianut oleh penguasa. Ini akan menjadi pelanggaran terhadap UUD dan HAM.  Hal ini sudah  terjadi khususnya di Arabia ketika pemurnian agama Islam dilakukan oleh gerakan Wahabiyah tahun 1700-an, yang didukung oleh penguasa, Muhammad Ibn Sa’ud, pendiri Kerajaan Saudi Arabia, yang berakibat jatuhnya banyak korban material dan jiwa.

Lembaga, apa pun itu, baik sosial-politik, pendidikan, kenegaraan dan bahkan keagamaan mengandung potensi korup; baik korupsi anggaran atau kekuasaan dan kebijakan. Negara Indonesia melalui Kementerian Agama yang sinisnya mengurusi soal yang “sakral” tidak lepas dari potensi dan bahkan diwarnai oleh kasus korupsi itu. Agar korupsi dan akibat material dan morilnya yang buruk terhadap kehidupan umat dan citra agama dan terhadap masyarakat dan citra negara tidak terjadi, hendaknya Negara Republik Indonesia ini tidak lagi mengurusi soal-soal internal agama, seperti ajaran dan ibadah yang merupakan wewenang agama itu sendiri. Negara sepatutnya mengurusi umat agama dalam hal-hal administratif, hukum dan sosial-kemasyarakatannya, seperti izin mendirikan gedung ibadah dan penyelesaian konflik intra dan antarumat yang memiliki konsekuensi sosial-politik dan hukum menurut hukum atau undang-undang negara. 

Stanley R. Rambitan/Teolog-Pemerhati Agama dan Masyarakat 


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home