Loading...
HAM
Penulis: Kris Hidayat 07:42 WIB | Kamis, 05 Juni 2014

Anick HT: Demokrasi Harus Jadi Kerangka Kebebasan Beragama

Anick HT dan Benedict Rogers tengah mengisi dialog di Radio RPK FM, Selasa (4/6). (Foto: Kris Hidayat)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Anick Hamim Tohari mengatakan bahwa Indonesia sebagai negara demokrasi harus menjadi kerangka besar dalam melihat terjadinya intoleransi dan kebebasan beragama. “Sekecil apapun intoleransi yang terjadi, harus dilihat sebagai masalah besar, memang harus begitu untuk memastikan demokrasi berjalan sebagaimana mestinya,” demikian disampaikan dalam diskusi yang bertema Intoleransi di Indonesia di Radio Pelita Kasih (RPK-FM), Selasa (4/6).

“Dengan kata lain, seberapapun besaran kasus intoleransi di Indonesia harus ditempatkan dalam konteks framing besar Indonesia sebagai negara muslim terbesar, Indonesia sebagai negara yang dianggap berhasil dalam proses demokrasinya. Demokrasi di Indonesia terjadi lebih baik, yakni terjadinya proses demokratisasi tanpa kudeta yang berdarah-darah, tanpa terjadi kekerasan yang sangat masif. Nah, dalam dalam konteks inilah intoleransi dilihat” lanjut Anick HT, seorang tokoh dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang hadir membahas laporan Christian Solidarity Wordwide (CSW) sebagai program khusus yang disiarkan RPK-FM, bersama Benedict Rogers, aktivis CSW dan moderator Martin Lukito Sinaga dari STT Jakarta.

Toleransi Indonesia dalam ancaman

Sebelumnya secara ringkas Benedict Rogers memaparkan ringkasan laporan CSW yang juga telah diluncurkan pada pagi harinya. Beberapa hal yang dikemukan oleh Benedict Rogers hingga pada kesimpulan "Toleransi di Indonesia berada dalam Ancaman", antara lain tidak saja karena lemahnya pemerintah dalam penegakan perlindungan keberagaman, tetapi karena negara seringkali turut terlibat dalam dalam diskriminasi, hal lain adalah lemahnya negara dalam melakukan penegakan hukum dan melakukan pembiaran atas aparatnya, sedangkan hal lain adalah masih adanya kriminalisasi pada para korban diskrinasi pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakianan. 

Secara khusus Anick HT mengapresiasi laporan CSW yang sebagai orang luar Indonesia sebagai laporan yang sangat detil dan mendalam serta paham sekali masalahnya. Dalam rekomendasi internal yang mendetail misalnya dilaporkan oleh CSW akan adanya diskriniasi dalam kolom agama dalam KTP, soal MUI, soal Departemen Agama, Soal polisi yang lemah dan tidak bisa bertindak tegas.

Rekomendasi lain yang juga menarik karena CSW menyampaikan rekomendasi keluar, yakni ke Pemerintah Canada, Pemerintah Amerika Serikat dan PBB, dan juga ke pemeritnah-pemerintah Asean, yang juga diminta kepeduliannya dalam masalah-masalah intoleransi.

Anick HT berpendapat bahwa intoleransi di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan intoleransi yang terjadi di negara-negara lain di Pakistan, Afganistan, dan lainnya. Tidak bisa Karena standard Indonesia adalah demokrasi yang jauh lebih baik dari negara-negara di Asean. 

“Pola pikir mainstraim di Indonesia, adalah pola pikir demokrasi yang sudah lebih maju dari negara-negara lain, karena itu urusan ijin gereja menjadi sangat penting di Indonesia, urusan satu orang yang mengaku atheis, karena dalam logika demokrasi, mereka harus dijamin, berpikir seperti itu harus dijamin,” demikian papar Anick HT.

"Riset yang dilakukan oleh CSW ini menarik, berpadanan dengan realitas intolerasn yang dihadapi, selain itu media sekarang semakin terbuka. Kasus di Sleman, misalnya, pada detik yang hampir bersamaan dapat diberitakan, namun yang tak kalah penting adalah bagaimana membingkai dan membangun kesadaran bersama bahwa yang kita hadapi adalah kasus-kasus yang penting," kata Anick HT. 

Sebagian dari para pelaku intoleran itu sering menuduhkan cengeng dan menjual Indonesia ke luar negeri. “Lho, kita ini hidup pada zaman global dengan ukuran demokrasi yang sangat maju, Indonesia memiliki sekian banyak komitmen terhadap PBB, kita telah meratifikasi banyak kovenan PBB, itu berarti kita sudah maju dibandingkan dengan negara-negara lain yang meratifikasi saja tidak berani.”

Problem dalam penganganan kasus intoleransi bisa saja terjadi adanya standard ganda. Anick HT mencontohkan di bagian HAM departemen Luar Negeri, ketika Indonesia melakukan report kehidupan beragama di Indoneisa. Sebagian besar dalam report yang dihasilkan, yang bagi orang yang bekerja dilapangan, mengganggapnya sebagai manipulatif, artinya ada kesan asal bapak Senang.  Ketika kita keluar negeri, kita bicara manis-manis, itu sebabnya Presiden SBY mendapatkan award sebagai bapak toleransi, padahal di dalamnya kita lemah.

Menyinggung kesimpulan laporan CSW tentang masalah Polisi, "Padahal banyak contoh ketika aparat tegas, menjadi contoh inisiatif lokal yang bisa menjadi contoh di Indonesia. Polres Kuningan, misalnya, dengan tegas menjadi contohnya. Sekali tegas, kelompok intoleran berpikir berpikir ulang untuk melakukan tindakan intoleransi. Ketika negara hadir dengan benar, intoleransi itu berkurang,” demikian Anik HT mengakhiri pemaparannya.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home