Loading...
OPINI
Penulis: Ilma Sovri Yanti Ilyas 00:00 WIB | Senin, 13 Juni 2016

Apa Kabar Nasib Anak Warga Eks-Gafatar?

Nasib para pengungsi eks-Gafatar sungguh memprihatinkan. Apalagi anak-anak mereka. Di mana peran negara?

SATUHARAPAN.COM – Sungguh miris! Sekitar 6000 warga eks-Gagatar yang diusir paksa dari Kalimantan, direlokasi dan menjadi pengungsi, kini diperlakukan sewenang-wenang seperti tahanan. Pemerintah menahan, menginterogasi, dan mengancam mereka seperti layaknya pelaku kriminal.

Dan ini terjadi tanpa pandang bulu pada semua orang yang dianggap warga eks-Gafatar, termasuk anak-anak. Tidak sedikit jumlah anak-anak, mulai dari masih di kandungan hingga balita, yang terpaksa mengikuti orang tua mereka tanpa memahami apa yang terjadi. Belum lagi anak usia sekolah yang terpaksa harus berhenti sekolah. Mereka mengikuti orang tua untuk mengadu nasib di Kalimantan, lalu diusir dari sana. Belum lagi cerita pilu para perempuan yang mengalami keguguran saat pemindahan paksa terjadi.

Kisah-kisah pilu itu terus terjadi pada kelompok rentan, yakni perempuan dan anak, yang terstigma sebagai “eks-Gafatar”. Apalagi aparat pemerintah memperlakukan anak-anak itu sama seperti mereka memperlakukan orang dewasa, memperlihatkan senjata di hadapan anak-anak dan kekerasan verbal yang berulang terjadi. Sudah banyak kajian memperlihatkan, trauma yang dialami anak-anak itu akan bertahan hingga mereka remaja dan dewasa.

Menurut Martin Teicher, seorang profesor psikiatri di Harvard Medical School, seorang dewasa yang berteriak kepada anak-anak dengan kebencian akan mengakibatkan kerusakan struktur otak pada anak. Pada otak anak yang sering dibentak, saluran yang menghubungkan otak kanan dengan otak kiri menjadi lebih kecil. Hal ini mempengaruhi area otak yang berhubungan dengan emosi dan perhatian. Perubahan ini pada saat anak dewasa akan menyebabkan kecemasan, depresi, dan gangguan kepribadian, risiko bunuh diri dan aktivitas otak yang mirip dengan epilepsi.

Belum lagi anak-anak itu harus berpindah-pindah lokasi pengungsian, menumpang transportasi yang beragam. Dan sepanjang perjalanan mereka hanya diberikan makanan berupa mie instan, sarden kaleng dan nasi. Tidak heran, ketika tiba di lokasi tujuan, banyak anak-anak yang keluar dari pesawat atau kapal laut sembari muntah-muntah akibat masuk angin, kelelahan, lingkungan yang tidak nyaman bagi anak, cuaca panas dan hujan, serta faktor lainnya selama perjalanan.

Lebih miris lagi nasib para perempuan. Karena kekerasan fisik dan psikis yang mereka alami, serta tidak terpenuhinya kebutuhan khusus perempuan, balita dan anak-anak usia sekolah, ditambah makanan yang jauh dari sehat, beberapa dari perempuan hamil mengalami keguguran, atau melahirkan sebelum waktunya akibat stres, dan anak balitanya meninggal. Kini stigmatisasi terhadap mereka sangat menyulitkan mereka untuk mengakses layanan publik. Juga kehidupan sosial mereka terganggu karena stigmatisasi itu.

Menurut laporan Human Rights Watch, ada sekitar 2.422 keluarga (atau 7.916 individu) termasuk anak-anak yang diusir dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur sejak Januari sampai akhir Februari. Pemerintah Indonesia menahan lebih dari 6.000 anggota Gafatar yang diusir paksa dari Kalimantan di enam tempat penahanan tak resmi di Jakarta, Yogyakarta, Bekasi, Boyolali dan Surabaya. Selama di tempat pengungsian yang dapat dikatakan tidak layak tersebut, para warga Ex-Gafatar ini diberikan “pembinaan agama,” “penyuluhan deradikalisasi,” dan ancaman pidana soal penodaan agama. Pun pendidikan “bela negara,” menjadi sesi yang harus diikuti sehari untuk bahas Pancasila dan pendidikan kewarganegaraan.

Saat kegiatan tersebut tidak ada perhatian kepada anak-anak dari warga Ex-Gafatar. Nampak anak-anak bermain sendiri dan ada di antara anak-anak itu yang tidak mau berkomunikasi dengan orang lain, bahkan banyak anak yang menangis. Sehingga inisiatif pun muncul untuk mengadakan kelompok bermain anak-anak. Salah satu tempat yang penulis kunjungi di wilayah Jakarta Timur, sangat ramai orang yang tinggal dan beraktivitas di dalamnya, terkesan semrawut, kotor dan tidak teratur. Petugasnya pun nampak kebingungan dalam mengatur ketertiban warga yang akan menetap sementara di lokasi penampungan tersebut.

Belum lagi instruksi Menteri Sosial yang meminta agar dalam empat hari semua warga sudah dipulangkan ke daerahnya, tentu membuat para petugas panik dan terburu-buru. Apalagi keterbatasan tenaga menjadi kendala tersendiri. Pemerintah membuat aturan mengenai relokasi paksa dan menyerahkan warga eks-Gafatar kepada pemerintah daerah atau kerabat mereka dengan sistem “jemput”, masing-masing dibuatkan berita acara sebagai serah terima.

Kini masalahnya, bagaimana negara memberi situasi kondusif untuk tumbuh-kembang anak-anak eks-Gafatar? Mereka telah diusir, beserta keluarga, dari Kalimantan. Dan kini menghadapi penolakan masyarakat di lokasi asal. Lalu bagaimana pemenuhan hak anak, mulai dari hak hidupnya yang terjamin, rasa aman, mendapatkan tempat tinggal yang layak, perhatian dan kasih sayang keluarga yang utuh, fasilitas kesehatan serta dapat mengakses pendidikan tanpa mengalami perlakuan diskriminatif? Dan bagaimana negara mengatasi persoalan anak dalam memperbaiki kehidupan, pemulihan dari stigma, beradaptasi dengan lingkungan sosial dan hak atas identitasnya sebagai anak Indonesia?.

Padahal menurut Human Rights Reference, anak merupakan kelompok rentan. Dan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya”.

Karena itu tidak salahnya jika masyarakat sipil dan para pemerhati hak anak mempertanyakan sejauh mana kinerja pemerintah di dalam memenuhi hak-hak anak tersebut!

 

Penulis adalah Aktivis Perlindungan Anak untuk Anak Minoritas

Editor : Trisno S Sutanto


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home