Loading...
DUNIA
Penulis: Melki Pangaribuan 19:40 WIB | Kamis, 25 Agustus 2016

AS Imbau Warganya Patuhi Larangan Burkini di Prancis

AS telah menyampaikan keprihatinan mengenai langkah-langkah yang diambil di Prancis mengenai pakaian muslim khususnya larangan mengenai penutup seluruh wajah di tempat-tempat umum.
Desainer baju renang burkini, Aheda Zanetti (kiri), menyesuaikan salah satu pakaian renang model Salwa Elrashid di toko fashion di Sydney, pada 23 Agustus 2016. (Foto: Reuters/Jason Reed)

WASHINGTON, SATUHARAPAN.COM - Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menganjurkan kepada warganya yang berkunjung ke Prancis untuk mematuhi Undang-Undang (UU) setempat setelah beberapa kota pantai memberlakukan larangan mengenai pakaian renang burkini termasuk kerudung Muslim.

Juru bicara Deplu AS, Elizabeth Kennedy Trudeau, hari Rabu (24/8)  mengatakan bahwa “kalau mereka melanggar UU setempat, meskipun tidak mengetahuinya, mereka bisa diusir, ditangkap atau dipenjara”.

"Warga AS disarankan untuk mematuhi hukum setempat terlepas dari negara manapun yang mereka kunjungi. Tapi khususnya peraturan sangat lokal ini, saya akan merujuk Anda kepada Prancis,” katanya.

AS telah menyampaikan keprihatinan mengenai langkah-langkah yang diambil di Prancis mengenai pakaian Muslim khususnya larangan mengenai penutup seluruh wajah di tempat-tempat umum.

Baru-baru ini, puluhan kawasan peristirahatan Prancis melarang pakaian pantai yang “dengan sengaja” menunjukkan agama seseorang seperti “burkini” pakaian renang yang menutup seluruh tubuh bagi perempuan Muslim.

Berbicara setelah pertemuan dengan ketua Dewan Agama Muslim Perancis/ CFCM, Menteri Dalam Negeri Prancis, Bernard Cazeneuve, hari Rabu (24/8) memperingatkan orang jangan menyudutkan Muslim.

Peningkatan Penjualan

Sementara itu pencipta burkini asal Australia, Aheda Zanetti, mengatakan ia mengalami peningkatan penjualan pakaian renang muslimah tersebut sejak tiga kota Prancis melarangnya.

"Penjualan kami meningkat dan semakin mereka melarangnya, atau semakin mereka menolaknya, tidak berarti perempuan akan berhenti memakainya," kata Zanetti kepada Reuters.

"Saya kira mereka telah salah paham, ketika kami memproduksi pakaian renang tersebut, itu adalah bagian dari integrasi, bagian dari penggabungan budaya."

Para wali kota Cannes, Prancis, Villeneuve-Loubet dan Sisco di resor pinggir pantai Corsica, memberlakukan larangan tersebut minggu lalu, dengan alasan bahwa burkini melanggar aturan sekularisme Prancis.

Debat soal burkini terutama sensitif di Prancis, tempat cadar atau niqab dan burka dilarang mulai 2010. Ketegangan antara komunitas telah meningkat menyusul serangan-serangan maut oleh para militan.

Bulan lalu, seorang warga Tunisia menewaskan 85 orang ketika ia menabrakkan truknya ke kerumunan di Nice dan seorang pastor Katolik Roma disembelih di gereja oleh dua orang warga Prancis. Bulan November lalu, 130 orang tewas dalam pemboman dan penembakan di Paris.

Zanetti, yang telah tinggal di Australia selama lebih dari 40 tahun sejak pindah dari Lebanon, merancang burkini tahun 2004 setelah kesulitan menemukan pakaian olahraga yang sesuai untuk perempuan muslim.

Ia mengatakan dengan menggunakan tudung untuk menutup kepala, bukannya burka, burkini telah menjadi sebuah pilihan bagi perempuan non-muslim.

Zanetti memperkirakan bahwa 40 persen dari penjualannya berasal dari perempuan non-muslim, termasuk para penyintas kanker, ibu-ibu yang tidak ingin memakai pakaian renang terbuka atau perempuan-perempuan yang ingin melindungi kulitnya dari matahari. (VOA/AFP)

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home