Loading...
ANALISIS
Penulis: Hananto Kusumo 09:18 WIB | Senin, 11 Agustus 2014

Bendung ISIS dengan Rekonstruksi Ideologi Antiberhala

Kelompok ISIS mengibarkan bendera ISIS. (Foto: AFP)

SATUHARAPAN.COM – ISIS membenarkan tindakan destruktif dengan dasar pembenaran adalah perintah tentang penghancuran thaghut (berhala). Rekonstruksi pemahaman atas ideologi antiberhala akan membendung radikalisme dalam agama.

NIIIS (Negara Islam di Irak dan Syam; Arab: al-Dawlah al-Islāmīyah fī al-ʻIrāq wa-al-Shām) yang saat ini berkembang menjadi IS (Islamic State) atau Negara Islam, adalah organisasi militan yang mengklaim sebagai negara. Di mata pemerintah Irakdan Suriah, kelompok ini dipandang sebagai pemberontak.

Kelompok ini menjadi berita heboh karena terdapat video yang diunggah ke Youtube, yang meski kemudian setelah didesak banyak pihak kemudian diblokir Menkominfo, masih saja dapat diunggah kembali oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki replikanya. Video ini berisi ajakan untuk orang-orang Indonesia agar bergabung dengan ISIS.

Tentang ancaman ISIS bagi masyarakat Indonesia sesungguhnya telah merupakan polemik. ISIS diisukan telah merekrut 1.000 orang Indonesia yang umumnya kaum muda, bahkan telah mendirikan sentra-sentra “bawah tanah” bahkan masjid untuk mengembangkan ajaran mereka. Padahal sebenarnya sudah banyak pihak yang menentangnya. Pemerintah RI (misalnya Menag Lukman Hakim Saifuddin) melarang umat Muslim untuk mengikutinya, bahkan Kapolri mengancam dan membekukan asset mereka yang bergabung dengan ISIS. Tidak sedikit pula organisasi Islam yang menolak (bahkan menfatwakan haram) bagi umat Muslim Indonesia untuk bergabung dengan ISIS. Tak kurang dari MUI dengan 39 ormas Islam termasuk NU dan Muhammadiyah All telah menolak ISIS.

Sebenarnya ISIS sendiri juga ditentang oleh pemerintah negara mereka sendiri (Irak dan Suriah). ISIS, yang sebenarnya awalnya beraliran Sunni, bukan saja menghancurkan pemukiman orang-orang non-muslim (seperti membantai orang-orang Kristen dan orang-orang Kurdi/Yazidi), namun juga dikabarkan telah membunuh lebih dari sepuluh ribu umat Muslim, bukan saja kaum Syiah, namun juga kaum Sunni sendiri yang tidak sepandangan.

Berbeda dengan kelompok Al Qaeda yang dikabarkan merupakan asal-usul pendiri ISIS, ISIS belum mendapatkan perlawanan sengit dari Amerika Serikat dan para sekutunya. Analis berpandangan salah satu penyebabnya ialah bahwa ISIS itu sudah terlalu banyak musuhnya, sehingga mereka tidak perlu campur tangan menurunkan pasukannya ke sana. Padahal jumlah korban yang tewas dalam kejahatan kemanusiaan lebih besar daripada korban perang di Gaza baru-baru ini yang banyak diberitakan media-media di Indonesia.

Sekalipun ada begitu banyak musuh ISIS di Indonesia maupun di luar negeri, namun sejumlah kalangan mewaspadai ISIS karena memiliki ideologi yang berbahaya, yakni Negara Islam yang dengan khalifah Islam, yang membenarkan melakukan kekerasan terhadap yang berbeda keyakinan, termasuk aniaya, perkosaan, pembunuhan. Keyakinan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang diterima di Indonesia, yang memahami Islam sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam, yang toleran dan menghargai sesama manusia, dan mendukung dasar negara Republik Indonesia yakni Pancasila. Pancasila sendiri sesuai dengan konteks Indonesia dan diyakini sejalan dengan Islam, dan tidaklah relevan untuk memimpikan mengubah Pancasila menjadi NII (Negara Islam Indonesia). Persoalan ideologi ini diberitakan menjadi permasalahan yang harus disoroti dan harus dilawankan dengan ideologi khilafah (sedunia) yang diimpikan oleh penganut IS. Namun hanya menyodorkan ideologi Pancasila sebagai pengganti ideologi Negara Islam, sekalipun penting, namun tidak cukup efektif, karena seolah-olah mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Padahal ada setidaknya 40 ormas Islam di Indonesia yang berpandangan bahwa ideologi Negara Islam (IS) tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Karena itu hal yang merupakan pekerjaan rumah bagi para ulama dan pemuka agama di Indonesia ialah memahami pokok ajaran yang dipertentangkan dan memahamkan pemahaman yang benar. Pemahaman agama IS membenarkan tindakan destruktif tanpa dasar yang kuat. Milisi ISIS memperoleh dana dengan merampok bank dan sumber keuangan lainnya, serta menghancurkan pelbagai fasilitas yang tidak sejalan dengan ajaran mereka. Dasar pembenarannya ialah perintah tentang penghancuran thaghut (berhala). Yang dimaksud dengan thaghut bukan hanya patung-patung berhala, namun juga simbol-simbol keagamaan, seperti salib, makam nabi-nabi - seperti makam Nabi Yunus serta (konon) Set -, tempat-tempat ibadah, bahkan hingga Kakbah di Mekah pun juga merupakan tujuan penghancuran. Demikian pula simbol-simbol negara yang memiliki otoritas selain khalifah ISIS, seperti kepolisian, pemerintah RI.

Padahal sebenarnya thaghut merujuk kepada setiap yang disembah selain Allah, yang peribadatannya dilakukan oleh penyembah atau pengikutnya dengan rela, dengan ketaatan yang melawan perintah Allah. Jadi thaghut mensyaratkan dua hal, yakni (pertama) tindakan penyembahan, dan (kedua) ketaatan mutlak kepadanya yang melawan perintah Allah. Berdasarkan pemahaman tentang makna thaghut ini jelas simbol-simbol negara yang demokratis seperti pemerintah dan polisi tidak memenuhi kriteria, karena mereka tidak disembah. Bendera merah putih juga hanya dihormati, tak beda jauh dengan menghormati sesama manusia dengan memberikan salam hormat. Dapat dikecualikan untuk pemerintah otoriter yang menyuruh melawan perintah Allah, seperti penundukan diri secara mutlak pada (Nazi) Hitler atau pemimpin negara Komunis.

Sedangkan benda-benda simbolis atau monumental, seperti candi-candi, patung-patung Buddha, salib, roti dan anggur pada upacara ekaristi, makam nabi-nabi dan tempat-tempat ziarah lainnya, rumah-rumah ibadah, hingga Kakbah, sebenarnya tidak disembah, tetapi dijadikan sarana monumental, atau diberikan penghormatan atau devosi. Kalaupun dilakukan gerakan-gerakan yang dapat dikonotasikan sebagai menyembah, jelas mereka tidak memiliki penundukan mutlak kepada benda-benda itu. Kultur indoktrinasi agama yang menutup diri bagi dialog dengan penganut agama lain merupakan benih-benih intoleransi dan kekerasan atas nama agama. Sebaliknya berlaku melalui dialog yang tulus dan terbuka dengan masing-masing tetap menghormati keyakinan masing-masing. Dengan dialog dapat dipahami bahwa sebenarnya orang Kristen tidak pernah menyembah salib, orang Katolik juga tidak menyembah patung Bunda Maria, orang Islam tidak menyembah Kakbah, orang Buddha tidak menyembah banyak patung dewa, demikian pula rosario atau tasbih bukan merupakan thaghut.

Demikian pula sosok hidup seperti para nabi, imam, khalifah, biksu, pendeta, merupakan “jalan” atau “petugas” untuk ibadah, bukan merupakan berhala atau thaghut. Keyakinan ketuhanan yang Maha Esa tidak harus terganggu dengan adanya sosok-sosok, tokoh-tokoh agama maupun sarana yang monumental atau dihormati. Bahkan kalau ditelusuri, ISIS sendiri memiliki tokoh khalifah (Abu Bakar al-Baghdadi) yang dipatuhi secara membabi buta, serta menggunakan simbol berupa stempel Nabi Muhammad S.A.W., bahkan hingga benderanya, yang bahkan tidak digunakan oleh umumnya umat Muslim lainnya. Kalau para tokoh dan alat lainnya yang mendatangkan rahmat dan tindakan kasih sayang sesuai sifat Allah, dianggap sebagai thoghut, sungguh ironis kalau tokoh dan alat mereka yang mendatangkan kekerasan (yang bertentangan dengan ajaran Islam) tidak juga mereka golongkan sebagai thoghut.

Di sisi lain, reaksi ideologis mereka dapat dijadikan bahan introspeksi bagi kita, agar memberlakukan manusia dan benda secara proporsional. Umat Yahudi pernah terjerumus karena Nabi Musa diperintahkan Allah membuat ular tembaga, saat orang-orang Israel yang memberontak dihukum dengan digigit ular beracun. Umat yang digigit ular itu diperintahkan memandang ular tembaga itu, agar tidak mati keracunan (Bil 21:9). Namun dalam perkembangan berabad-abad kemudian, ular itu terlalu dikultuskan sehingga menjadi sesembahan, yang dinamai Nehustan, yang dibenci Allah (2 Raj 18:4). Secara sosiologis, memang benda-benda berhala sering berawal dari benda-benda yang biasa namun dikagumi secara berlebihan sehingga dalam perkembangan disembah dan diyakini punya otoritas.

Oleh karena itu, dialog yang rendah hati tulus dan komunikasi yang efektif dapat berperan besar untuk mengatasi paham radikal seperti IS ini.

Hananto Kusumo adalah pendeta, pegiat lintas-iman, alumnus Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Magister Teologi UKDW.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home