Loading...
INSPIRASI
Penulis: Endang Hoyaranda 09:53 WIB | Senin, 25 Mei 2020

Berharap Yang Terbaik, Bersiap untuk Yang Terburuk

Being positive in a negative situation is not naïve. It’s leadership! (NN)
Jalan berliku (foto: pixabay [pexels.com])

SATUHARAPAN.COM – Baru kali ini terasa ungkapan di atas begitu bermakna. Inilah masa ”berharap yang terbaik, bersiap untuk yang terburuk” benar-benar mendapat arti yang bisa sungguh dipahami.

Kita berharap wabah segera pergi. Kita berdoa setiap hari agar Tuhan campur tangan untuk segera mengusir penyakit yang menakutkan ini. Namun, logika  sudah tahu: wabah ini akan lama  tinggal  bersama kita. Dan bersamaan dengan itu kita juga patuh pada kehendak Tuhan, yang pasti memiliki rencana yang terbaik bagi umat manusia, bagi alam semesta.

Tak ada satu pun manusia yang bisa mengatakan dengan pasti apa yang akan terjadi dan kapan. Semua terbatas pada asumsi dan harapan, Berandai-andai bahwa COVID-19 akan segera punah, hanyalah ilusi. Dan hidup dalam ilusi hanya akan membawa kekecewaan.

Mel Brooks—penulis, actor, dan comedian terkenal kawakan—pernah berkata, ”Haraplah yang terbaik, namun siapkan diri untuk yang terburuk, karena hidup adalah sebuah permainan dan kita tidak terlatih menghadapinya.” Khususnya untuk mengatasi wabah  kali ini, kita sama sekali tidak punya preseden, sama sekali tak terbayang karena tak pernah terjadi sebelumnya.

Namun, hidup terus berjalan. Ibaratnya perlombaan lari, maka perlombaan ini adalah sebuah maraton, bukan lari cepat. Berlari cepat butuh tenaga besar untuk jarak pendek. Masa COVID-19 yang itu sudah dan sedang kita alami.

Akan Tetapi, tidak cukup dengan berlari cepat karena jarak yang harus ditempuh masih panjang. Sambil berlari kita melihat ke depan, namun juga melihat ke jalan yang kita lalui, apakah ada bahaya yang menghampiri.

Jika ada bahaya, kita menyingkir, agar tak jatuh atau celaka. Ibaratnya berenang, ini juga bukan berenang 50 meter, atau estafet, tetapi berenang melintasi kanal yang lebar, berkilometer panjangnya. Napas harus kuat, tetapi  tak boleh berhenti berenang karena berhenti berenang berarti celaka. 

Bahkan mungkin  akan dibutuhkan keputusan besar dalam hidup karena kenormalan yang dahulu tidak akan pernah kembali. Aktivitas yang dahulu dilakukan mungkin akan berubah bentuk. Atau bahkan tidak ada lagi. Jika demikian, inilah saatnya untuk tidak menunda keputusan itu: mengambil langkah terbaik bagi keberlanjutan hidup.  

Thomas Jefferson, Presiden ke 3 Amerika Serikat, dan penulis piagam kemerdekaan Amerika Serikat, pernah berkata, ”Saat mengambil keputusan, buatlah pilihan terbaik karena itulah yang benar. Pilihan lain adalah pilihan yang salah. Namun, tidak mengambil keputusan adalah hal terburuk.”

Normal baru akan kita hadapi di depan. Hidup tak akan sama seperti yang lalu. Kita tetap berhak berharap yang terbaik akan terjadi, namun sebagai makhluk yang dikaruniai akal paling tinggi di antara makhluk di bumi, tetap harus menyiapkan diri untuk keadaan terburuk.

Apakah yang terburuk itu? Setiap individu perlu mencarinya sendiri atau bersama tim yang bekerja bersamanya. Kemudian mencari jalan agar dalam keadaan terburuk sekalipun, ada celah  yang bisa dimasuki untuk keluar dengan selamat. Tuhan memberi manusia akal bukan agar berserah pada nasib, melainkan untuk mencari jalan terbaik sesuai dengan talenta yang Tuhan berikan, sesuai dengan jalan yang Tuhan bukakan.

Bisa jadi wabah ini sesungguhnya adalah sebuah peluang yang Tuhan berikan: jangan lengah dan mengabaikan peluang itu.  Inovasi baru dalam pekerjaan, dalam hidup, mungkin sedang terbentang di hadapan, dan bersyukurlah bahwa Tuhan tidak pernah menutup sebuah pintu tanpa membukakan pintu lainnya. Dalam keadaan tersulit, di sanalah kita bisa menjumpai-Nya.

Keadaan tersulit kita barangkali adalah jalan terbaik untuk menemukan masa depan terbaik bersama-Nya. Bersikap positif dalam situasi negatif bukanlah naif, melainkan sikap pemimpin!

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home