Loading...
RELIGI
Penulis: Dewasasri M Wardani 10:04 WIB | Senin, 19 November 2018

BIN: Masjid di Lingkungan Pemerintah Belum Bebas Paparan Radikalisme

Ilustrasi. Catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi telah terpapar radikal, tersisa 17 lagi yang kondisinya masuk kategori parah. (Foto: bbc.com)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masjid-masjid di lingkup pemerintahan seperti kementerian, lembaga, dan BUMN, belum bebas dari paparan radikalisme. Dalam catatan Badan Intelijen Negara (BIN), dari 41 masjid yang terindikasi terpapar radikal, tersisa 17 lagi yang kondisinya masuk kategori parah.

Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, mengatakan dakwah yang disampaikan khatib dalam ceramah salat Jumat di belasan masjid itu misalnya, berisi ajakan untuk berperang ke Suriah atau Marawi, Fipilina Selatan, dan disampaikan dengan "memelintir" ayat-ayat dalam Alquran.

"Ya ajakan ke Suriah, mendorong ke Marawi. Jadi kan Marawi itu tempatnya kelompok ekstrem kanan. Kemudian memelintir ayat-ayat tanpa tahu sebab-sebab mengapa ayat itu muncul. Jadi ayat-ayat perang disampaikan dengan dipelintir, jadi agitasi massa," kata Juru Bicara BIN, Wawan Hari Purwanto, kepada BBC News Indonesia pada, Minggu (18/11).

Adapun menurunnya jumlah masjid yang terindikasi telah terpapar radikalisme itu, lantaran BIN bersama BNPT, gencar memantau, dan melakukan tindakan persuasif terhadap khatib yang kerap menyebarkan ceramah radikal dan intoleransi.

"Kita melakukan upaya pendekatan dan mereka yang khotbah begitu coba didekati lagi dan disampaikan saran supaya tidak berulang," katanya.

"Karena ini kan bukan medan perang, tapi medan damai."

Tak hanya itu, BIN dan BNPT juga menggandeng organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), agar aktif berdakwah di lingkungan masjid pemerintahan. Hasilnya kini, masjid-masjid yang sebelumnya termasuk kategori radikal sudah mulai melunak.

"Sekarang sudah menurun 60 persen (masjid yang radikal). Tadinya radikal sekarang tidak terlalu. Hanya perlu intensif komunikasi dengan takmir masjid. Takutnya kan kembali lagi," katanya.

BIN dan BNPT juga, menggandeng organisasi masyarakat Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), agar aktif berdakwah di lingkungan masjid pemerintahan guna mengurangi paparan radikalisme.

Bukan Hanya Masjid

Dari catatan BIN, tak hanya masjid yang terpapar radikalisme. Berasarkan penelitian dengan salah satu universitas Islam di Jakarta, terhadap guru agama di madrasah dari tingkat SD hingga SMA, sebanyak 63 persen memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain.

"62,22 persen setuju hanya sistem pemerintahan berbasis syariat Islam yang terbaik untuk Indonesia. Ini kata guru agama," kata Staf Khusus Kepala BIN Arief Tugiman dalam diskusi Peran Ormas Islam dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Jakarta, Sabtu (17/11).

Selain itu, ada juga temuan yang menyatakan sebanyak 75,98 persen setuju pemerintah harus memberlakukan syariat Islam, kemudian 79,72 persen setuju umat Islam wajib memilih pemimpin yang memperjuangkan syariat Islam.

Kemenag Minta Khatib Baca Panduan Khotbah

Penelitian yang menyebut adanya 41 masjid di lingkaran pemerintahan terpapar radikalisme, diungkap pertama kali oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyakarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan. Dikatakan dari puluhan masjid yang terindikasi radikal itu dibagi menjadi tiga kategori yaitu tinggi, rendah, dan sedang.

“Dari 100 masjid itu 41 kategorinya radikal. Radikal rendah itu tujuh masjid, radikal sedang 17 masjid, dan radikal tinggi itu 17 masjid," kata Ketua Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Agus Muhammad.

Radikal rendah diartikan terkait isi khotbah yang terkandung sikap ragu-ragu jika ada yang bersikap negatif terhadap agama lain. Sedangkan radikal sedang, yakni setuju dengan sikap negatif atau intoleran terhadap umat agama lain. Sementara, radikal tinggi sudah memprovokasi umat untuk bertindak negatif terhadap umat agama lain.

Sejak temuan tersebut muncul, Kementerian Agama langsung menggelar pertemuan dengan takmir atau pemimpin masjid di BUMN untuk berkoordinasi.

Kementerian agama mendorong para khatib membaca buku panduan khotbah yang bisa diakses secara bebas, yang berisi tentang cinta kebangsaan dan tanah air.

Juru Bicara Kementerian Agama, Mastuki, mengatakan disepakati untuk menampilkan khatib yang lebih lebih moderat.

"Di BUMN sudah proaktif menampilkan khotbah-khotbah yang lebih menyejukkan, dan khotib yang terindikasi radikal sudah diganti,” kata Mastuki.

"Selain itu, upaya kita yang lain adalah mengeluarkan 200 nama khatib yang sempat menimbulkan pro-kontra. Tapi itu sesungguhnya bagian dari antisipasi dan memberikan alternatif bahwa banyak da'i yang memiliki wawasan kebangsaan, ”katanya.

Meski kebijakan itu sudah berjalan sekitar lima bulan, tapi Kementerian Agama mengaku belum mengetahui dampaknya.

Adapun, Kemenag menambahkan, jika masyarakat masih menemukan penceramah yang menyerukan pesan berbau radikalisme atau intoleransi, agar mengadukan ke takmir masjid setempat. Cara itu, menurut Mastuki, lebih efektif dan akan cepat direspons.

"Kalau masyarakat bisa mengontrol langsung. Bisa saja disampaikan ke takmir masjid supaya lebih efektif dan ditindaklanjuti,” katanya.

Waspadai Pelaku Terorisme dari Tempat Ibadah

Pengamat terorisme, Al Chaidar, mengatakan paparan radikalisme maupun intoleransi tak hanya terjadi di masjid lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN, tapi sudah menyebar ke hampir seluruh tempat ibadah di Indonesia.

Namun begitu, dakwah maupun ceramah yang disampaikan para khatib tersebut, tidak terlalu berdampak selama pemerintah cepat merespons dengan mengganti para pengkhotbah yang moderat.

Ancaman lain yang harus diwaspadai pemerintah, menurut Al Chaidar, adalah lahirnya pelaku terorisme dari masjid-masjid di luar lingkup pemerintahan. Dalam penelitiannya, deklarasi pembaiatan sudah dilakukan secara terbuka di masjid-masjid.

"Ini masih penelitian, karena ada beberapa baiat dan deklarasi terjadi di beberapa masjid, tapi bukan masjid pemerintah. Kalau radikalisme di masjid pemerintah adalah hal yang biasa,” kata Al Chaidar.

Dia juga mengatakan, banyaknya masjid di pemerintahan yang menyuarakan radikalisme maupun intoleransi terjadi, karena selama ini kelompok moderat jarang berdakwah atau membuat ceramah. Kondisi itu dimanfaatkan kelompok lain yang beraliran Wahabi untuk menguasai masjid-masjid tersebut.

"Radikasime yang muncul yang saya lihat, hanya dalam bentuk sektarian. Artinya masjid ini dikuasai oleh kelompok Wahabi. Kemudian kelompok lain yang pernah meramaikan masjid ini hanya aktif dalam mengisi dan mendatangi masjid itu tapi tak pernah berdakwah. Nah mereka ini akhirnya terlempar keluar.” (bbc.com)

 

 

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home