BNPB: Banyak yang Tidak Paham Penetapan Status Bencana
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan banyak pihak yang tidak paham mengenai manajemen bencana secara utuh, termasuk penetapan status dan tingkatan bencana.
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis pada Senin (20/8) mengatakan bahwa banyak pihak beranggapan dengan status bencana nasional akan ada kemudahan akses terhadap sumber daya nasional.
"Tanpa ada status itu pun saat ini sudah mengerahkan sumber daya nasional. Hampir semua. Kita kerahkan personil dari unsur pusat seperti TNI, Polri, Basarnas, kementerian lembaga terkait dan lainnya. Bantuan logistik dari BNPB, TNI, Polri dan lainnya. Rumah sakit lapangan dari Kementerian Kesehatan dan TNI," kata Sutopo.
Selain itu santunan dan bantuan dari Kementerian Sosial, sekolah darurat dari Kementerian PU Pera dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan lainnya. Menurut dia, semua sudah mengerahkan sumber daya ke daerah, sehingga relevansi untuk status bencana nasional tidak relevan.
BNPB mencatat kerugian dampak gempa di Lombok dan sekitarnya diperkirakan mencapai Rp 7,7 triliun. Sejak gempa pertama 6,4 SR pada 29 Juli 2018 yang kemudian disusul gempa 7 SR pada 5 Agustus, 6,5 SR 19 Agustus siang dan 6,9 SR malam harinya menyebabkan 506 orang meninggal dunia, 431.416 orang mengungsi, 74.361 unit rumah rusak dan kerusakan lainnya.
Dampak gempa tersebut lantas membuat banyak pihak mengusulkan agar dinyatakan sebagai bencana nasional.
Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan bahwa wewenang penetapan status bencana ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa penentuan status keadaan darurat bencana dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan tingkatan bencana. Untuk tingkat nasional ditetapkan oleh presiden, tingkat provinsi oleh gubernur, dan tingkat kabupaten/kota oleh Bupati/Wali kota.
Sedangkan penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah didasarkan pada lima variabel utama yakni: jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.
Namun indikator itu saja menurut Sutopo tidak cukup. Ada hal yang mendasar indikator yang sulit diukur yaitu kondisi keberadaan dan keberfungsian pemerintah daerah apakah collaps atau tidak. Kepala daerah beserta jajaran di bawahnya masih ada dan dapat menjalankan pemerintahan atau tidak.
"Tsunami Aceh 2004 ditetapkan sebagai bencana nasional pada saat itu karena pemerintah daerah, baik provinsi dan kabupaten/kota termasuk unsur pusat di Aceh seperti Kodam dan Polda collaps atau tak berdaya," kata Sutopo.
Sehingga menyerahkan ke perintah pusat. Pemerintah kemudian menyatakan sebagai bencana nasional. Risikonya semua tugas pemerintah daerah diambil alih pusat termasuk pemerintahan umum. Bukan hanya bencana saja.
"Dengan adanya status bencana nasional maka terbukanya pintu seluas-luasnya bantuan internasional oleh negara-negara lain dan masyarakat internasional membantu penanganan kemanusiaan. Ini adalah konsekuensi Konvensi Geneva," jelas dia.
Bantuan internasional ini menurutnya seringkali menimbulkan permasalahan baru karena menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
"Jadi ada konsekuensi jika menetapkan status bencana nasional. Sejak tsunami Aceh 2004 hingga saat ini belum ada bencana yang terjadi di Indonesia dinyatakan bencana nasional. Sebab bangsa Indonesia banyak belajar dari pengalaman penanganan tsunami Aceh 2004," kata Sutopo.
Dia menegaskan bahwa yang utama adalah penanganan terhadap dampak korban bencana, karena potensi nasional masih mampu mengatasi penanganan darurat bahkan sampai rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana nanti.
Tanpa ada status bencana nasional pun penanganan bencana Lombok saat ini skalanya sudah nasional. Pemerintah Pusat menurutnya terus mendampingi dan memperkuat pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Perkuatan itu adalah bantuan anggaran, pengerahan personil, bantuan logistik dan peralatan, manajerial dan tertib administrasi.
"Bahkan Presiden akan mengeluarkan Instruksi Presiden tentang percepatan penangan dampak gempa Lombok. Pemerintah pusat total memberikan dukungan penuh bantuan kepada pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan kota serta tentu saja yang paling penting kepada masyarakat," jelas Sutopo.
Dia menambahkan bahwa dalam penanganan bencana sudah menjadi urusan wajib bagi pemerintah daerah. Maka kepala daerah adalah penanggung jawab utama penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerahnya. Pemerintah pusat hadir memberikan pendampingan atau perkuatan secara penuh.
"Dalam prakteknya di dalam penanganan bencana-bencana besar di Indonesia, hampir semuanya berasal dari bantuan pemerintah pusat. Namun kendali dan tanggung jawab tetap ada di pemerintah daerah tanpa harus menetapkan status bencana nasional," kata Sutopo.
Penanganan bencana seperti gempa Sumatera Barat 2009, erupsi Gunung Merapi 2010, tsunami Mentawai 2010, banjir bandang Wasior 2010, banjir Jakarta 2013, banjir bandang Manado 2014, kebakaran hutan dan lahan 2015, erupsi Gunung Sinabung 2012 sampai sekarang, erupsi Gunung Kelud 2014, gempa Pidie Jaya 2016, dan lainnya sebagian besar penanganan skala nasional dan bantuan dari pusat, tanpa menetapkan status bencana nasional.
Oleh sebab itu dia berharap tidak perlu berpolemik dengan status bencana nasional. Yang penting adalah penanganan dapat dilakukan secara cepat kepada masyarakat yang terdampak. Pemda tetap berdiri dan dapat menjalankan tugas melayani masyarakat. Pemerintah pusat pasti membantu. Skala penanganan sudah skala nasional. Potensi nasional masih mampu untuk menangani bencana gempa Lombok hingga pascabencana nantinya.
"Mari kita bersatu. Bencana adalah urusan kemanusiaan. Singkirkan perbedaan ideologi, politik, agama, dan lainnya untuk membantu korban bencana. Masyarakat Lombok memerlukan bantuan kita bersama. Energi kita satukan untuk membantu masyarakat Lombok," kata Sutopo.
BI Klarifikasi Uang Rp10.000 Emisi 2005 Masih Berlaku untuk ...
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Bank Indonesia (BI) mengatakan, uang pecahan Rp10 ribu tahun emisi 2005 m...