Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 04:44 WIB | Sabtu, 30 Agustus 2014

Buku Bukan Bangsa Kuli: Berharap Nelayan Hidup Layak

Buku Bukan Bangsa Kuli: Berharap Nelayan Hidup Layak
Para narasumber (dari kiri ke kanan) Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dr. Suseno Sukoyono, Tim Ahli Fraksi PDI-P MPR RI dan Direktur Program Megawati Institute, Indah P. Nataprawira, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Maritim sekaligus Dosen Universitas Trilogi Jakarta, Muhammad Karim. (Foto-foto: Kartika Virgianti)
Buku Bukan Bangsa Kuli: Berharap Nelayan Hidup Layak
Abdul Halim, penulis buku “Bukan Bangsa Kuli”, sekaligus Sekjen KIARA.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Abdul Halim luncurkan buku, berjudul “Bukan Bangsa Kuli”, berisi tentang rekaman perjalanan kampanye dan advokasi penulis menemui nelayan yang hidupnya miskin dan sulit di tengah melimpahnya hasil laut kita.

Halim, sapaan akrabnya, ditemui di acara peluncuran dan bedah buku di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (29/8), menyebutkan bahwa ada beberapa hal yang harus menjadi prioritas presiden terpilih bersama jajaran kabinet untuk membenahi bidang kelautan.

Pertama, Halim yang pada Februari 2014 dipercaya sebagai delegasi RI mewakili pelaku perikanan skala kecil dalam perundingan PBB yang diselenggarakan sub-komisi perdagangan ikan FAO, menyoroti masalah pemerataan pendidikan, dan akses sekolah harus didekatkan bagi anak-anak nelayan.

“Di kampung-kampung nelayan misalnya seperti di Garut, Tasik, Pulau Seram Maluku, akses ke sekolah luar biasa jauhnya, kalaupun memaksa sekolah, risikonya sangat besar, mereka menggunakan kapal yang kecil, tetapi jumlah penumpangnya sangat banyak. Lalu ongkos yang tinggi, mereka harus mengeluarkan Rp 30.000 per hari tiap ke sekolah, itulah yang menyebabkan banyaknya anak-anak putus sekolah,” urai pria lulusan Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas Paramadina itu.

Kedua, bahwa bargaining position (posisi tawar) nelayan Indonesia di negara lain yang tidak menguntungkan. dia kemudian menjelaskan suatu kasus dalam hal ekspor ikan ke Uni Eropa yang memiliki sejumlah syarat ketat, termasuk sertifikasi hasil tangkapan ikan, padahal nelayan kita masih sangat tradisional sekali dari segi peralatannya.

Uni Eropa mengharuskan ikan yang diekspor itu yang paling baik kualitasnya, sementara untuk warga kita sendiri, ikan-ikan yang kita konsumsi dengan kualitas yang lebih rendah. Ini menjadi indikasi bahwa nelayan kita menjadi kuli untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di Eropa. Itulah yang menjadi alasan Halim memilih tema dari buku yang ia tulis.  

“Harus ada terlebih dahulu pendampingan (pelatihan) atau fasilitas terknologi, sehingga segala kekurangan dalam proses produksi dan pengolahan ikan di Indonesia bisa diperbaiki. Jika semua hal itu sudah siap, nelayan kita akan mempunyai bargaining position yang baik, yang kemudian akan berlanjut dengan negosiasi dalam bentuk kontrak kerja sama,” jelasnya.

Beberapa waktu lalu, Halim mewakili KIARA menghadiri undangan dari Tim Transisi di bawah Deputi Kesejahteraan Rakyat yang diketuai Arif Satria, dalam rangka mendiskusikan bagaimana nelayan sadar akan haknya yaitu bisa mendapatkan BBM (bahan bakar minyak, Red) bersubsidi, bagaimana nelayan juga sadar akan kewajibannya yaitu mencatatkan ikan melalui suatu software yang baru diperkenalkan dibuat khusus untuk kelautan.

“Pertemuan itu masih dalam tahap hulu karena baru satu kali pertemuan, sehingga belum banyak rekomendasi yang dihasilkan. Tetapi satu poin penting, Pak Jokowi menurut hemat saya tidak ingin nelayan terus menjadi kuli, tetapi sebagai tuan di tanah airnya. Maka beliau kita dorong segera melakukan pembahasan dengan DPR terpilih nantinya, terkait RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan,” kata dia.

Ketika sudah ada kebijakan tersebut, otomatis ada kewajiban negara untuk mengalokasikan anggaran dalam rangka melindungi dan memberdayakan nelayan.

 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home