Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 19:24 WIB | Selasa, 16 September 2014

Buku: Penjajahan Jepang Justru Bangkitkan Nasionalisme

“Kekuasaan Jepang memang tidak membawa perubahan, tetapi justru merangsang jiwa nasionalis yang pada dasarnya sudah ada di hati rakyat Indonesia.” Aiko Kurasawa, Penulis.
Buku: Penjajahan Jepang Justru Bangkitkan Nasionalisme
(dari kiri ke kanan) Penulis buku Politik Jepang di Jawa, Aiko Kurasawa, Sejarawan Didi Kwartanada, Direktur Jenderal The Japan Foundation Indonesia, Tadashi Ogawa, dan sejarawan muda, penulis, sekaligus pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal. (Foto: Kartika Virgianti)
Buku: Penjajahan Jepang Justru Bangkitkan Nasionalisme
Aiko Kurasawa dan Didi Kwartanada saat menjadi pembicara dalam diskusi buku.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Aiko Kurasawa, Penulis Politik Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 mengatakan tulisannya dalam buku ini bertujuan untuk menganalisis perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan psikologis yang muncul selama zaman penjajahan Jepang di pedesaan di Jawa.

Perubahan sosial itu paling mencolok di pedesaaan, karena tekanan militer pemerintah Jepang paling kuat di desa. Masyarakat desa memiliki sumber daya alam dan sumber-sumber pangan yang dibutuhkan Jepang selama masa pendudukannya, dan semua itu menentukan keberhasilan tujuan pemerintah Jepang.

“Jepang membuat kebijakan melalui skema propagandanya, yaitu pengajaran kursus atau pelatihan, yang ternyata justru membangkitkan rasa nasionalisasi yang pada dasarnya memang sudah ada di hati rakyat,” ungkap Aiko saat acara diskusi buku yang bertempat di Japan Foundation, Sudirman, Jakarta Selatan, Senin (15/9).

Pemerintah Jepang dalam mengupayakan tujuannya di Jawa melalui mobilisasi (dôin) dan kontrol (tôsei) masyarakat pedesaan, maka itu buku lama berjudul mobilisasi dan kontrol.

Istilah dôin dalam bahasa Jepang berarti menarik sesuatu dan menempatkannya untuk tujuan tertentu. Di Jepang sendiri istilah ini masih sangat kabur maknanya, namun sering digunakan dalam pengertian memeras, mengumpulkan dan meminta barang serta komoditas sesuai dengan rencana. Dalam konteks lain istilah ini juga bisa diartikan memanggil partisipasi rakyat dalam pengabdian militer, pekerjaan umum, kegiatan politik atau kegiatan seremonial lainnya.

Kepala Desa (Kûcho)

Kebijakan mobilisasi Jepang selalu dilakukan kontrol besar melalui dekrit-dekrit dan peraturan oleh pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam politik, ideologi, ekspresi. Guna mencapai tujuan itu pemerintah Jepang memerlukan kerja sama dari penduduk.

Maka, ditunjuklah kepala desa (kûcho) oleh pemerintah Jepang, dengan berbagai tugas-tugas serta kewenangannya. Padahal waktu zaman penjajahan Belanda, hanya orang-orang keturunan bangsawan (pangreh praja) yang boleh mengemban jabatan tersebut, namun Jepang melanggarnya dan menunjuk orang-orang di luar bangsawan untuk menjadi kepala desa.

Rukun Tetangga (Tonarigumi) dan KUD (Nôgyô Kumiai)

Begitu banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan seorang kepala desa, sehingga dibentuklah lembaga-lembaga baru yaitu rukun tetangga (tonarigumi) dan koperasi pertanian (nôgyô kumiai).

Nôgyô kumiai adalah koperasi yang disponsori pemerintah Jepang dan berperan penting dalam pembelian padi serta peningkatan hasil pertanian, hal itu penting untuk mendukung keperluan pemerintah Jepang. Lembaga ini dibentuk di tingkat desa yang sifatnya sangat mirip dengan Koperasi Unit Desa (KUD) seperti sekarang.

Buruh (Rômusha)

Pada awal kependudukan Jepang masih banyak tenaga kerja yang menganggur, misalnya bekas buruh tani onderneeming (perusahaan perkebunan yang dikelola Belanda). Maka, tenaga untuk rômusha bisa didapat dengan mudah. Akan tetapi lama kelamaan kabar tentang kondisi romusha yang memprihatinkan semakin tersebar di masyarakat, sehingga pemerintah Jepang menjadi kesulitan. Maka diperintahkanlah kepala desa yang diwajibkan mencari calon rômusha.

Untuk selanjutnya jatah penyerahan padi kepada pemerintah Jepang dan pendaftaran rômusha dilakukan melalui tonarigumi. Berdasarkan data yang disebutkan Aiko, penduduk desa yang dijadikan rômusha pada saat itu jumlahnya lebih kurang empat juta orang, di mana kondisinya meskipun ada yang kembali dengan selamat, tetapi cukup banyak yang dalam kondisi sakit-sakitan, bahkan mati.

Perubahan Mobilitas Sosial

Selain dalam urusan politik pemerintahan, pada zaman Jepang juga terjadi peningkatan mobilitas sosial masyarakat, baik secara horizontal (misal mahasiswa yang ingin memperpanjang statusnya, atau seorang guru yang ingin pindah mengajar di sekolah lain) maupun vertikal (misal pedagang miskin menjadi pengusaha).

Di lain pihak munculnya cara-cara berpikir dan bertingkah laku yang baru, di mana pola-pola persekutuan dan persaingan mulai terlihat.

Pada zaman Belanda, pemerintah jarang campur tangan dengan urusan-urusan rumah tangga desa, dan akses penduduk desa sangat terbatas terhadap dunia luar.

Pendidikan/Pelatihan untuk Propaganda

Agar dapat dilakukan kebijakan pemerintah Jepang dengan lancar, diupayakanlah pengerahan massa, melalui pendidikan dan pelatihan. Sekolah pada zaman Jepang menjadi penting, karena pada zaman Belanda terdapat dualisme pendidikan, yaitu sekolah berbahasa Belanda dan sekolah untuk rakyat jelata. Pada zaman Jepang dualisme tersbut dihapuskan, hanya sekolah-sekolah berbahasa Indonesia yang diizinkan.

Melalui berbagai pengajaran, kursus dan pelatihan, Jepang bermaksud menggerakan rakyat sesuai dengan ideologi mereka, melalui skema-skema yang mereka buat untuk upaya propaganda.

Di luar sekolah, pemerintah Jepang menyelenggarakan berbagai kursus, salah satunya Kursus Kiai, di mana pada saat itu peserta yang dilatih jumlahnya lebih kurang 1.000 orang dari seluruh Jawa. Peserta yang dilatih itu diberi tugas dalam propaganda, yaitu melalui pengajaran dan penerangan yang mereka berikan kepada masyarakat.

Tetapi sebagai akibatnya malah membangkitkan kesadaran politik rakyat. Rakyat menjadi memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai bangsa, sejarah, dan situasi sosial serta politik saat itu. Dari sanalah ide untuk kemerdekaan berasal.

Perubahan sosial masyarakat pedesaan di Jawa menurut Aiko sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1930-an, saat zaman Belanda. Kekuasaan Jepang memang tidak membawa perubahan yang begitu besar, tetapi boleh dikatakan Jepang memacu atau merangsang proses perubahan bangsa.

Meskipun kita senantiasa mengutuki segala bentuk penjajahan, namun kenyataannya terdapat gagasan-gagasan dalam pemeintahan yang masih berguna bagi masyarakat sampai sekarang. Maka pentingnya sejarah ini untuk dipahami secara holistik, tidak melulu hanya melihat kekejaman dari penjajahan itu sendiri.

Buku tersebut berasal dari disertasi Aiko berjudul asli Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945 yang dipertahankannya di Cornell University, New York, Amerika Serikat dengan beasiswa fullbright pada tahun 1988.

Naskah disertasi selanjutnya diterjemahkan dalam bahasa Jepang berjudul Nihon Senryoka no Jawa Noson no Hen’yo (Tokyo: Sôshisha, 1992), yang ternyata menimbulkan pro dan kontra di Jepang. Aiko mengaku diganggu habis-habisan bahkan dituduh sebagai orang komunis. Padahal Aiko tidak menyatakan penilaian subjektif tentang kekejaman Jepang, ia hanya ingin menyodorkan fakta. Untunglah melalui dukungan kaum muda, gangguan dan kecaman tersebut akhirnya surut.

Kemudian buku ini diterbitkan setahun kemudian dalam bahasa Indonesia dengan judul serupa yaitu Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa, 1942-1945 (Jakarta: Grasindo, 1993).

Kini, di tahun 2014, buku sejarah tentang hubungan Indonesia-Jepang itu kembali diterbitkan oleh Komunitas Bambu atas kerja sama dengan Japan Foundation di Jakarta.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home