Loading...
RELIGI
Penulis: Bayu Probo 12:28 WIB | Jumat, 06 November 2015

BW Lapian Tokoh Gereja Minahasa yang Nasionalis Sejati

Pahlawan Nasional Bernard Wilhem Lapian. (Foto: wikipedia)

SATUHARAPAN.COM – Bernard Wilhem Lapian ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena perannya mendirikan gereja Minahasa, terpisah dari gereja negara Belanda pada masa kolonial, dan perjuangannya merebut tangsi militer di Manado.

Presiden Joko Widodo di Jakarta, Kamis (5/11) memberikan gelar pahlawan nasional kepada lima tokoh yang telah dianggap berjasa besar bagi Bangsa Indonesia.

Pemberian gelar pahlawan ini berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK/ Tahun 2015.

Kelima tokoh yang mendapat gelar pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi, yaitu almarhum Bernard Wilhem Lapian (Tokoh Provinsi Sulawesi Utara), almarhum Mas Isman (Tokoh Provinsi Jawa Timur), almarhum Komjen (Pol) Dr H Moehammad Jasin (Tokoh Jawa Timur), almarhum I Gusti Ngurah Made Agung (Tokoh Provinsi Bali), dan almarhum Ki Bagus Hadikusumo (Tokoh Muhammadiyah dari Provinsi Yogyakarta).

Pemberian gelar pahlawan nasional dilaksanakan di Istana Negara oleh Presiden Jokowi, yang diwakili oleh ahli waris masing-masing.

Kiprah BW Lapian, Gubernur ke-2 Sulawesi Utara ini, berawal saat ia masih sebagai wakil ketua Perserikatan Pangkal Setia—lembaga yang diakui pemerintah kolonial Belanda yang mendidik guru-guru agama Kristen dan penginjil di Minahasa— dan berbagai tokoh mendorong berdirinya gereja Minahasa yang terlepas dari Indische Kerk—Gereja Negara Belanda. Maka pada 1928, Organisasi Persatuan Penolong-penolong Injil untuk mendukung lagi memperkukuh usaha Pangkal Setia guna pendirian gereja otonom buat Minahasa.

Pada sekitar tahun 1931 dan 1932 gerakan keluar dari Indische Kerk makin meluas dan makin hangat dibicarakan di kalangan masyarakat. Gerakan itu makin kuat karena pemerintah tidak mau melepaskan gereja dari pemerintah Hindia Belanda dan akan mengambil alih lembaga pekabaran Injil Belanda Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) pada tahun 1930.

Dalam kondisi seperti itu para guru Injil memutuskan mengangkat GSSJ Ratulangi, R Tumbelaka, dan Mr AA Maramis, sebagai wakil masyarakat untuk memperjuangkan kepada pemerintah kolonial Belanda di Batavia berdirinya gereja otonom di Minahasa.

Pada bulan Agustus 1932 Perserikatan Pangkal Setia mengundang Majelis Gereja Manado dan lain-lain mengadakan rapat besar di Kuranga, Tomohon, dengan keputusan membentuk Gereja Minahasa berdiri sendiri, dengan pemimpin orang Minahasa. Selain itu, membentuk Panitia Kerapatan Gereja Protestan Minahasa. Panitia ini bertugas untuk persiapan berdirinya gereja otonom dengan ketua Josef Jacobus (Ketua Pengadilan Negeri Manado), wakil ketua Zacharias Talumepa (pensiunan Inlands Leraren Bond/Persatuan Guru Hindia Belanda), dan sekretaris BW Lapian (Pangkal Setia).

Dari situlah lahir Kerapatan Gereja Protestan Minahasa, gereja yang lepas dari Indische Kerk pada 18 Maret 1933. Awalnya, KGPM berusaha tetap menjalin hubungan baik dengan Indische Kerk dan pemerintah kolonial di Batavia. Namun, karena tidak mendapat tanggapan dari pemerintah kolonial, akhirnya pada 18 Oktober 1933, KGPM resmi berdiri sebagai gereja otonom di Minahasa sebagaimana yang dicita-citakan sejak tahun 1800-an oleh tokoh-tokoh Minahasa.

Pemerintah Belanda dengan tegas menyatakan perlawanan terhadap kebangkitan KGPM. Pemerintah kolonial terus meningkatkan pengawasan. Tindakan-tindakan tegas akhirnya dilakukan setelah diproklamirkannya KGPM, yang ditandai dengan diterimanya sidang jemaat Wakan sebagai anggota gereja KGPM yang pertama. Karena itu pihak Belanda terus berupaya untuk menghambat pertumbuhan dan perkembangan KGPM. Namun, peristiwa di Wakan disambut positif rakyat di Minahasa. Tak heran meski berada di bawah tekanan, dalam kurun waktu 3 tahun (1933-1936) jumlah sidang jemaat di KGPM sudah mencapai 72 sidang.

Pemerintah kolonial terus melakukan penghambatan dengan mengeluarkan pengumuman bahwa KGPM bukanlah gereja yang sah, sehingga surat baptis yang dikeluarkan tidak sah. Surat baptis dijadikan alat karena pemerintah Belanda ketika itu untuk mengeluarkan kartu tanda penduduk harus mengikutsertakan surat baptis juga akta kelahiran. Tidak itu saja, perkawinan di KGPM dinyatakan tidak sah. Selain itu, pihak Belanda juga melakukan siasat adu domba antarjemaat di Minahasa dengan melalui propaganda.

Perjuangan BW Lapian di Masa Revolusi

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, Belanda yang berusaha masuk lagi ke Indonesia berusaha melakukan provokasi. Bahwa, Proklamasi itu sekadar gertakan orang di Pulau Jawa.

Dampak negatif dari provokasi tersebut dirasakan LN Palar, yang saat itu adalah Duta Besar RI di PBB, yang sedang berjuang di PBB untuk mendapatkan dukungan PBB dan negara-negara anggota PBB. Palar kemudian mengontak para pejuang di Manado, meminta mereka melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Warga Minahasa makin berani untuk merebut kekuasaan dari tangan Belanda juga setelah membaca pesan rahasia dari GSSJ Ratulangi, yang saat itu sebagai Gubernur Sulawesi di  Makassar. Sam Ratulangi meminta tentara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda (KNIL) asal Minahasa yang pro-RI segera melakukan aksi militer di tangsi KNIL di Teling Manado.

Surat rahasia itu kemudian dibawa ke BW Lapian dan CH Taulu, perwira KNIL di Manado. Sejumlah tentara KNIL dan tokoh masyarakat maupun politikus Minahasa yang pro-RI langsung merancang perebutan tangsi tentara KNIL tersebut.

Peristiwa itu direalisasikan para pejuang pada tanggal 14 Februari 1946 dini hari. Seluruh pemimpin teras tentara di tangsi itu, termasuk seluruh pemimpin Garnizun Kota Manado yang juga bermarkas di tangsi itu, ditangkap dan dimasukkan sel. Peristiwa itu berlangsung mulai pukul 01.00 hingga 05.00 WITA.

Tepat pukul 03.00 WITA, para pejuang menurunkan bendera Kerajaan Belanda Merah Putih Biru. Merobek warna birunya dan menaikkan kembali warna Merah Putih ke puncak tiang bendera di markas tentara yang disebut-sebut angker karena dihuni pasukan KNIL, pasukan andalan Belanda.

Dengan cepat kejadian itu tersebar ke Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.

Peristiwa itu sangat bernilai strategis, sebab hanya beberapa jam kemudian seluruh dunia mengetahui bahwa tidak benar provokasi Belanda bahwa Kemerdekaan RI cuma sebatas perjuangan di Jawa. Dunia lewat peristiwa itu, akhirnya tahu, Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 didukung oleh seluruh rakyat Indonesia. (Wikipedia/Ant/Tribun)


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home