Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 13:08 WIB | Senin, 14 Maret 2016

Chatib Basri: Kebijakan Ekonomi Jokowi Semakin Liberal

Dan, itu baik.
Chatib Basri. (Foto: Antara)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Ekonom dan mantan Menteri Keuangan dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, M. Chatib Basri, menilai kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo berbalik menjadi liberal bila dibandingkan dengan janjinya semasa kampanye. Namun, hal ini dia pandang baik dan perlu didukung karena akan membawa perbaikan bagi perekonomian.

Chatib Basri mengatakan itu ketika satuharapan.com menanyakan pendapatnya tentang analisis yang dilansir The Australian tentang rencana kunjungan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, ke Australia hari ini (14/3).

Menurut The Australian, platform ekonomi Jokowi saat kampanye adalah nasionalisme ekonomi dan bahkan proteksionisme ringan, tetapi kini beralih menjadi kebijakan liberal. The Australian bahkan menjuluki Thomas Lembong sebagai rasul liberalisasi ekonomi yang membawa perubahan dramatis dalam arah kebijakan ekonomi Indonesia.

"Saya setuju bahwa sejak September ada pembalikan kebijakan ekonomi yang sangat signifikan dan pro pasar. Dan ini langkah yang baik dan tepat," kata Chatib Basri, pada hari Sabtu (12/3)

Ia mencontohkan deregulasi dan revisi DNI membantu  membuat Indonesia menjadi lebih atraktif.

"Saya percaya dengan Sadli's law: bad times make good policy. Good times make bad policy. Kebijakan berubah dan reformasi menjadi jalan karena ekonomi Indonesia di 2015 mencapai titik terendah sejak 2009."

Menurut dia, "kebijakan pemerintah baru yang awalnya proteksionistis berubah menjadi lebih liberal. Ini selalu terjadi, dalam situasi ekonomi yang buruk politisi baru mau mendengar rasionalitas ekonomi. Sadli's law selalu berlaku selama ini," kata Chatib Basri.

Ketika ditanyakan bagaimana ia memperkirakan respon masyarakat atas perubahan itu, khususnya dari dalam kubu pendukung Jokowi sendiri yang sebagian adalah pendukung nasionalisme dan perlindungan pasar dalam negeri, Chatib Basri secara diplomatis mengatakan sentimen semacam itu biasanya akan meningkat jika ekonomi sudah baik kembali.

Ia mencontohkan di tahun 2013 pemerintah SBY berhasil mendorong agenda reformasi menaikkan harga BBM, menaikkan suku bunga dan melepas nilai tukar sehingga terdepresiasi.

"Kita mengubah impor sapi dari sistem kuota menjadi sistem tarif, menurunkan impor kedelai menjadi nol."

"Semua itu bisa dilakukan karena kita menghadapi mini crisis. Taper tantrum." kata dia.

Taper tantrum adalah istilah yang menggambarkan gejolak ekonomi yang diakibatkan perubahan kebijakan Bank Sentral AS, The Fed, yang mengurangi menyalurkan kredit untuk pembelian obligasi dan surat berharga serta berencana menaikkan suku bunga The Fed.

Sebagai bagian dari liberalisasi perekonomian, Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo telah menyatakan minat bergabung dengan pakta perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP), dan pada saat yang sama sudah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Indonesia juga tengah mengadakan perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan belakangan, Tom Lembong juga sudah memunculkan wacana menjalin kesepakatan perdagangan bebas dengan Australia.

Apakah keberadaan berbagai kesepakatan perdagangan bebas ini sebaiknya dilakukan bertahap dan tidak dilakukan bersamaan?

"Dilemanya adalah kalau kita tidak ikut, kita akan ditinggal. Namun di sisi lain, trade regionalism yang terlalu banyak akan membuat spaggethi bowl issue. Dimana standarnya menjadi berbelit seperti spageti karena satu negara ikut di berbagai free trade area (FTA)."

Karena itu Jagdish Natwarlal Bhagwati (profesor ekonomi dan ahli perdagangan internasional dari Universitas Columbia, red)  menyarankan liberalisasi dilakukan di tingkat multilateral dan bukan melalui FTA. Tapi kalau semua negara ikut FTA, kita berisiko ditinggal," tutup dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home