China Akan Berlakukan UU Keamanan Baru untuk Hong Kong
BEIJING, SATUHARAPAN.COM-China sedang mengatur untuk memberlakukan undang-undang keamanan nasional baru di Hong Kong setelah kerusuhan pro-demokrasi tahun lalu, kata seorang pejabat China, hari Kamis (21/5). Hal ini mengundang peringatan dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahwa AS akan bereaksi "sangat kuat" terhadap upaya China untuk lebih banyak mengontrol pulau atas bekas jajahan Inggris itu.
Tindakan China dapat memicu protes baru di Hong Kong, yang telah menikmati banyak kebebasan yang tidak diizinkan di daratan. Demonstrasi yang sering terjadi pada tahun 2019 yang menjerumuskan kota itu ke dalam kekacauan terdalam sejak kembali ke pemerintahan Beijing pada tahun 1997.
Trump, yang telah mengetengahkan retorika anti China menjelang pemilihan presiden pada November mendatang, mengatakan bahwa "belum ada yang tahu" rincian rencana China. "Jika itu terjadi, kita akan membahas masalah itu dengan sangat kuat," kata Trump, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Para demonstran pro-demokrasi telah bertahun-tahun menentang gagasan undang-undang keamanan nasional, dengan alasan mengikis tingkat otonomi yang tinggi, dan dijamin di bawah sistem "satu negara, dua sistem" yang berlaku selama dua dekade.
"Mengingat keadaan dan kebutuhan baru, Kongres Rakyat Nasional (NPC) sedang menjalankan kekuatan konstitusionalnya" untuk membangun kerangka hukum baru dan mekanisme penegakan untuk menjaga keamanan nasional di Hong Kong, kata Zhang Yesui, juru bicara badan legislatif.
Dia berbicara pada malam dimulainya sidang parlemen tahunan China. Rincian lebih lanjut akan diberikan pada hari Jumat (22/5), katanya.
Bisa Mengubah Status Hong Kong
Media di Hong Kong melaporkan bahwa UU itu akan melarang pemisahan diri, campur tangan asing, terorisme, dan semua kegiatan penghasut yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di pusat keuangan itu.
UU yang akan dibahas dalam pertemuan NPC itu bisa menjadi titik balik bagi Hong Kong yang dikenal paling bebas dan paling internasionalnya, dan berpotensi memicu revisi status khusus di Washington dan kemungkinan akan memicu lebih banyak kerusuhan.
Pada hari Kamis (21/5) malam muncul banyak posting online di Hong Kong yang mengajak orang berkumpul memprotes dan menyerukan slogan-slogan pro-demokrasi. Oposisi demokrat mengatakan langkah itu akan sangat merusak reputasi Hong Kong sebagai pusat keuangan dan otonomi tingkat tinggi.
"Jika langkah ini terjadi, 'satu negara, dua sistem' akan secara resmi dihapus," kata anggota parlemen demokratis Dennis Kwok. "Ini adalah akhir dari Hong Kong," tambah Kwok.
Warga Hong Kong turun ke jalan tahun lalu untuk memprotes RUU yang sekarang ditarik yang akan memungkinkan ekstradisi tersangka kriminal ke daratan China. Gerakan itu meluas hingga mencakup tuntutan untuk demokrasi yang lebih luas di tengah persepsi bahwa Beijing memperketat cengkeramannya atas kota itu.
Menunda Laporan
Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, sebelumnya mengatakan bahwa ia menunda laporan yang menilai apakah Hong Kong cukup otonom untuk menjamin perlakuan ekonomi khusus oleh Washington. Ini membuatnya tetap menjadi pusat keuangan dunia. Penundaan itu untuk memperhitungkan setiap tindakan di NPC, katanya.
Ketegangan antara kedua negara adikuasa telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir, ketika mereka saling menuduh tentang penanganan pandemi virus corona, memperburuk hubungan yang sudah buruk dalam sengketa perdagangan.
Upaya sebelumnya oleh Hong Kong untuk memperkenalkan undang-undang keamanan nasional, yang dikenal sebagai Pasal 23, pada tahun 2003 disambut dengan protes damai massal. Hong Kong memiliki kewajiban konstitusional untuk memberlakukan Pasal 23 "atas kehendaknya sendiri", tetapi UU yang serupa dapat diperkenalkan oleh Beijing secara terpisah ke dalam lampiran Undang-undang Dasar.
Para pengunjuk rasa mengecam apa yang mereka lihat sebagai campur tangan yang merayap di Hong Kong oleh penguasa Partai Komunis China. Beijing membantah tuduhan itu dan menyalahkan pihak Barat, terutama Amerika Serikat dan Inggris, karena menimbulkan masalah. (Reuters)
Editor : Sabar Subekti
Penasihat Senior Presiden Korsel Mengundurkan Diri Masal
SEOUL, SATUHARAPAN.COM - Para penasihat senior Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, termasuk kepala...